Demam

1621 Words
Menjelang pagi, tepat pada pukul empat Bu Fatimah datang dari pasar seperti biasanya. Ia terlonjak saat melihat Fajar tidur di dapurnya. Ia pun segera membangunkannya. "Fajar! Hei, sedang apa kamu di sini?" Bu Fatimah menggoyangkan tubuhnya agar Fajar terbangun. Fajar menggeliat, ia membuka matanya perlahan. Ia pun terkejut saat bu Fatimah ada di depannya. Gegas ia berdiri dan mencoba menjelaskan. "Emm, g-gini. I-ini tidak seperti yang ibu bayangkan. A-aku cuma nemenin Alisha karena semalam hujan. A-aku …." "Sudah, cepat ke masjid! Bukan aku yang bakal memarahi kamu, tapi pak Kiai!" potong bu Fatimah segera mengingatkan. "Ah, ibu benar! Aku permisi dulu, Bu." Fajar bergegas pergi, ia harap pak Kiai belum datang ke masjid. Setelah Fajar pergi, Bu Fatimah segera menuju kamar Alisha untuk membangunkannya. Namun, saat menyentuh tubuhnya bu Fatimah terkejut sekaligus khawatir. Tubuh Alisha sangat panas, ia pun tampak menggigil. "Sha, Sha! Kamu sakit?" Bu Fatimah menggoyangkan tubuh Alisha. Alisha terbangun masih dengan tubuh yang menggigil. Ia menarik selimut hingga ke dadanya karena tak kuat dengan dingin yang menusuk. Lagi, bu Fatimah meletakkan telapak tangannya pada kening Alisha dan panas tubuhnya kembali terasa. "Sha, kamu tunggu dulu ya. Nanti Ibu panggil dulu Fajar, eh tapi ini baru subuh. Ibu salat dulu nanti ibu langsung panggilkan Fajar." Bu Fatimah khawatir tak karuan. "Bu, aku gak apa-apa." "Gak apa-apa gimana?! Badanmu panas loh! Pokoknya kamu tunggu sebentar saja." "Iya, iya, Bu. Ibu tenang aja, gak perlu panik gitu," ujar Alisha dengan suara lemahnya. "Iya, iya. Kalau gitu ibu salat dulu." Bu Fatimah bergegas salat begitu adzan subuh berkumandang. Ia membiarkan pekerjaannya tak dikerjakan, tapi lebih memilih untuk menyusul Fajar begitu salat selesai. Tak dinantikan lagi, ia segera menuju masjid yang jaraknya cukup jauh, tempat Fajar tinggal. Mungkin bu Fatimah terlalu terburu-buru, begitu sampai di masjid para jamaah masih berdzikir termasuk Fajar. Pada akhirnya ia pun harus menunggu. Tak lama kemudian Fajar keluar masjid. Gegas, bu Fatimah menghampirinya. Fajar heran melihat bu Fatimah datang. Ia pun segera mendekat. "Ada apa, Bu?" "I-itu … A-Alisha …." "Ya? Alisha kenapa, Bu?" tanya Fajar. Bu Fatimah ragu mengatakannya, karena pak Kiai yang baru keluar dari masjid ikut menghampiri. "A-Alisha sakit." "Hah? Ya sudah, saya ganti baju dulu." Tanpa mengacuhkan pak Kiai, Fajar langsung pergi menuju kamarnya. Sedangkan kini, tinggal bu Fatimah dan Pai Kiai di sana. "Maaf bu Fatimah, Alisha itu siapa?" tanya Kiai Anwar. "D-dia wanita yang pernah ditolong Fajar, Pak Kiyai." "Ditolong? Gadis yang lagi hamil itu?" tanya pak Kiai kembali. Bu Fatimah hanya mengangguk. "Jadi dia masih ada di sini?" "Iya, Pak Kiyai. Dia tinggal di warung saya." "Ah, syukurlah. Saya sempat khawatir dan merasa bersalah, tapi saya benar-benar tidak punya solusi saat itu. Jadi sekarang dia sakit?" "Iya, pak Kiai. Saya mohon izin agar Fajar mau mengantar, karena saya harus buka warung." "Oh iya, tidak apa-apa. Tapi Bu, tolong dipantau ya mereka." "Iya, Pak. Tenang saja, mereka berdua anak-anak yang baik." "Tetap saja, Bu, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sebaiknya tidak dibiarkan berduaan." "Baik, Pak." Tiba-tiba Fajar muncul kembali dari kamarnya. "Eh, ada Pak Kiai. Izin, Pak, saya mau nganter Alisha." "Iya, boleh. Tapi kamu harus ingat satu hal Fajar, kalian itu bukan mahram." "Baik, Pak Kiai." "Dan satu lagi …." "Ya?" "Ini kah yang bikin kamu betah di warung bu Fatimah?" tanya Pak Kiyai menggodanya. "Eh, b-bukan! I-itu …." Tangan Fajar refleks mengusap tengkuknya. Sedangkan bu Fatimah dan Kiai Anwar hanya tersenyum. "Ya, sudah. Kami izin pamit ya, Pak Kiai," ucap bu Fatimah cepat. "Ya, ya. Silahkan!" "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Fajar yang salah tingkah segera menyusul bu Fatimah yang sudah beranjak. Ia mencium punggung tangan pak Kiai sebelumnya. Kemudian bergegas menyamakan langkah kaki dengan ibu baik hati pemilik warung itu. Sesampainya di warung, Fajar langsung menuju kamar Alisha. Wanita itu masih meringkuk di tempatnya dengan tubuh yang bergetar hebat karena menggigil kedinginan. Fajar perlahan mencoba membangunkannya. "Alisha, kamu sakit?" tanya Fajar, ia sangat cemas. "Eh? Kamu sampai ke sini, Jar?" Alisha mencoba bangkit untuk duduk. "Kamu belum makan? Aku beli bubur, ya?!" tawar Fajar kemudian. Alisha mengangguk lemah. Bersamaan dengan itu, Bu Fatimah datang dengan segelas s**u panas. "Ini minum ini dulu untuk mengisi perut," ujar Bu Fatimah seraya memberikan segelas s**u panas yang dibuatnya. "Bu, saya pergi ke luar dulu buat cari bubur," ujar Fajar. "Oh, iya iya. Ibu bakal jagain Alisha." Fajar pun segera ke luar. Alisha terdiam, menyimpan kembali gelas setelah meminum susunya. Ia menatap lekat ke arah Fatimah. "Ada apa?" tanya Bu Fatimah. "Bu Fatimah, gak perlu repot-repot urusin aku. Masak aja, nanti buka warungnya kesiangan!" "Kamu gak apa-apa, Neng?" "Ibu gak perlu cemas. Sebentar lagi Fajar juga kembali." "Ah, kalau gitu ibu siap-siap masak ya, Neng! Maaf ibu bukan gak mau temenin kamu." "Tidak, Bu. Bu Fatimah tidak perlu meminta maaf. Aku sangat berterima kasih sama ibu!" "Ya udah, Neng tiduran lagi aja sambil istirahat!" titah bu Fatimah. "Baik, Bu." Alisha kembali merebahkan tubuhnya. Dalam kondisi yang seperti ini Alisha teringat pada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Dia juga teringat pada Dita yang selama ini selalu baik padanya. Ya, seandainya kesalah pahaman itu tak terjadi mungkin orang yang paling mengkhawatirkannya saat ini adalah Dita. Namun, tak seharusnya Alisha udah bisa seperti itu, lebih baik baginya bersyukur atas kebaikan orang-orang di sekitarnya saat ini. Fajar tak kalah baik, ia ikut cemas dan sangat perhatian pada keadaannya saat ini persis seperti Dita saat itu. Bu Fatimah yang merupakan orang baik memiliki jiwa keibuan seolah-olah pengganti ibunya saat ini. Alisha pun bersyukur atas semua itu di dalam tangis diamnya. Tak lama dari itu Fajar datang dengan semangkuk bubur untuk sarapan Alisha. Pria itu membantu Alisha bangun untuk duduk. Kemudian ia segera memberinya minum sebelum Alisha makan. Gadis itu hanya terdiam saat pria di depannya tengah mengaduk bubur yang masih dipegangnya. Kemudian tiba-tiba Fajar menyendokkan bubur tersebut dan menyuapi Alisha. Untuk beberapa saat Alisha bergeming, keadaan ini membuatnya sedikit canggung untuk membuka mulut. Akan tetapi, Fajar belum menyadari apa yang terjadi sebenarnya. Lelah menunggu Alisha membuka mulut, Fajar pun menegurnya. "Hei, ayo buka mulutnya!" pintanya. Masih dengan rasa canggung, Alisha membuka mulut perlahan. Entah apa sebabnya ia tak bisa menolak. Padahal bisa saja ia bilang pada pria di depannya untuk makan sendiri. Namun, alih-alih makan sendiri ia lebih memilih menikmati keadaan ini walau dengan jantung yang berpacu cepat. Satu suapan Alisha terima. Ia segera mengunyahnya kemudian menelannya dengan sedikit kesusahan. Suhu yang tinggi membuatnya tak bisa menikmati. "Ayo, buka mulutnya lagi! Aaaaa," ujar Fajar kembali, ia menirukan gaya seorang ibu yang menyuapi anak-anaknya. Alisha kembali membuka mulut untuk yang kedua kali. Ia hanya tersenyum dengan sedikit malu-malu menanggapi candaan Fajar. Satu suap dua suap hingga akhirnya bubur itu habis setengahnya, Alisha meminta berhenti. Ia sudah tak bisa lagi menelan bubur karena rasa di lidahnya terasa lebih pahit. Keadaan Alisha cukup membaik setelah ia menghabiskan setengah porsi bubur. Akan tetapi, Bu Fatimah tetap memaksa meminta Fajar agar segera mengantarnya ke klinik. "Tidak perlu, Bu. Sepertinya siang nanti kondisiku juga membaik," tolak Alisha dengan halus. Ia hanya tak ingin terus merepotkan orang-orang di sekitarnya. "Tidak, Alisha. Kamu sedang hamil, jadi tidak bisa menyepelekan rasa sakit yang kamu rasakan! Apalagi ini sampai demam," timpal bu Fatimah. "Fajar, carikan becak. Kamu antar Alisha ke bidan yang di depan," sambung bu Fatimah memberikan perintah pada Fajar. "Siap, Bu!" Fajar bergegas mencarikan becak sesuai pesanan bu Fatimah. Ya, jarak dari warung ke bidan cukup dekat. Kurang lebih sekitar lima ratus meter, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Akan tetapi, Alisha tak mungkin melakukannya. Jadi Fatimah lebih memilih becak sebagai alat transportasinya. Tak lama dari itu Fajar datang kembali. Ia segera membopong tubuh Alisha membawanya ke depan. Alisha sendiri sudah tak bisa apa-apa lagi, ia tak lagi menolak karena bu Fatimah bersikukuh meminta Alisha untuk periksa, jadi gadis itu memilih untuk menurut saja. Fajar mendudukkan Alisha ke jok becak dengan sangat hati-hati. Kemudian ia beranjak menuju jok pengemudi. Alisha yang sedikit heran mengintip ke belakang. "Jadi, kamu yang bawa?" tanya Alisha melihat Fajar yang siap mengayuh pedalnya. "Ya, tentu saja!" jawab Fajar. "Aku baru tahu kalau profesi kamu selain marbot juga jadi tukang becak!" ucap Alisha. "Hahaha, iya nih lumayan kerjaan sampingan," timpal Fajar dengan candaan. "Eh, aku serius nanya loh." "Nggak, bukan kok! Ini becak yang punya sudah tua, jadi aku menyewa becaknya supaya dia istirahat aja. Kasian kalau dia yang bawa, berat!" "Hah? Apa? Aku berat?!" "Ya, lumayan." "Apa aku seberat itu? Aku gendutan, ya?" tanya Alisha. Terdengar dari nada suaranya, ia tampak cemas. "Eh, b-bukan gitu maksudnya. Aku dorong becaknya aja udah berat, ditambah kamu yang sedang hamil ya pasti tambah berat. Jadi bukan kamu gendut, Al!" jelas Fajar. Alisha bergeming tak lagi menjawab membuat Fajar sedikit ketakutan jika malah malah ada yang salah dari ucapannya. Setelah sampai, Fajar pun menepikan becaknya kemudian ia membantu Alisha kembali untuk bangun dan menuntunnya masuk hingga duduk. Karena mereka datang ke tempat praktek bidan, jadi di sana banyak ibu hamil yang sedang mengantri untuk kontrol bulanan. Ya, sepertinya begitu. Fajar pun segera mendaftarkan Alisha di meja pendaftaran. "Nama istrinya siapa, A?" tanya seorang gadis yang mengurus pendaftaran pasien. "E-eh? D-dia … emmm …." Fajar tergagap bingung harus berkata apa. "Namanya siapa?" tanya gadis itu mengulang. "Alisha." "Nah, gitu dong, A! Jangan lama-lama, banyak yang nunggu!" ucapnya kemudian. "Usia berapa?" sambungnya seraya bertanya. "Emmm … del- eh, tujuh belas," jawab Fajar cepat. Wanita itu tertegun untuk beberapa saat, ia menatap Fajar dan Alisha bergantian. Sedikit heran, tapi kemudian melanjutkan pertanyaan. "Nama Anda sendiri?" "S-saya Fajar." "Baik, terima kasih. Tunggu sampai dipanggil, ya!" Fajar mengangguk kaku. Ia masih bingung dan salah tingkah, bisa-bisanya orang menganggap mereka suami istri. Akan tetapi, jika Fajar mengungkapkan yang sebenarnya ia kasian pada Alisha yang tak punya pendamping. Fajar pun perlahan melangkahkan kaki untuk duduk di dekat Alisha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD