Ingin Mengakhiri

1278 Words
Kini tak ada lagi yang bisa diharapkan oleh Alisha. Masa depannya, kehidupannya, cita-citanya hancur dalam satu waktu. Kesalahpahaman yang terjadi membuat semua terenggut dari dirinya. Heran memang, kenapa juga harus mama Dita yang menjadi teman dokter Dinar. Andai bukan dia, mungkin ada sedikit harapan untuk Alisha ke depannya. Namun, begitulah skenario kehidupan yang kadang tak bisa ditebak apa yang akan terjadi barang sedetik kemudian. Sudah cukup lama, Alisha hanya duduk di kursi panjang di terminal. Matanya tertuju pada beberapa kendaraan yang berhenti dan melaju. Ia merasa harus pergi dari tempat ini dari kota ini. Akan tetapi, ia tak tahu tempat mana yang harus dikunjungi. Matahari yang tadi tampak menyengat kini tak dirasakan lagi. Sinarnya perlahan mulai berubah menjadi jingga tanda malam akan segera tiba. Tak mungkin Alisha terus-terusan berada di luar seperti gelandangan, ia pun menaiki salah satu mobil angkutan tanpa tahu tujuan. Mobil melaju, membawanya pergi bersama penumpang lain yang hendak pulang. Penumpangnya cukup banyak sehingga beberapa orang harus berdiri karena tak kebagian tempat. Alisha tak peduli, ia hanya melempar pandangan pada jendela, memandang benda-benda yang dilaluinya dengan lamunan. Para penumpang mulai turun satu persatu. Langit pun mulai menggelap, tanda malam tiba. Alisha masih tak beranjak dari tempat duduknya membuat sopir angkutan kebingungan. Sopir yang merupakan pria paruh baya itu menghampirinya dengan hati-hati. "Neng, mau ke mana? Penumpang yang lain udah pada turun, loh," ucap pria paruh baya itu. Alisha menoleh. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan baru sadar memang benar semua penumpang tak tersisa. "Emmm, apa ini pemberhentian terakhir, Pak?" "Iya. Bapak harus pulang." "Ah, baiklah. Saya turun di sini saja." Alisha merogoh saku seragam sekolahnya kemudian tas serta ranselnya, mencari keberadaan uang untuk membayar ongkos. Namun, ia tak menemukan kecuali selembar kertas lima ribu. Dengan ragu Alisha menatap pria paruh baya itu. "Pak, ongkosnya berapa ya? Tapi saya cuma punya segini." "Gak apa-apa, gak usah bayar. Buat kamu aja." "Ah, terima kasih, Pak. Semoga rezeki bapak Allah lapangkan." "Aamiin, Neng. Sini bapak bantu bawakan tasnya." Alisha mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Alisha pun turun. Alisha tak tahu di mana ia berada saat ini. Yang pasti bangunan di depannya merupakan bangunan tiga tingkat yang sepertinya adalah pasar. Saat ini bangunan itu tampak gelap, karena para pedagang sudah pulang. Hanya menyisakan pedagang sayur di lantai paling bawah. Alisha pun memasuki bangunan itu, berharap bisa dijadikan tempat tinggal sementara. Langkah kakinya menaiki anak tangga satu persatu, membawanya ke lantai atas. Setelah tiba, ia dibuat penasaran dengan lantai berikutnya, hingga akhirnya Alisha berada di atap bangunan tersebut. Perlahan Alisha melangkahkan kaki mendekati batas-batas bangunan. Ia menjatuhkan pandangannya ke bawah, hingga tiba-tiba niat buruk terbesit di kepalanya. Jika saat itu ia berpikir untuk membunuh janinnya demi masa depannya, saat ini ia berpikir untuk mati karena sudah tak ada lagi masa depan untuknya. Bayang-bayang Dita saat meminta ia untuk tidak menggugurkan janinnya kembali teringat. Dita dengan penuh percaya diri berkata akan ikut menjaga dan merawatnya. Namun, siapa sangka justru dia juga yang membocorkan semuanya. Alisha tersenyum getir. Semua ucapan sahabatnya itu rupanya hanya omong kosong. Kemudian bayangan beralih pada sikap mama Dita selama ini. Mama baik yang tak pernah Alisha temui, rupanya tak sebaik yang ia pikir selama ini. Hingga akhirnya bayangan orang tuanya turut hadir dalam ingatan Alisha. Orang tua buruk yang tega mengusir putrinya sendiri. Wanita malang itu semakin yakin untuk mengakhiri hidupnya di sini. Ia ingin segera lepas dari kejamnya dunia. Pria yang menghamilinya pergi entah ke mana tanpa dosa. Semua itu benar-benar membuatnya putus asa. Kakinya melangkah, semakin mendekati sisian atap. Tembok yang hanya membatasi setinggi pinggang, ia naiki. Alisha memejamkan matanya bersiap untuk terjun bebas. Satu … dua … tiga ….. Grap. Seseorang menariknya. "Aaaaaa," jerit Alisha. Alih-alih jatuh ke depan, ia justru jatuh ke belakang. Tubuhnya menindih tubuh orang yang menariknya. Alisha terselamatkan. Alisha masih terdiam. Jantungnya berdebar ketakutan. "Baru jatuh segini aja udah menjerit, apalagi ke bawah sana!" bisik orang itu, membuat Alisha tersadar seseorang tertindih olehnya. Ia pun segera bangun menjauhkan diri dari orang itu. Rupanya, dia seorang pria dengan kulit sawo matang, alis tebal. Terdapat codet di pelipis kirinya. Ia tampak menakutkan. Pria itu mendekati Alisha, membuat Alisha harus berjalan mundur menjauh darinya. Selangkah, dua langkah, hingga akhirnya Alisha tak bisa lagi melangkah. Tubuhnya terhenti karena tembok di belakangnya. Alisha semakin ketakutan. Dadanya tak henti-hentinya bergemuruh. Pria itu tampak jahat di matanya. "K-kamu mau apa?" tanya Alisha memberanikan diri. "Huh!" Pria itu membuang nafas kasar. "Kamu … sedang apa di sini?" tanyanya kemudian. "A-aku …." "Bunuh diri? Iya? Kamu mau bunuh diri?" "Emmm … i-itu …." "Jangan gila! Bunuh diri bukan menyelesaikan urusan, tapi justru memperpanjang urusan. Kamu percaya bahwa ada kehidupan setelah kita mati? Jika kamu mati dengan cara seperti ini, kamu yakin akan bahagia di kehidupan selanjutnya?" Alisha menggeleng. "Sudah. Sekarang ayo turun!" Pria itu beranjak meninggalkan Alisha. Namun Alisha masih diam di tempatnya. Ia sedang berusaha mencerna. Siapa orang itu? Ia tampak seperti preman tapi ucapannya menyinggung kehidupan akhirat. Alisha sangat heran. "Hei, kenapa masih diam? Ayo, ikut ke bawah!" ajak pria itu kembali setelah sadar Alisha tak mengikutinya. "Dengar! Ini adalah sebuah kesempatan karena kamu aku selamatkan. Jika kamu melakukannya lagi, kamu gak bakal mendapat kesempatan yang sama!" "I-iya." Hanya itu yang bisa Alisha ucapkan. Ia pun akhirnya mengikuti pria itu turun ke bawah. "Kamu pulang ke mana? Biar aku antar. Ini idah jam sepuluh loh. Gak baik cewek di luar sendirian," ucap pria itu. Ia menoleh ke arah Alisha dan baru sadar jika wanita di depannya membawa tas besar. Dari matanya, tampak sekali bahwa dia terkejut lalu menatap ke arah Alisha heran. "Kamu kabur? Atau gimana? Ini kamu pake seragam SMA kan?" "Iya. Aku diusir. Aku bingung harus ke mana," ungkap Alisha. "Hah? Hmmmm … gimana ya?" ucap pria itu turut bingung. Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan yang tentu saja berasal dari Alisha. Pria beralis tebal itu kembali mengernyitkan dahinya. "Kamu lapar?" Alisha hanya bergeming. Tentu saja dia malu mengakuinya. "Ya sudah, ayo ikut sama aku!" ajaknya. Alisha terus bergeming. Ia takut jika harus ikut, tapi di sisi lain ia kebingungan harus pergi ke mana. "Hei, ayo! Kenapa malah ngelamun? Gak usah takut, aku gak bakal macam-macamin kamu. Sekarang mending ikut dulu!" ajaknya lagi. Alisha pun akhirnya mengikuti dia. Ya, Alisha butuh istirahat setelah melalui hari yang panjang ini. Kakinya pun sudah sangat pegal mungkin membengkak sebagaimana ibu hamil. "Sini aku bawakan tas kamu!" Pria itu mengambil tas besar Alisha dari tangannya kemudian kembali melangkahkan kaki diikuti oleh Alisha. Setelah berjalan beberapa meter, pria itu memasuki sebuah masjid. Alisha yang tak tahu dia mau apa memilih menunggu di depan gerbangnya. Saat sadar Alisha tak mengikuti, pria itu kembali dan memberi isyarat agar ikut dengannya. Rupanya dia bukan hendak masuk ke dalam masjid, tetapi menuju sebuah kamar yang berada di belakang masjid. Kamar dengan ukuran tiga kali empat cukup nyaman dipakai untuk istirahat. "Kamu tunggu di sini dulu, oke! Nanti aku ke sini lagi. Gak bakal lama, kok!" Lagi-lagi Alisha hanya mengangguk tanpa suara. Selagi pria itu pergi, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Kamar ini tampak rapi dan bersih. Dengan kasur ukuran single cukup untuk pria itu tidur sendiri, serta terdapat dispenser juga lemari ukuran sedang. Alisha bertanya-tanya dalam benaknya. Siapa pria tadi itu? Padahal dia tampak seperti preman dengan codet di pelipis serta telinga bekas tindik yang Alisha perhatikan selama mengikutinya berjalan ke sini. Tak lama pria itu datang kembali dengan sebungkus nasi goreng serta sebotol air mineral. Ia menyerahkannya pada Alisha. "Nih, makan dulu. Malam ini kamu tinggal di sini aja. Aku akan tidur di masjid. Kamu bisa kunci kamar ini dari dalam." "I-iya, terima kasih banyak!" "Ah, benar. Aku belum tahu namamu. Siapa nama kamu?" "Alisha. Kamu?" "Fajar."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD