Tentang Fajar

1068 Words
Tiga hari berlalu, Alisha mulai lihai melakukan pekerjaannya. Saat ini ia ikut terjun melayani pembeli menyiapkan makanan. Walau masih dalam pantauan, beberapa menu ia sudah bisa membuat sendiri. Menjadikan pekerjaan lebih cepat selesai dari biasanya. Fatimah sangat mengagumi kecakapannya. Memang, Alisha sendiri sudah memiliki bakat sebelumnya mungkin dari ibunya. Karena itulah, belajar sedikit saja ia langsung bisa mempraktekkan. Sehari-hari Fajar sering datang berkunjung. Ya, memang, awalnya pun ia sering datang. Namun, saat ini pria itu lebih sering berlama-lama di warung untuk mengobrol dengan Alisha. Mereka pun menjadi lebih akrab dan dekat satu sama lainnya. Seperti saat ini, Fajar datang sore-sore untuk makan. Di sore hari pembeli tak begitu banyak hanya hitungan jari, sehingga bisa dilayani oleh bu Fatimah seorang. Ia membiarkan Alisha menemani Fajar sambil beristirahat. "Jadi, kapan nih mau ceritain siapa kamu sebenarnya ke aku?" ujar Alisha, ia mengingatkan pada janji Fajar tempo hari. "Emmm, sebelumnya aku mau minta pendapat kamu dulu. Menurut kamu aku ini orang seperti apa?" "Emmm, apa ya? Aku rasa baik." "Nggak, nggak. Maksud aku saat pertama kita ketemu." "Ya, kamu kayak preman. Atau anggota geng geng gitu deh." "Ya, tepat. Awalnya aku adalah anggota geng motor," jawab Fajar "Kamu tahu? Aku mantan napi, loh!" bisiknya kemudian. "Hah?" "Karena ini ekslusif, aku cuma cerita sama kamu loh, Sha!" "Oke oke. Ceritakan!" "Jadi, aku ini perantau. Aku udah gak punya bapak, tinggal ibu yang tinggal di Tasikmalaya. Selama ini beliau gak tahu apa yang terjadi, mungkin sehari-hari hanya menunggu kepulanganku." "Terus kenapa gak pulang?" "Aku malu. Sejak dulu, gak ada yang bisa ibu harapkan dariku. Sekolah gak bener, bikin susah orang tua, dan setiap hari ada aja ulahku yang bikin ibu nangis." Alisha bergeming, ia mulai menyimak dengan serius. "Aku sekolah hanya sampai SMP aja. Itu pun berkat guru-guru yang baik dan sabar, akhirnya aku bisa lulus. Setelah lulus, aku memutuskan untuk pergi merantau. Aku sempat melihat ibu nangis karena kepergianku, tapi saat itu aku hanya berpikir ingin berubah dan gak mau menyusahkan ibu." Fajar menghentikan ceritanya sejenak. Ia menghabiskan makanan yang tinggal sedikit lagi, dan Alisha dengan setia menunggu kelanjutannya. Ya, setia seperti kalian yang selalu nunggu up cerita mereka. :* "Aku menaiki bus antar kota secara acak karena aku tak punya pengalaman. Dan sampailah aku di kota ini. Awalnya aku seperti gelandangan yang tak punya tempat tidur dan tak punya uang untuk makan, hingga akhirnya aku bertemu sekelompok pengamen yang usianya tak jauh dariku." Alisha masih dalam posisinya yang menunggu kelanjutan cerita Fajar. "Aku diajak oleh mereka untuk gabung. Awalnya aku ragu, tapi setelah dipikir-pikir kembali akhirnya aku mau. Mereka mengajakku ke sebuah rumah gubuk yang ditinggali mereka. Kurang lebih saat itu jumlah mereka ada tujuh orang ditambah aku jadi delapan." "Banyak banget," tanggap Alisha. "Iya. Setelah saling kenal ternyata kita semua sama berasal dari perantauan. Lucu lucu sih, yang satu ada yang kabur dari orang tuanya, ada lagi karena ketinggalan kereta dan aku malah terlantar karena asal naik bus." "Lalu?" "Awalnya kami mengamen seperti biasa. Cari uang untuk makan, ada lebih sedikit buat rokok. Gitu dan gitu terus menerus. Kita ngamen sebenernya gak capek sih, cuma dari pagi sampai siang aja udah dapet uang buat makan hari itu. Buat besok ya besok lagi. Hingga aku berpikir, kalau aku melakukan lebih dari ini mungkin penghasilanku lebih banyak lagi. "Aku pun melakukan hal itu bersama satu temanku. Kami mengamen dari pagi sampai malam. Tidak hanya di lampu merah, tapi kami masuk ke gang-gang rumah. Bahkan pernah juga di bus dan ke kota lain barang dua atau tiga hari. "Dari situ aku mendapat banyak uang. Aku dan temanku itu mulai menabung dan kami tidak bergabung lagi dengan teman yang lain, karena takut uang kami mereka ambil. Berbulan-bulan kami terus melakukan itu hingga uang terkumpul banyak. "Suatu saat, kami bertemu sekumpulan geng motor anak sekolah. Awalnya mereka berniat merampas uang kami, tapi bos mereka kalah hanya dengan satu tonjokan tanganku. Payah bukan?" Sambil mendengarkan, sesekali Alisha meringis, mendesah, larut dalam cerita. "Saat itu mereka pergi. Namun, tanpa diduga keesokan harinya mereka membawa pasukan geng motor lebih banyak lagi. Mereka bukan hanya anak sekolah tapi tampak seperti preman-preman. Apa aku takut? Tentu saja. Tapi aku memilih bersikap angkuh dan seperti tak takut sama sekali. "Aku dan temanku diserang habis-habisan, tapi kami tetap menang. Walau kewalahan, aku bisa lumpuhkan mereka satu persatu. Saat itu juga, mereka memintaku untuk jadi bos mereka. Konyol sih, tapi tetap aku ikuti. Bahkan aku diberi motor oleh mereka. "Aku merasa sukses saat itu. Aku merasa aku lah yang paling berkuasa. Pencarianku berpindah saat itu juga. Rupanya, mereka bukan hanya sekedar geng, tapi juga pengedar. Mereka menjelaskan keuntungan yang dihasilkan membuatku tergiur bahkan semua uang yang aku kumpulkan selama ini aku jadikan modal untuk pribadi. "Dan semua itu tidak berlangsung lama. Kami tertangkap polisi sebagai p**************a dan beberapa di antara kami pemakai juga. Beruntung aku tidak sempat memakainya, karena aku lebih suka dengan mengubah penampilan. Bertato, bertindik, berpakaian layak anak geng." "Hmmm, minum dulu," sela Alisha ia menyodorkan gelasnya yang masih utuh. "Hehe, makasih. Tapi kayaknya kamu deh yang harus minum dulu. Aku lihat kamu menghela nafas berkali-kali." "Lalu setelah itu?" tanya Alisha meminta kelanjutan. "Aku tertangkap dan dipenjara selama kurang lebih empat tahun. Dan di sanalah aku memahami kehidupan yang sebenarnya." "Ibumu tahu?" "Tentu saja tidak. Sejak aku pergi itu, aku tak lagi berkomunikasi dengannya." "Apa kamu tidak rindu? Dia pasti sangat khawatir." "Aku akan segera pulang dalam waktu dekat. Aku sedang mengumpulkan uang untuknya." "Tapi, Jar. Apa kamu tahu kabarnya sekarang. Emmm, bagaimana kalau dia …." "Tidak, kok! Kamu tenang aja. Aku tahu kabarnya." "Dari mana?" "Tetanggaku bekerja tak jauh dari sini. Aku sering tanya sama dia tentang ibu. Dan alhamdulilah, ibu baik-baik aja." "Ah, syukurlah. Jadi, selama ini yang tahu tentang kamu hanya aku?" "Bu Fatimah, Pak Kiyai dan kamu." Alisha menganggukkan kepalanya. Kemudian matanya melirik ke arah jam dinding yang terpasang di sana. "Astaghfirullah, Jar. Udah jam setengah enam!" serunya. "Eh, masa?" Fajar turut melirik ke arah jam juga. "Duh, keasyikan ngobrol sama kamu jadi gak tahu waktu. Aku pulang dulu, ya. Harus siap-siap." "Iya. Cepet pulang! Nanti kena marah lagi pak kiyai!" "Haha, iya. Ya udah, assalamualaikum." "Wa'alaikum salam warahmatullah." Alisha menatap kepergian Fajar dengan senyuman. Ia tak sabar untuk mendengar suara merdunya dalam panggilan adzan. Ya, belakangan Alisha tahu pemilik suara merdu setiap adzan lima waktu itu adalah pria yang selalu bersamanya. Pria yang selalu ia tunggu kehadirannya. Pria yang selalu membuat senyuman tersungging di bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD