Pingsan

1005 Words
Fajar segera menggendong Alisha menuju warung makan yang tak jauh dari sana. Ia dengan rasa paniknya meminta agar pemilik warung mengizinkan untuk masuk ke dalam dapurnya. "Bu, maaf banget nih urgent. Boleh ya, aku ikut menidurkan gadis ini di kamar?" ucap Fajar dengan tergesa-gesa. Bu Fatimah, pemilik warung itu merasa kebingungan. Namun, ia pun mengizinkan karena melihat Fajar yang tampak panik. Bu Fatimah mengajak Fajar masuk ke dalam kamar salat yang terdapat di dapur. Ukurannya kecil hanya cukup untuk salat. Namun, Fajar tetap membaringkan tubuh Alisha, karena tak ada lagi tempat. "Siapa ini teh, Cep?" tanya bu Fatimah, sedikit heran melihat Fajar menggendong seorang wanita. "Saya juga baru kenal semalam, Bu. Nanti kita ngobrolnya, ya. Ini anak orang kasian, dia pingsan." "Ya Allah, tunggu sebentar. Ibu ambilkan minyak angin." Bu Fatimah bergegas ke dalam mencari tasnya untuk mengambil minyak angin. Tak lama ia kembali dengan sebotol minyak di tangannya. "Sini, biar ibu bangunkan. Kamu bikinin teh manis aja, Cep," titah bu Fatimah kemudian. Gegas Fajar keluar, membuatkan teh manis sesuai pesanan bu Fatimah. Sementara itu, Bu Fatimah mencoba membangunkan Alisha dengan membalurkan minyak ke beberapa bagian tubuhnya. Kemudian ia gosok-gosok tepat di bawah hidung Alisha, harap harap gadis itu terbangun. Beberapa saat kemudian, Alisha pun membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian menyipit bersamaan dengan dahi yang berkerut heran melihat wanita paruh baya duduk di sampingnya. Alisha pun berusaha untuk bangun. "Pelan-pelan bangunnya." Bu Fatimah turut membantu Alisha untuk duduk. Tak lama dari itu, Fajar datang dengan segelas teh manis hangat. "Nih, Neng, minum ini dulu," ucap Bu Fatimah setelah Fajar memberikan gelasnya. Alisha menatap bingung ke arah Fajar. "Ayo, minum aja. Kamu baru sadar dari pingsan." Walau bingung, Alisha tetap menuruti permintaan bu Fatimah. "Nah, sekarang, ayo ceritakan siapa dia?" tuntut bu Fatimah kemudian pada Fajar. Fajar menjelaskan apa yang terjadi dan siapa Alisha sebenarnya. Ia juga menceritakan bahwa semalam Alisha tidur di kamarnya. Alisha hanya tertunduk, malu menampakkan wajahnya. "Kamu hamil, Neng?" tanya Bu Fatimah kemudian setelah Fajar selesai menceritakan semuanya. Alisha mengangguk dengan wajah yang masih tertunduk. "Kalau ibu boleh tahu, apa yang menyebabkan kamu hamil? Apa kamu khilaf?" tanya Bu Fatimah lebih dalam. Alisha bergegas menggelengkan kepala. Ia segera menatap bu Fatimah dan Fajar secara bergantian. Haruskan ia menjelaskan? Namun, melihat sorot mata kedua orang di depannya meyakinkan Alisha sendiri untuk bercerita. Maka Alisha pun segera menceritakan hal yang sebenarnya terjadi padanya. "Entah, bagaimana semua itu bisa terjadi. Aku hamil tanpa tahu kapan aku melakukannya. Aku tak ingat sama sekali. Ibu dan ayahku kecewa karena aku putri satu-satunya, dan mereka mengusirku karena akan membuat mereka malu," jelas Alisha mencoba menceritakan dengan runtut. "Kapan kamu ketahuan hamil?" tanya bu Fatimah. "Sekitar empat bulan yang lalu." "Lalu, selama itu kamu tinggal di mana?" tanya bu Fatimah kembali. "Aku memiliki seorang sahabat yang tulus dan mau membantuku. Aku tinggal di rumahnya, hingga saat kemari kesalahpahaman terjadi. Dia kecewa padaku tanpa tahu yang sebenarnya, dan aku pun diusir untuk yang kedua kalinya oleh orang terdekat.". "Ya Allah!" seru bu Fatimah dan Fajar nyaris bersamaan. Fajar hanya menatap iba sepanjang Alisha bercerita. Sedangkan bu Fatimah, ia menangis merasa sedih dengan semua cerita Alisha. Alisha sendiri, tak menangis sedikit pun. Ia sudah putus asa, air matanya sudah mengering. "Cep, si Neng teh udah sarapan?" tanya bu Fatimah kemudian setelah Alisha selesai bercerita. "Belum, Bu," jawab Fajar segera. "Ya udah atuh, ibu goreng dulu ayam. Nasi udah ada, cuma lauknya belum pada jadi. Untung masih pagi, jadi pembeli belum pada dateng." "Makasih, Bu. Maaf saya ngerepotin," ujar Alisha segera. "Eh, gak apa-apa, Neng. Ibu hamil jangan telat makan." Alisha hanya tersenyum tipis. Ia memijat pelipisnya yang terasa pening. Melihat hal itu, Fajar segera beringsut bangun. "Kamu tiduran aja. Aku tunggu di depan," ucap Fajar segera pergi. Alisha terdiam sesaat. Kemudian ia pun membaringkan tubuhnya karena kepalanya memang terasa pusing. Ia pejamkan matanya tapi tak sampai terlelap. Tiba-tiba bulir kristal bening keluar dari ujung mata yang masih tertutup. Disusul dengan buliran lainnya hingga menganak sungai. Bukan. Ia bukan sedang menangisi kemalangannya. Akab tetapi, Alisha amat sangat bersyukur karena ada yang mau merawatnya. Ia berterima kasih pada Tuhan karena ada orang yang masih digerakkan hatinya mau membantunya. Alisha segera menghapus jejak air matanya, saat Bu Fatimah kembali dengan nampan berisi nasi beserta lauk satu piring juga air putih dalam gelas. Wanita baik hati itu kembali membantu Alisha bangun kemudian meletakkan nampan tersebut di depan Alisha. "Makan sendiri bisa, Neng?" tanyanya dengan senyuman. "Eh, b-bisa, Bu." "Ya sudah, ibu tinggal masak, ya. Udah siang, takut keburu diserbu pembeli." "I-iya, Bu," jawab Alisha. Ia masih terbata karena canggung. Setelah bu Fatimah pergi, Alisha pun segera melahap makanan di depannya. Tiba-tiba Fajar datang kembali. Ia duduk tak jauh dari Alisha. "Warung ini tempat aku biasa makan setiap hari," jelasnya tanpa Alisha minta. "Bu Fatimah orangnya baik. Aku sering makan di sini tanpa bayar, atau kadang ngutang kalau lagi gak pegang uang," lanjutnya. Alisha hanya mendengarkan sambil menikmati makanannya. "Kalau kamu mau, sebaiknya kamu bilang padanya untuk ikut kerja di sini sekadar bantu-bantu cuci piring biar kamu bisa tinggal bareng dia juga," ujar Fajar kembali. Alisha menghentikan makannya kemudian menatap ke arah Fajar. "Emang boleh?" tanyanya kemudian. Ia merasa mendapatkan sebuah ide cemerlang. "Coba dulu saja. Ini cuma saranku sih. Kalau kamu lebih memilih pergi juga gak apa-apa." "Tidak. Terima kasih udah nolong dan bantu aku. Tapi aku penasaran, kenapa bisa kamu yang bawa aku ke sini?" "Emmm … i-itu, aku …." Belum sempat Fajar menuntaskan ucapannya, tiba-tiba bu Fatimah memanggil. "Cep! Tolong bantuin ibu dong. Ini berat diangkatnya." "Eh, iya, Bu. Tunggu sebentar," jawab Fajar sedikit berteriak. "Alisha, aku tinggal lagi gak apa-apa, ya. Kamu teruskan makannya," ucapnya kemudian pada Alisha. Ia kemudian segera pergi. Kedua alis Alisha bertautan ia heran, apa yang membuat Fajar yang membawanya ke sini. Padahal yang ia ingat, ia sudah cukup jauh berjalan dari masjid itu. Dan setahunya, Fajar tak mengikuti. Alisha jadi bertanya-tanya, siapa Fajar ini sebenarnya dan atas dasar apa ia ingin membantunya. Walau begitu ia tetap bersyukur karena ini merupakan pertolongan Tuhan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD