Kala Hujan Turun

1072 Words
Malam menjelang dengan cuaca dingin yang menusuk. Tak seperti biasanya, malam ini hujan turun dengan angkuhnya. Halilintar menggelegar dengan gagahnya bertemankan hujan lebat serta angin kencang. Satu jam yang lalu, Bu Fatimah meninggalkan warungnya, menyisakan Alisha seorang diri. Dengan mata tertutup serta tangan yang memeluk lututnya, Alisha terus mengucapkan kalimat istighfar melawan ketakutan. Hachi Hachi Alerginya mulai kambuh padahal Alisha sudah membalut tubuhnya dengan sweater serta selimut yang ada. Hidungnya terus mengeluarkan cairan bening yang menjadikan rongga hidungnya terasa gatal. Jika dari luar, hidungnya terlihat sangat merah. Tak ada yang bisa dilakukan wanita malang itu, kecuali berusaha agar dirinya tetap hangat di tengah hujan lebat yang seperti badai. "Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah …." Alisha terus mengucap kata dzikir di tengah-tengah bersinnya. Hingga tiba-tiba, samar terdengar orang yang mengetuk pintu. "Alisha, bukan pintunya!" teriak orang itu. Suaranya terselip dengan kerasnya suara hujan dan petir. Namun, Alisha masih bisa memastikan memang ada yang memanggilnya. Pada panggilan pertama ia diam, bisa saja itu hanya halusinasinya. Akan tetapi, tak lama panggilan itu terdengar kembali. "Sha, Alisha! Apa kamu sudah tidur?" Suaranya lebih keras membuat Alisha memberanikan diri untuk membuka pintu belakang, karena suaranya terdengar dari arah sana. Perlahan kakinya melangkah, mendekati pintu belakang. Kedua telapak tangannya terus ia gesekkan satu sama lain untuk menghindari hawa dingin. Alisha terdiam beberapa saat. "Siapa? Di luar siapa?" Alisha teriak di balik pintu. "Aku Fajar. Ayo cepat buka pintunya. Aku kedinginan nih!" Alisha mengembuskan nafas lega. Ia segera membuka kenop pintu setelah yakin Fajar di baliknya. Namun, begitu pintu terbuka tak ada siapa pun di sana. Alisha terhenyak, ia bergeming untuk beberapa saat. "DARR!!" kejut Fajar yang tiba-tiba muncul membuat Alisha loncat dari tempatnya. "FAJAR!!" bentak Alisha terkejut. "Hahaha, kaget ya?" Dengan jahilnya Fajar tertawa puas. "Tau ah!" ketus Alisha ia segera beranjak meninggalkan Fajar. Fajar mengekor. Payung yang digunakannya, ia simpan di dekat pintu. Kemudian segera menutup pintu kembali sebelum kemudian mengekori Alisha. Alisha duduk pada kursi yang ada di dapur. Ia masih saja bersin dan tampak kerepotan dengan ingusnya. Alisha berlari ke kamar mandi bermaksud untuk membersihkan hidungnya. Melihat hal itu, Fajar heran untuk beberapa saat. Namun, cepat ia panaskan air dan menyiapkan s**u panas untuk Alisha. "Hei, apa kamu keinginan di sini?" tanya Fajar setelah Alisha kembali. "Lumayan. Aku alergi terhadap cuaca dingin," jawab Alisha. "Ah, kenapa kamu gak bilang?" "Kamu baru tanya!" Teko air yang tengah dipanaskan menjerit, memberi tanda bahwa air sudah matang. Gegas Fajar mematikan kompor kemudian menuangkan air tersebut pada gelas yang sudah ia siapkan. Sebelum diberikan pada Alisha, ia mencari jahe lalu memasukkannya setelah menumbuk jahe tersebut. "Ayo, diminum! Setidaknya dapat menghangatkan tubuh kamu," ujar Fajar setelah ia berikan s**u tersebut pada Alisha. "Makasih," jawab Alisha. Gegas ia minum s**u penghangat racikan pria itu. Satu tegukan menyegarkan. Rasa hangat yang berasal dari campuran jahe menyebar ke seluruh tubuh sedikit melegakan hidung yang terasa gatal. Alisha kembali meneguknya ketagihan. "Aku khawatir sama kamu," ungkap Fajar kemudian. Alisha menghentikan aktifitas minumnya beberapa saat. "M-makasih," ucapnya lagi. Kali ini ia sedikit gugup. Mereka saling terdiam dalam pikiran masing-masing. Hujan lebat kini mulai mereda. Guntur pun turut hilang bersamanya. "Kamu pasti takut kan sendiri di sini?" tanya Fajar kembali guna memecah keheningan. "Emm, ya." "Huft. Seandainya kamu punya handphone, mungkin aku bisa hubungi kamu tanpa harus datang ke sini." "Eh, emangnya kenapa dengan datang seperti ini?" tanya Alisha heran. "Aku ini seorang pria, Sha. Pria dewasa yang bisa melakukan apa saja pada wanita cantik jika sedang berduaan seperti ini." Alisha terlonjak, ia sedikit menjauhkan diri dari Fajar yang duduk di sampingnya. "Tapi kamu tenang aja, aku tidak mungkin melakukan itu. Hanya saja dengan begitu aku harus berusaha keras untuk menahan diri," sambung Fajar. "Jar, boleh aku tanya sesuatu?" "Ya, silakan." "Kenapa kamu baik padaku?" Fajar terdiam sesaat. Ia menatap lekat wanita di hadapannya. Yang ditatap menundukkan kepala, terdiam, menunggu jawaban yang pasti dari lawan bicaranya. "Karena kamu memang harus aku tolong. Karena kamu membutuhkan aku. Karena aku …." Fajar segera menghentikan ucapannya. Nyaris saja ia mengatakan sesuatu yang tak harus ia sampaikan. "Ya?" tanya Alisha penasaran. "A-aku memang suka menolong," lanjut Fajar. "Ah, benar juga. Hahaha." Alisha tertawa hambar. Ada gurat kecewa di wajahnya, karena ia sempat berpikir ada maksud lain dari tingkah laku Fajar selama ini. Apalagi tadi secara tidak langsung dia bilang bahwa Alisha wanita yang cantik. Alisha pikir ada hal lain yang memang menjadi dasar Fajar selalu mengkhawatirkannya. "Hidungmu sudah membaik?" tanya Fajar kemudian. Alisha hanya balas dengan anggukan. "Ayo cepat tidur. Kamu harus istirahat. Aku akan kembali pulang ke masjid." "Ah, baiklah. Kalau boleh jujur, aku senang kamu ada di sini. Aku sedikit takut sendirian di warung ini," ungkap Alisha. "Emmm … baiklah. Aku akan menemani kamu sampai kamu tidur. Sekarang ayo masuk kamar!" ajak Fajar. Alisha mengangguk kemudian bergegas menuju kamar mushola yang dipakainya tidur. Senyuman tersungging di bibirnya merasa senang. Fajar duduk menemani di ambang pintu kamar. Karena kamarnya kecil, posisi mereka tak membuat mereka berjauhan. "Boleh aku minta sesuatu?" tanya Alisha setelah ia merebahkan tubuhnya. "Ya, tentu saja." "Aku ingin kamu bernyanyi untukku," ujar Alisha. "Eh?" Sontak Fajar memastikan. "I-ini bawaan bayi," ucap Alisha segera. "Gimana kalau sholawat?" tawar Fajar bernegosiasi. "Emm, boleh boleh," sahut Alisha antusias. Fajar pun menarik nafas, kemudian memulainya. "Allahumma sholli wa sallim wa baarik 'alaih," ucapnya sebelum bersenandung. Kemudian barulah ia bawakan sholawat nabi dengan suara merdunya. Alisha selalu merasa senang dan tenang saat mendengar suara indah milik Fajar kala mengumandangkan adzan di masjid. Saat ini ia lebih senang karena mendengarnya secara langsung. Janin dalam perutnya yang biasa bergerak aktif terdiam. Ia seolah ikut merasakan ketenangan yang tercipta karena lantunan sholawat. Alisha pun memejamkan matanya. Satu tangannya mengusap-usap perut, hal yang sering ia lakukan saat hendak tidur setelah mengandung. Dalam hati ia berharap, jika anak ini lahir Alisha ingin Fajarlah yang akan mengadzani dan melantunkan shalawat sebagai pengantar tidurnya. Fajar larut dalam sholawatnya, hingga ia tersadar sudah cukup lama ia melantunkan pujian nabi tersebut. Dilihatnya Aliasha tampak tertidur pulas, Fajar pun memutuskan untuk pergi kembali ke masjid. Akan tetapi, langkahnya terhenti. Ia tersadar, jika dirinya pergi maka tak ada yang mengunci pintu. Fajar pun memutuskan untuk kembali duduk di kursi, ia tak mungkin meninggalkan Alisha begitu saja. Menit demi menit Fajar lalui, hingga akhirnya rasa kantuk menarik ia ke alam bawah sadar. Fajar pun terlelap dengan posisinya yang duduk, serta kepala beralaskan meja di depannya. Fajar melakukan ini semua tentu saja bukan hanya sekedar menolong. Ada rasa tak biasa dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD