Bersyukur

1277 Words
Sore harinya sekitar pukul setengah lima Fajar kembali. Ia memesan makanan dan makan di tempat. Bu Fatimah meminta agar Alisha juga turut makan bersama dengan Fajar. Alisha menuruti, toh perutnya memang sudah menuntut untuk diisi. "Sudah bicara dengan bu Fatimah?" tanya Fajar di sela-sela makannya. "Sudah." "Gimana responsnya?" "Aku diterima. Aku juga bakal tinggal di sini." "Alhamdulillah. Tapi kamu yakin tinggal di sini?" tanya Fajar kemudian. "Yakin. Memangnya kenapa?" "Tempatnya sempit, terus gak ada kasur dan bantalnya." "Ya, mau gimana lagi. Aku bersyukur ada yang mau terima aku saat ini. Aku bisa tidur di atas tikar, untuk bantalnya bisa pakai tas." "Kalau cari kontrakan aja gimana?" usul Fajar. "Kontrakan? Aku gak ada uang. Lagi pula di sini pasti mahal-mahal." "Emmm, iya sih." "Oh ya, Jar. BTW, makasih banyak ya. Ini semua berkat kamu," ucap Alisha kemudian. "Aku tidak banyak membantu," sahut Fajar. "Kata siapa? Kamu sangat membantu. Pertama kamu nyelamatin aku dari tindakan paling bodoh. Kedua, kamu kasih aku kamar buat tinggal semalam. Ketiga, kamu kenalkan aku sama bu Fatimah. Dalam satu hari kamu banyak melakukan kebaikan." "Alhamdulillah kalau benar-benar membantu." "Seandainya bisa, aku ingin balas. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti aku pasti bakal ingat dan balas kebaikan kamu." "Tidak perlu begitu. Ini memang prinsip hidup aku saat ini untuk menolong orang." "Kamu sangat baik ternyata. Padahal dari tampangnya sedikit meragukan," celetuk Alisha. Fajar hanya tertawa kecil. "Nanti aku ceritakan kisah lengkap aku. Eksklusif hanya untuk kamu seorang." "Sepertinya menarik!" seru Alisha. Mereka mulai mengakrabkan diri satu sama lain. Setelah menghabiskan makanannya masing-masing, mereka segera mencuci piring itu sendiri. Diam-diam bu Fatimah memperhatikan keduanya, ia tersenyum jahil melihat kedekatan mereka. *** Menjelang malam, warung nasi pun akan segera tutup. Alisha, Fatimah serta suaminya segera membereskan barang-barang. Setelah semua beres, Fatimah berpamitan untuk pulang. "Neng, yakin tinggal di sini sendiri?" Alisha mengangguk meyakinkan. "Ibu tenang aja. Aku nyaman kok, di sini." "Maaf ya, Neng. Ibu sih maunya kamu tinggal aja di rumah ibu." "Gak apa-apa, Bu. Aku bersyukur atas semua ini." "Rumah ibu tidak terlalu jauh sih. Nanti ibu bawakan selimut deh biar kamu gak kedinginan. Tapi maaf, ibu gak punya kasur kecil atau kasur lantai." "Gak apa-apa, Bu. Gak perlu repot-repot." "Ya sudah, ibu pulang ya. Nanti ibu balik lagi buat anterin selimut. Tapi ini pintu kunci dulu aja." Alisha mengangguk. Kemudian Fatimah pun pergi untuk pulang melalui pintu dapur. Alisha segera menguncinya. Namun, baru saja satu menit kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu. Alisha sempat heran beberapa saat. Apa sedekat itu jarak rumah bu Fatimah? batinnya. Namun, ia tetap membuka pintu walau tak yakin. Rupanya, Fajar yang datang. Ia membawa kasur lantai yang ada di kamarnya. Memaksa masuk dan segera menyimpannya di kamar kecil tempat salat. Alisha yang kebingungan hanya terdiam memperhatikan. "Aku gak bisa tidur karena kepikiran kamu. Jadi pakai saja ini," jelas Fajar tanpa ditanya. "Eh? Terus kamu?" "Aku bisa tidur pakai selimut jadikan alas. Maaf ya, selimutnya aku pakai." "Eh, dasar! Kamu gak perlu repot-repot gini, Jar. Aku baik-baik aja, kok." "Aku gak bisa tenang. Kamu lagi hamil, Sha. Kamu lebih layak untuk menggunakannya." "Emmmm. Ya, terima kasih banyak." Bersamaan dengan itu Fatimah datang. "Eh, ada Fajar. Lagi apa kalian berdua?" tanya Fatimah. "Eh, Bu. Aku anterin kasur buat Alisha." "Huh? Lain kali jangan berduaan gini. Apalagi malam-malam. Orang lain bisa berpikiran buruk." "Eh, maaf, Bu. Tadi aku kira ibu yang datang," jawab Alisha. "Ya sudah. Nih selimutnya. Kamu segera istirahat ya, Alisha," ucap Fatimah. "Dan kamu Fajar, cepet kembali pulang. Nanti pak Kiai nyariin." "Siap, Bu." Fajar segera beranjak. "Oh, ya. Alisha, anggap saja lagi ada di rumah sendiri. Buat senyaman mungkin," sambungnya. Alisha membalas dengan senyuman dan anggukkan. "Sudah, sudah. Kenapa kamu kamu perhatian banget sama Alisha," seloroh Fatimah. "Eh, bukan gitu, Bu. Ya sudah, aku pulang ya. Assalamualaikum." Fajar cepat-cepat pergi. "Wa'alaikum salam," jawab Fatimah dan Alisha bersamaan. Mereka tertawa bersama. "Kamu juga segera tidur ya, Sha. Ibu pulang dulu. Nanti besok ke sini lagi setelah belanja di pasar. Paling tidak subuh ibu datang, ibu suka salat subuh di sini, kok." "Baik, Bu." "Ya sudah, ibu pulang, ya. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Alisha bergegas masuk ke kamar salat yang berubah menjadi kamar tidur setelah sebelumnya mengunci pintu. Saat masuk, ia melihat kasur lantai yang sudah terpasang rapi lengkap dengan bantalnya. Alisha tersenyum melihatnya. 'Dasar! Bisa-bisanya aku gak lihat dia bawa bantal tadi,' gumam Alisha. Ia segera membaringkan tubuhnya yang terasa lelah. Kemudian dipakainya selimut pemberian bu Fatimah. Malam itu, Alisha tidur dengan nyenyak. *** Pagi harinya Alisha terbangun karena gerakan aktif yang terasa dalam perutnya. Gerakan itu juga yang membuatnya bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan jam tangannya menunjukkan pukul empat pagi. Baru saja ia selesai dari kamar mandi, Fatimah datang dengan belanjaannya. Ia baru saja pulang dari pasar. Gegas Alisha membantu wanita paruh baya itu membawakan belanjaannya. "Kamu sudah bangun? Padahal mau ibu bangunkan nanti saja. Kamu harus cukup istirahat." "Tadi kebangun karena tendangan bayi di dalam, Bu," jawab Alisha apa adanya. Namun, jawaban itu membuat Fatimah menatap lekat ke arah Alisha. Ia terdiam beberapa saat. "Eh, kenapa, Bu?" tanya Alisha heran melihat mata wanita di depannya berkaca-kaca. "Ibu benar-benar kasian sama kamu karena harus melalui semua ini sebelum waktunya. Kamu yang sabar, ya. Semoga Allah selalu menjagamu dan memberimu pahala karena mau mengurus titipannya." "Aamiin." Fatimah mengambil posisi duduk seraya mengambil pisau dan talenan untuk mulai memotong sayuran. Alisha melakukan hal yang sama, ia mengupas bumbu-bumbu sebagai bahan utama. "Neng, kalau boleh tahu. Kenapa kamu memilih membiarkan janin itu tumbuh ketimbang menggugurkannya? Padahal yang sengaja melakukan hubungan pun akan menggugurkan kandungan jika sampai hamil." Alisha tak buru-buru menjawab. Ia tersenyum menanggapi pertanyaan Fatimah. "Apa karena memang kamu ini gadis yang baik ya, Neng?" ujar Fatimah kembali. Kali ini Alisha menggeleng. "Ibu salah duga. Aku juga pernah berusaha ingin menggugurkannya. Apalagi ini bukan karena kesalahanku." "Lalu bagaimana ceritanya sekarang masih dikandung?" tanya Fatimah tak sabar. "Ini karena sahabat aku sendiri yang melarang." Alisha menerawang mengingat kembali masa-masa itu. Fatimah menunggu kelanjutan ceritanya di sela-sela memotong sayuran. "Ah, saat itu betapa ia sangat meyakinkan akan merawat bayi ini bersama-sama. Dia bilang bahwa setelah anak ini lahir dia akan membantu aku menemukan siapa pelakunya, siapa ayah biologisnya." Alisha tertawa hambar. "Aku sangat percaya dan merasa itu semua akan terjadi. Dia memang baik orangnya membantu aku menyembunyikan kehamilan selama empat bulan. Seandainya pria itu tak menyukaiku. Ah, tidak. Seandainya aku tidak menemui pria yang dia suka, mungkin semua akan baik-baik saja." Mengingat semua itu, Alisha meneteskan air mata. "Ah, maafin ibu, Neng. Neng jadi nangis gara-gara pertanyaan ibu." "Gak apa-apa, Bu. Aku hanya rindu Dita, sahabatku itu." Alisha cepat-cepat menghapus air matanya. "Demi apa pun aku berani bersumpah, dia memang baik orangnya. Saat itu mungkin karena dia dibutakan oleh cinta sehingga dengan gegabah membocorkan kehamilan ini. Aku yakin dia menyesali perbuatannya." "Kamu gadis hebat, Neng. Hebat bisa melalui semua ini dengan baik. Insyaallah buahnya juga baik. Ibu tidak akan berhenti mendoakan kebaikan untuk kamu." "Aamiin. Terima kasih, Bu." "Tahu gak, Neng? Ibu itu sulit percaya sama orang lain, loh. Apalagi orang baru. Tapi liat Neng Alisha ini, di samping memang kasian, ibu langsung percaya bahwa Neng orang baik. Ini salah satu kebaikan Allah karena kesabaran Neng. Kalau gak Allah gerakin hati ibu untuk percaya, mungkin ibu gak bakal nerima Neng seperti saat ini." "Alhamdulillah. Iya, Bu. Saya juga memang harus banyak-banyak bersyukur sama Allah." "Tepat sekali. Semua yang sudah terjadi adalah takdir dari Allah. Tak perlu disesali, yang penting sabar. Insyaallah ada hikmah besar di balik semuanya." "Aamiin, Bu." Kedua wanita itu semakin dekat, membuat Alisha semakin nyaman. Selanjutnya Fatimah membimbing gadis itu memasak. Mereka juga salat subuh bergantian setelah adzan berkumandang. Dalam sujudnya, Alisha sangat bersyukur atas apa yang dianugerahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD