Tempat Baru

1153 Words
Ramai terdengar dari bilik yang ditempati Alisha. Sepertinya, para konsumen mulai berdatangan menyerbu makanan buatan bu Fatimah. Alisha akui masakannya memang enak. Bumbu-bumbu yang digunakan terasa meresap pada makanan. Tiba-tiba Alisha teringat ibunya. Bisa dikatakan, ibunya itu memiliki bakat dalam urusan dapur. Nasi kuning yang sering dibuatnya pun banyak peminatnya. Seandainya ibunya itu membuka warung nasi seperti bu Fatimah, besar kemungkinan orang-orang akan menyerbu warungnya seperti saat ini. 'Ah, aku ini memikirkan apa? Jelas-jelas membuka warung seperti bu Fatimah ini memerlukan modal besar. Seandainya aku tak mengalami hal ini mungkin aku bisa memberikan modal besar itu,' batin Alisha. Ia duduk dengan tangan yang memeluk lutut. Pandangan yang lurus tampak kosong karena pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Ia menggelengkan kepalanya berulang, tak mau terus meratapi nasib yang menyedihkan. Bergegas ia bangun dan keluar dari kamar itu. Alisha mengintip dari arah dapur. Bu Fatimah tampak sibuk melayani pembeli, ditemani dengan seorang pria paruh baya yang mungkin suaminya. Di sisi lain, Fajar juga turut membantu menyediakan minuman untuk pembeli yang makan di warung ini. Perlahan ia melangkah, membaur dengan keramaian, turut membantu apa yang Fajar lakukan. "Eh, gak usah. Kamu istirahat aja!" ujar Fajar saat melihat Alisha mengambil nampan yang disiapkannya. "Ini taruh di mana?" Alisha tak menghiraukan ucapan Fajar. Ia malah balik bertanya. "Eh, i-itu di meja depan." Mereka pun bekerja sama hingga akhirnya pembeli berangsur-angsur pergi. Alisha memutuskan duduk. Kakinya terasa sangat pegal karena cukup lama berdiri. Fajar yang telah menyelesaikan pekerjaannya juga turut duduk di dekat Alisha. "Warung makan tapi kok rame banget, ya?" tanya Alisha memulai obrolan. "Ya, seperti yang kamu lihat. Mereka berseragam. Itu kebanyakan guru-guru di sekolah depan," jawab Fajar. "Ah, gitu ya." "Nah, nanti biasanya sopir-sopir angkutan. Tapi mereka gak barengan kayak pegawai kantor. Yang pasti sampai malam tuh, ya ada aja yang beli," jelas Fajar kembali. Alisha mengangguk-anggukkan kepala tanda paham. "Bu Fatimah gak punya pegawai?" tanya Alisha kemudian. "Waktu itu sih ada. Perempuan. Tapi dia berhenti beberapa bulan yang lalu karena mau nikah." "Dia gak cari lagi?" "Kayaknya belum. Bu Fatimah cukup selektif. Lagian jarang-jarang kan orang yang melamar ke warung makan. Paling tidak mereka maunya jadi penjaga toko atau konter." "Ah, gitu ya." "Ini kesempatan kamu, Alisha. Coba kamu bicarakan dengan bu Fatimah." "Oke, nanti aku coba." Fajar melirik jam yang terpasang di dinding warung. Ia terkejut saat melihat jarum jam menunjukkan pukul sebelas siang. "Astaghfirullah. Aku belum bersih-bersih di masjid," ujarnya seraya menepuk jidat. Kemudian ia beringsut bangun dan berlari keluar tanpa pamit pada bu Fatimah. Tak lama dari itu, pemilik warung yang baru saja selesai melayani pembelinya menghampiri Alisha, turut duduk di sampingnya. "Kamu baik-baik aja? Padahal istirahat aja di sana, Neng," ujar Fatimah. "Eh, Bu. Saya udah baik-baik aja, kok." "Syukurlah." "Emmm, Bu. Maaf sebelumnya, apa saya boleh kerja di sini?" "Eh? Kerja?" "Tapi kalau gak boleh gak apa-apa, kok." "Nggak, bukan gitu. Tapi kamu yakin mau kerja di sini. Kerjanya capek loh!" "Gak apa-apa, Bu. Saya bisa bantu ibu cuci piring. Masak juga bisa sedikit-sedikit. Asal ibu kasih tahu aja resepnya." "Emmm, boleh. Kalau kamu yakin boleh-boleh aja, kok!" "Wah? Beneran, Bu? Makasih banyak, ya." "Iya, sama-sama. Oh ya, Neng. Tapi kamu nanti mau tinggal di mana?" "Kalau boleh sih, aku ingin sekalian tinggal di sini." "Tapi kan di sini sempit, Neng." "Gak apa-apa, Bu. Cukup kok, buat aku sendiri." "Maaf ya, ibu gak bisa bawa kamu tinggal di rumah. Soalnya ibu punya bujangan seusia kamu. Takut jadi fitnah." "Eh, justru aku sangat berterima kasih sama Ibu, udah dibolehin tinggal juga kerja di sini." "Sama-sama. Ibu kasian sama kamu, Neng. Nanti kamu kerja yang ringan-ringan aja, ya. Jangan terlalu capek!" "Baik, Bu. Boleh aku mulai kerja hari ini?" "Boleh. Tapi sekarang lagi gak ada kerjaan. Jadi kita ngobrol aja." Alisha tertawa kecil. Ini kali pertamanya ia bisa tertawa lagi setelah hari kemarin. Mereka pun larut dalam obrolan. Bu Fatimah banyak bertanya tentang kehidupan sehari-hari Alisha sebelumnya, dan Alisha dengan antusias menceritakan semuanya. Prestasinya, kepopulerannya, juga sahabatnya. Ya, seandainya ia tak mengalami nasib sial, menjadi korban pemuas nafsu, Alisha tumbuh menjadi gadis yang sempurna. Ia cantik, pintar, rajin, nyaris tak ada cacat sama sekali. Mungkin kemiskinan merupakan kekurangannya bagi mereka yang menganggap harta adalah penyempurna. Walau begitu, ia bisa menutupinya dengan kecerdasan sehingga tak pernah membayar biaya sekolah sepeser pun. Di saat teman-temannya bersaing mengejar prestasi dengan mengikuti kelas privat sana-sini, Alisha hanya belajar di rumah sendiri. Di saat teman-temannya membeli banyak buku untuk referensi, Alisha cukup dengan mengandalkan meminjam buku di perpustakaan. Ia mampu melampaui prestasi teman-temannya yang banyak difasilitasi. Bu Fatimah sangat kagum sekaligus merasa disayangkan karena semua itu lenyap hanya karena kesalahpahaman. Di sini Alisha sebagai korban, tapi seolah hanya dia yang menanggung beban. "Neng, kamu percaya bahwa Allah itu Maha Adil? Insyaallah akan ada balasan untuk kamu jika sabar melalui ujian ini. Bisa jadi masa depan yang tampak cerah itu ternyata jurang yang akan menjerumuskan kamu nantinya. Atau sebetulnya masa depan itu amat buruk bagimu, melebihi buruknya nasib yang menimpamu saat ini." Bu Fatimah dengan lemah lembut membesarkan hati Alisha. Alisha terdiam, ia mencoba memahami apa yang di sampaikan wanita baik di depannya. Hingga beberapa saat kemudian, ia tersenyum. Tangannya refleks menggenggam tangan Fatimah di depannya. "Terima kasih ya, Bu. Sudah menjadi orang baik dan memperlakukan aku dengan baik," ucap Alisha. "Ibu hanya berusaha melakukan hal yang baik, karena hanya dengan itu ibu bisa mengumpulkan amal baik untuk bekal nanti." Alisha tersenyum. Bu Fatimah sepertinya memang orang yang agamais. Terdengar dari tutur katanya yang menyangkutkan semua kejadian dengan Allah dan hari akhir. Hingga tiba-tiba datang seorang pembeli. Percakapan mereka terhenti. Fatimah bergegas berdiri untuk melayani. Alisha segera mengekor. Ia akan belajar cara melayani pembeli mulai saat ini. *** Sayup terdengar suara adzan dari toa masjid mendayu-dayu. Saat ini memasuki waktu dzuhur. Suara merdu yang terdengar sangat menyejukkan hati dari panasnya sinar mentari yang menyengat siang ini. Alisha terbuai dengan irama adzan yang memanjakan telinga. Ia meresapi setiap kalimat yang terdengar, membuat hatinya bergetar hebat. Alisha memang tak pernah meninggalkan salat, tapi dia bukan wanita yang sangat taat. Setetes air mata tiba-tiba jatuh. Tak henti-hentinya ia bersyukur. Mendengar panggilan salat itu membuatnya teringat akan Rabbnya. Selama ini, ia hanya menganggap bahwa salat lima waktu itu adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Hanya sebatas itu. Namun saat ini, menyadarkannya bahwa salat adalah tempatnya meminta pertolongan, serta waktu di mana ia mendekatkan diri pada Rabbnya. Selesai adzan dikumandangkan, Alisha membawa diri ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah itu, ia segera mendirikan salat empat rakaat. Kemudian ia panjatkan doa-doa setelahnya. Kalimat syukur terus Alisha ucapkan, karena semua kebaikan yang ia dapatkan adalah karena kuasa-Nya. Air mata pun terus-terusan keluar meminta ampun akan segala dosa yang membuatnya mendapatkan nasib sial. Alisha sematkan doa agar ujian yang sedang dijalaninya berlalu disertai dengan kesabaran. Setelah selesai, Alisha segera merapikan alat salatnya. Kemudian ia kembali ke depan untuk membantu Bu Fatimah. Alisha cukup andal dalam melayani pembeli dan itu membuat bu Fatimah tak salah menerimanya karena iba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD