Banyak yang Mengira ...

1590 Words
Sementara Fajar mendaftar, Alisha duduk memperhatikan ibu hamil sekitar. Hingga tiba-tiba seorang ibu hamil duduk di sampingnya. Ibu itu memperhatikan Alisha dengan seksama. "Neng, masih muda, ya?" ucapnya melemparkan pertanyaan yang sepertinya tak perlu dijawab. Alisha hanya mengangguk dan tersenyum. "Itu suaminya?" tunjuk ibu tersebut. "Semoga kamu hamil memang karena telah menikah sama dia, ya! Bukan karena kecelakaan terus baru nikah setelah ketahuan hamil," ucap ibu itu kemudian. Alisha bergeming. Mana mungkin ia bisa menjawab bahwa Fajar adalah bukan suaminya jika ibu tersebut sudah bilang begitu. Entah apa jadinya jika ia tahu yang sebenarnya, sehingga Alisha hanya tersenyum getir akhirnya. "Kayaknya dia pria yang baik, ya! Mau nganter istri kontrol. Tadi saya liat kalian bawa becak ya, ke sini? So sweet! Gak kayak saya, bawa motor sendiri." Lagi. Alisha hanya tersenyum sebagai tanggapan semua ucapan ibu tersebut. Hingga tak lama kemudian, Fajar kembali dan duduk di samping Alisha. "Hei, Nak! Jaga istrimu dengan baik, ya! Jika nanti setelah melahirkan fisiknya berubah, jangan kamu tinggalkan. Karena ini semua wajar!" celetuk ibu itu sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya. Fajar tercengang untuk kesekian kalinya. Ia sampai terbengong beberapa detik dan sadar saat Alisha menepuk tangannya. Barulah ia meneruskan niat awal untuk duduk di samping Alisha. Fajar mengembuskan nafas panjang karena lega. "Ternyata banyak yang nganggap kita suami istri!" seloroh Fajar setelah terdiam beberapa saat. Alisha hanya menoleh. "Barusan sebelum duduk, saat daftar aku juga dikira suami kamu loh! Eh, baru aja duduk udah ada yang bilang lagi. Sepertinya orang lain pun menganggap hal yang sama!" lanjut pria beralis tebal itu. "Ya, biarkan. Karena memang seharusnya begitu!" celetuk Alisha dengan santainya. "Hah? Harus begitu? Maksud kamu aku harus jadi suami kamu?" tanya Fajar heran sekaligus senang. Ia mengucapkannya dengan berbisik di telinga Alisha di sela-sela degupan jantungnya yang berima cepat. "Maksud aku, ya harusnya aku datang bareng suami kan kayak yang lain!" jelas Alisha mengoreksi. "Ah, haha! Betul kamu, Al. Betul banget, harusnya gitu! Hahaha." Fajar tertawa hambar. Alisha tak lagi melanjutkan obrolan. Ia lebih memilih mengedarkan pandangannya pada ibu-ibu hamil yang duduk memgantri sepertinya. Terbesit pikiran dalam kepalanya, adakah yang sama nasibnya seperti dia? Mengandung janin yang tak seharusnya ada, karena dengan kehadirannya hidup Alisha hancur, tapi ia tetap menjaganya. Alisha menggeleng samar. Sepertinya hanya dia yang bernasib buruk tentang kehamilan. Orang-orang di sekitarnya sangat bahagia dan antusias membicarakan kehamilan mereka. Hampir satu jam lamanya hingga nama Alisha terpanggil. Wanita itu segera bangun menuju ruang pemeriksaan. Saat ia berdiri, Fajar turut ikut menggandeng tangannya bermaksud mengantar. Namun, Alisha menolak dengan halus. Ia memberikan isyarat bahwa dirinya akan masuk seorang diri. Fajar yang refleks melakukan hal itu kembali salah tingkah karena malu. Ia kembali duduk dan tersenyum pada ibu-ibu yang sempat memperhatikan mereka. Kemudian ibu-ibu lain nyeletuk, "Tenang, Jang! Istrinya bakal baik-baik aja, kok! Gak perlu cemas!" Sambil senyum-senyum setengah mentertawakan. "Iya, pasangan muda mah gitu. Lucu, ya, romantis kalau masih pengantin baru! Anak pertama ya, A?" tanya ibu-ibu yang lain. Fajar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tanda ia kebingungan. Di dalam ruang pemeriksaan, Alisha masuk dan duduk di hadapan seorang bidan dengan tubuh gempal tapi tampak terlihat. Bidan itu dengan ramah menyambutnya. "Ada keluhan apa, Neng?" tanyanya sesebelum memeriksa. "Saya demam, Bu." Bidan itu segera melakukan pemeriksaan tekanan darah, suhu badan dan pemeriksaan kehamilan lainnya. "Usia kehamilannya sudah menginjak tujuh bulan. Sering lakukan senam dan jalan-jalan, ya!" anjur bidan tersebut. "Apa demam saya berpengaruh pada janin saya, Bu?" tanya Alisha. "Insyaallah, tidak. Asal nanti obatnya diminum dan habiskan!" "Ah, baik, Bu. Janin saya baik-baik saja kan?" "Insyaallah, dia baik-baik saja. Detak jantungnya masih normal," lanjut bidan itu. "Alhamdulillah," gumam Alisha. "Tapi nanti misal sudah tiga hari gak turun turun panasnya, kamu datang lagi dan harus di USG ya!" "Baik, Bu." "Sekarang tebus dulu obat ini. Jangan lupa habiskan, ya, biar panasnya cepat turun!" "Baik, Bu." "Semoga lekas sembuh." "Aamiin." Alisha pun undur diri dan segera menemui Fajar kembali. Ia memberikan secarik kertas yang berisi daftar obat untuk ditebusnya. Kemudian Alisha menunggu kembali selagi Fajar menebus obat tersebut. Ya, bagaimana tidak orang-orang berpikir kalau mereka sepasang suami istri, karena tingkah laku mereka sangat lumrah dilakukan suami istri. Lagi, saat Alisha duduk menunggu ibu hamil lainnya yang sedang mengantri mengajaknya bicara. Ah, memang begitu kebiasaan penduduk Indonesia, mereka ramah tapi kadang kelewatan karena ingin tahu atau so tahu dalam banyak hal. "Neng, minggu depan datang lagi, ya! Ada kelas ibu hamil gratis," ucap ibu hamil di samping Alisha memberi informasi. Sepertinya kali ini ibu hamil yang baik hati yang mengajak Alisha bicara. "Ah, benarkah? Bu bidan tadi gak kasih tahu," jawab Alisha. "Mungkin dia lupa, atau karena Neng baru. Tapi gak apa-apa, kalau mau datang saja. Lumayan, suka ada senamnya!" "Oh, baik, Bu. Terima kasih infonya." Tak lama dari itu, Fajar kembali mengajak Alisha untuk pulang. Alisha mengangguk seraya beringsut bangun. Fajar dengan sigap membantunya lalu menuntunnya. Dan saat keluar dari klinik, seorang ibu tersenyum pada mereka dan mendoakan kelanggengan untuk mereka berdua. Alisha dan Fajar saling tatap kemudian tertawa bersama. "Judulnya hari ini salah kira!" celetuk Fajar saat mereka sudah menaiki becak. "Maksudnya?" tanya Alisha tak paham. "Iya, itu banyak yang salah mengira kita. Jadi lucu deh!" Fajar tertawa renyah bersama dengan Alisha. *** Sepulangnya dari berobat, Alisha diminta bu Fatimah untuk istirahat saja. Hari ini ia tak banyak menyediakan lauk nasi sehingga akan tutup lebih cepat dari biasanya. Dan siang menjelang sore lauk terjual habis sehingga bu Fatimah sudah bisa menutup warungnya. "Bu, kenapa dikurangi jualannya? Sayang, tahu! Apa ini gara-gara aku sakit?" tanya Alisha. "Iya. Makanya cepet sembuh, ya!" jawab bu Fatimah. "Eh, maaf. Gara-gara saya ibu jadi jualan sebentar." "Gak apa-apa, ibu juga ingin istirahat." "Sebaiknya kalau ingin istirahat, Ibu istirahat di rumah saja!" "Sudah, Alisha! Jangan khawatirkan ibu! Gimana tadi kata bidan?" Bu Fatimah mengalihkan pembicaraan. "Insyaallah gak apa-apa, aku hanya tinggal habiskan obatnya!" "Syukurlah. Usia kandunganmu sekarang berapa bulan?" "Katanya sih tujuh bulan!" "Wah, sudah semakin dekat dong, kamu lahiran!" Alisha mengangguk dan tersenyum. "Kamu harus segera siap-siap, Al." "Siap-siap apa, Bu?" "Hei, memangnya setelah lahir nanti anakmu gak bakal pakai baju? Ya, persiapan baju bayinya, kasur bayi dan semua alat yang bakal dibutuhkan!" "Ah, benar juga. Kenapa aku gak pernah memikirkan ini!" Alisha menepuk dahinya. "Menyiapkan semua itu pasti makan banyak biaya," keluh Alisha kemudian. "Gak apa-apa, cicil dari sekarang aja!" usul bu Fatimah. "Oh, benar, Bu! Aku ada tabungan dari hasil pemberian ibu, nanti aku akan mulai beli sedikit-sedikit!" seru Alisha antusias. "Oke! Nanti ibu bantu. Sekarang kamu sembuh dulu!" "Siap, Bu!" "Sudah makan?" tanya bu Fatimah kemudian. "Sudah, Bu." "Obatnya?" "Sudah aku minum, Bu!" "Anak pintar!" Bu Fatimah menggasak pucuk kepala Alisha. "Ih, apa sih, Bu! Aku bukan anak kecil!" protes Alisha. Dua wanita yang tak berhubungan darah itu tertawa bersama. Sangat akrab seperti hubungan ibu dan anak. "Oh ya, Bu. Boleh aku tanyakan sesuatu?" tanya Alisha kemudian. "Ya? Tanyakan saja!" "Kenapa ibu baiiiiik banget sama aku?" "Hei, mau berapa kali kamu tanyakan itu? Sepertinya kamu sering menanyakan hal itu sampai ibu bosan menjawabnya." "Entahlah, aku masih sangat heran." "Dengar, Alisha! Tak ada alasan yang bagus untuk menolong kecuali karena Allah, karena peduli dan sayang pada sesama, dan yang pasti karena itu harus dilakukan karena kamu sangat membutuhkan bantuan." "Bu Fatimah sangat bijak." "Selain itu, aku sangat menyayangimu karena Allah. Karena Allah menyimpan rasa sayang itu di hati, ini yang perlu kamu syukuri." "Aku kadang heran aja karena bu Fatimah sampai bersusah payah untuk membantuku." "Sssstttt, syukuri saja!" "Adakah hal lain lagi?" "Karena kamu anak baik! Kebaikan yang datang itu karena kebaikan yang kamu perbuat juga." Alisha tersenyum kembali. "Sekarang, gimana kalau kamu ikut aja ke rumah? Jangan tinggal di sini sendiri!" "Gak perlu, Bu. Sepertinya aku sudah membaik." "Gak bisa. Kamu harus ikut. Semalam saja sampai saya bisa pastikan kamu benar-benar membaik!" "Emmm, gimana dengan anak ibu yang masih bujang itu?" "Ibu akan memintanya menginap di rumah temannya." "Tuh kan, lagi-lagi Ibu berkorban untuk orang lain yang bukan siapa-siapa!" "Kamu, ya! Oke, mulai sekarang kamu anakku dan janin dalam perutmu adalah cucuku!" "Hahaha bisa aja!" Alisha tertawa lepas. Dan akhirnya mengikuti saran Bu Fatimah untuk tinggal bersamanya. Melihat kedekatan mereka, sekilas orang-orang akan menganggap bahwa keduanya adalah ibu dan anak. Kasih bu Fatimah pada Alisha sangat terpancar jelas di wajahnya. Begitu juga Alisha, ia sangat bersyukur Allah menakdirkan pertemuan mereka, karena kasih sayang bu Fatimah tak ada bedanya dengan kasih sayang seorang ibu. Beberapa tetangga bu Fatimah sedikit heran dan bertanya-tanya. Namun, bu Fatimah bersikap cuek, sehingga kenyamanan Alisha tak terganggu. Ini kali pertamanya Alisha datang ke rumah bu Fatimah setelah cukup lama mereka saling kenal. Ya, karena Bu Fatimah sendiri lebih sering menghabiskan waktu di warungnya. Tak ada siapa pun di dalam rumah membuat Alisha leluasa. Bu Fatimah pun segera menghubungi dua prianya agar tinggal sementara di rumah temannya. Ya, termasuk suaminya. Bu Fatimah meminta agar suaminya itu pulang ketika ia membolehkannya. Dengan semangat empat lima, bu Fatimah segera memasakkan makanan menyambut Alisha di rumahnya. Berlebihan sih, tapi dia suka. Padahal sejak tadi dia sama sekali belum beristirahat. Maka dari itu, Alisha sangat menghormatinya. "Seandainya ibu tinggal sendiri, ibu kepengen kamu lahiran di sini aja!" "Makasih, Bu. Aku bisa lahiran di mana saja. Mungkin jika sudah waktunya nanti, aku akan cari kontrakan." "Iya, nanti ibu bantu ya, Sayang." "Terima kasih, Bu." Sementara di tempat lain seseorang mengetuk pintu warung dan menggedornya. Ia heran karena warung sudah tutup padahal masih sore. Ia pun memanggil-manggil nama Alisha tapi tak ada sahutan membuatnya sedikit khawatir. "Eh, Bu, Fajar tahu rumah ibu di sini gak?" tanya Alisha tiba-tiba. "Sepertinya tidak." "Eh? Dia pasti nanti nyari-nyari!" "Hahaha, biarin aja!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD