Menghindari Fitnah

1026 Words
"Nih, makan dulu. Malam ini kamu tinggal di sini aja. Aku akan tidur di masjid. Kamu bisa kunci kamar ini dari dalam." "I-iya, terima kasih banyak!" "Ah, benar. Aku belum tahu namamu. Siapa nama kamu?" "Alisha. Kamu?" "Fajar." Fajar segera pergi ke luar meninggalkan Alisha di dalam. Namun, setelah beberapa langkah kemudian ia berhenti, memutar badan dan kembali mengetuk pintu. Pintu pun dibuka setelah mendapat sahutan dari dalam. "Ada apa jagi?" tanya Alisha yang sudah siap menyantap makanan di depannya. "Emmm, apa kamu sudah salat? Kalo kamu mau salat, tempat wudhunya di samping sana," tunjuk Fajar. Alisha hanya mengangguk. "Emmm, ya udah, aku pergi, ya." Lagi-lagi Alisha hanya mengangguk membuat Fajar sedikit salah tingkah. Setelah itu, Fajar kembali ke luar dan menutup pintu kamar yang didiami Alisha. Ia bergegas masuk ke dalam masjid. Dengan hanya beralaskan karpet khusus salat, Fajar membaringkan tubuhnya. Sebelum memejamkan mata, ia memandang langit-langit masjid. Bayangan kejadian tadi tiba-tiba mengisi kepalanya. Atap bangunan itu merupakan tempat Fajar merenung, menyendiri dari keramaian. Tak ada kegiatan yang ia lakukan selepas salat isya, maka kebiasaannya adalah berdiam diri di sana. Tempat itulah tempat di mana ia berniat mengakhiri hidupnya seperti yang hampir Alisha lakukan. Melihat Alisha tadi membuatnya teringat pada masa itu. Namun, pada malam itu tak ada yang menghentikan Fajar seperti apa yang dilakukan Fajar pada Alisha. Ia mengurungkan niatnya karena bayangan ibunya di kampung yang tiba-tiba terasa di depan mata. 'Alhamdulillah,' ucapnya lirih. Fajar sangat bersyukur karena saat itu ia tersadar, dan saat ini ia hidup di lingkungan yang lebih baik. Kemudian Fajar memejamkan mata, hingga beberapa saat setelahnya ia terlelap masuk ke dalam alam bawah sadar. *** "Hei, Fajar! Fajar! Bangun, bangun!" Seseorang menggoyang-goyangkan tubuh Fajar hendak membangunkan. Fajar terbangun, dengan sedikit kesadaran ia berusaha melihat siapa yang membangunkannya. Setelah menyadari siapa orang di hadapannya, ia beringsut bangun mengambil posisi duduk. "Kenapa kamu tidur di sini?" tanya pria itu kemudian. "Eh? Emmm … i-itu, Pak Kiai … ada cewek." "Hah? Cewek? Maksud kamu gimana?" "Itu nanti saya ceritakan, Pak Kiai. Sekarang biar saya ke kamar mandi dulu." "Oh, iya iya. Silakan." Beberapa saat lagi memasuki waktu subuh. Pak Kiai yang membangunkan Fajar segera menyalakan speaker untuk membaca beberapa kalimat tahrim. Berangsur-angsur jemaah berdatangan untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Fajar sendiri, setelah membersihkan diri, bergegas ia menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Namun, saat ia tersadar ada Alisha di dalamnya, ia hanya mengetuk pintunya perlahan. Tak ada jawaban, membuatnya tak punya lagi banyak waktu. Perlahan diputarnya tuas pintu, dan ternyata pintu tak dikunci. Dengan perasaan dilema Fajar masuk ke dalam untuk mengambil pakaiannya. Alisha tengah tidur menyamping. Perutnya yang besar cukup terlihat, membuat Fajar mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak tahu jika wanita itu tengah hamil. Tiba-tiba adzan subuh berkumandang, membuatnya tersadar dan segera mengambil pakaian. Fajar bergegas menuju masjid untuk shalat berjamaah. Setelah selesai salat, Pak Kiai kembali menghampiri Fajar untuk membicarakan hal tadi yang sempat tertunda. "Fajar, jadi siapa wanita yang tidur di kamarmu itu?" tanya pak Kiai saat mereka hanya tinggal berdua di dalam masjid. "Semalam, saya melihat dia di atas atap pasar. Sepertinya dia hendak bunuh diri, Pak Kiai." "Astaghfirullah. Lalu?" "Saya ajak dia untuk pulang, tapi ternyata dia kabur dari rumahnya. Sepertinya ada masalah yang cukup rumit menimpanya." "Ya Allah." "Jadi saya ajak saja tidur di sini karena udah larut malam." "Baiklah. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Tapi, Fajar, dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Bahkan saat ini, kalau bisa dia harus segera pergi sebelum warga melihat dan terjadi fitnah antara kalian." "Baik, Pak Kiai. Akan saya temui dia sendiri." "Tidak. Biar saya ikut menemani juga." Fajar bersama Kiai yang merupakan ketua DKM masjid itu segera menuju kamar belakang. Tidak seperti sebelumnya langsung masuk begitu saja, kali ini Fajar mengetuk pintu dan sabar menunggu hingga pintu itu terbuka. Hingga ketukan ketiga, barulah Alisha membuka pintunya. Ia sedikit terkejut melihat kedatangan Fajar bersama orang lain, takut jika ia kena hukuman. "Assalamualaikum," ucap Pak Kiai seraya masuk. "Wa'alaikum salam," jawab Alisha pelan. "Neng, maaf sebelumnya. Bapak merupakan ketua DKM di sini, mau bicara sama Neng, boleh?" "B-boleh, Pak." "Tadi Nak Fajar sudah menceritakan kejadian semalam. Bapak sama sekali tidak keberatan atau menyalahkan. Tapi maaf sekali, ini kamar khusus untuk marbot masjid. Kebetulan marbotnya masih bujangan. Jadi alangkah baiknya Neng segera pergi ya, sebelum para warga tahu. Bukan kenapa-kenapa, Bapak takut ada fitnah di antara kalian." "Ah, b-baik, Pak Ustadz." "Tapi sebelumnya, kalau boleh tahu apa yang membuat Neng kabur?" "Saya diusir orang tua saya karena kehamilan saya, Pak Ustadz." "Astaghfirullahal 'azhim." Kiai itu terkejut, matanya langsung menangkap perut Alisha yang memang besar. Fajar sendiri terkesiap. Rupanya wanita ini benar-benar hamil. Pikirannya terbang jauh menganggap jika gadis hamil dan diusir orang tuanya, itu artinya dia telah melakukan hal yang keji. Namun, di sisi lain ia sedikit heran karena Alisha tampak seperti gadis yang baik. "Maaf, Pak Ustadz, kalau saya sudah pinjam kamarnya semalam. Terima kasih juga, Fajar." "Iya, Neng. Maaf juga ya, bapak tidak bermaksud mengusir, Neng." "Iya, Pak Ustadz. Saya mengerti." Setelah itu, Alisha segera bersiap untuk pergi dari tempat ini. Wajahnya menyiratkan kebingungan, kemana lagi ia harus pergi. Beruntung, semalam ada yang berhati baik memberikan tempat tidur. Namun, malam nanti entah di mana ia akan tidur. Alisha segera beringsut bangun. Tas ransel segera ia pakai, dan tas besar segera ditentengnya. Alisha menatap ke arah Fajar beberapa saat, kemudian tersenyum seraya mengucapkan terima kasih lagi. Setelah itu, ia bergegas pergi dari kamar yang sempat ia tiduri. Setelah Alisha pergi, Pak Kiai pun memutuskan pulang. Tinggallah Fajar seorang diri, ia kembali memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Jika dia melakukan hal itu karena suka dengan kekasihnya, besar kemungkinan ia akan pergi dengan kekasihnya jika memang diusir. Namun, saat ini ia tampak frustasi hingga nekat bunuh diri. Fajar merasa Alisha memang menderita. 'Atau mungkin dia korban p*******a@n?' batin Fajar setelah berpikir cukup keras. Kemudian ia tiba-tiba menyadari sesuatu. Dikejarnya Alisha yang sudah melangkah jauh. Harap harap langkah Alisha bisa disusul olehnya. Fajar semakin cemas saat Alisha tak juga ia temui. Hingga tiba di jalan raya, ia melihat sosok wanita yang sedang dicarinya tengah berjalan sempoyongan. Gegas Fajar mendekat. Tepat saat ia hendak menepuknya, tubuh Alisha ambruk dan Fajar segera menahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD