Pertemuan

1007 Words
Alisha tidur menunggu dengan selang infus yang masih terpasang. Ia memikirkan cara untuk kembali ke rumah Dita mengambil barang-barang serta pakaiannya. Sekalian pamit juga pada orang-orang yang ada di rumah Dita. Tiba-tiba dokter Dinar masuk kembali. Ia melepaskan infus dari lengan Alisha setelah memeriksa keadaannya. "Kamu sudah cukup membaik. Ayo, segera bersiap! Sebentar lagi teman yang pernah saya ceritakan datang," ujar dokter Dinar. "Ah, sekarang?" tanya Alisha, ia belum siap sama sekali. "Iya, makanya cepet siap-siap!" Alisha menyisir sekujur tubuhnya yang berantakan. Melihat itu, ia bergegas menuju kamar mandi yang tak jauh dari ruangan yang ditempati. Ia kemudian mencuci wajah dan merapikan pakaiannya. Berulang kali ia menyiapkan diri. Mencoba mengatur napas dan menenangkan hati. Hendak bertemu orang baru membuatnya cukup gugup, jantungnya berdebar seperti hendak bertemu pujaan hati. Setelah siap, Alisha pun segera keluar dari kamar mandi. Ia kembali menyiapkan diri sebelum masuk ke ruangan dokter Dinar. Alisha berdiri sejenak di dekat pintunya. Samar terdengar percakapan akrab dari dokter Dinar dengan suara yang cukup familiar didengar. Akan tetapi, yang pasti ia merasa sering mendengar suara itu hingga tahu siapa pemiliknya. Alisha tak tahu pasti, pasien atau bukan. Namun, seingatnya sejak tadi tak ada pasien datang atau mungkin sengaja dokter Dinar menutup klinik miliknya. Perlahan Alisha masuk ke ruangan dokter Dinar. Ia terkejut saat melihat seorang wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang berada di hadapan dokter Dinar ternyata memang orang yang Alisha kenal. Bahkan dia kerap ditemui setiap waktu. Saat Alisha masih menahan diri di ambang pintu, tiba-tiba Dewi menoleh. Keduanya terpaku. Mereka sama-sama terkejut melihat satu sama lainnya. Dokter Dinar yang tak tahu apa-apa heran dibuatnya. "Kenapa diam saja, Ca. Sini duduk!" ajak dokter Dinar yang masih tak tahu jika keduanya saling kenal. "Jadi, Alisha gadis yang kamu ceritakan itu? Beneran dia?" tanya Dewi seraya menunjuk ke arah Alisha. Ia benar-benar tak menyangka dan tak bisa percaya. "Kamu kenal dia, Dew?" Alih-alih menjawab, dokter Dinar juga bertanya. "Tentu saja aku kenal dia, Din. Dia teman putriku yang akhir-akhir ini tinggal di rumahku," jelas Dewi. "Jadi ini alasan sebenarnya kamu tinggal selama ini?" tanyanya kemudian pada Alisha dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tiba-tiba Dewi merasa marah pada gadis itu. Ia merasa dibohongi. Dan bisa-bisanya selama ini Alisha begitu cerdas menyembunyikan dari dirinya. Bahkan Dewi tak pernah tahu jika Alisha sering melakukan konsultasi ke klinik temannya. "I-itu …." Alisha tak bisa menjelaskan. Sorot mata Dewi yang menyiratkan kemarahan membuat Alisha mati kutu. "Dengar, Din. Sepertinya aku batalkan saja perjanjian kita. Selama ini Alisha memang tinggal di rumahku." Masih dengan amarah yang menggebu, Dewi membatalkan bantuan yang akan diberikan. "Sebentar, maksud kamu gimana? Bukankah bagus kalau kalian sudah bersama sebelumnya?" Dokter Dinar mencoba mendamaikan keduanya. "Tidak. Sepertinya, mulai saat ini pun aku akan meminta putriku agar segera mengemasi barang-barang miliknya. Jadi, Din, tolong carikan segera penggantiku agar Alisha memiliki tempat tinggal." Dewi tak bisa menahan amarahnya. Ia paling tak suka dibohongi sehingga itulah penyebab amarah saat ini. "Tapi kenapa, Dew?" Dokter Dinar tak kalah heran. Seharusnya, jika sudah tahu kondisi Alisha yang sebenarnya apalagi dia teman putrinya, Dewi lebih bijak untuk melindunginya. "Kamu tahu kan? Sejak dulu aku tak suka dibohongi." Sorot matanya masih menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Kemudian Dewi segera beranjak dari tempat duduknya lalu pergi keluar tanpa pamit. Alisha semakin merasa hancur, ia tak bisa lagi berbuat apa-apa. Seperti halnya Dita yang tak terima dengan sebuah pengkhianatan, maka Dewi tak terima dengan sebuah kebohongan. Alisha tersungkur untuk kesekian kalinya. Bukan karena jatuh tersandung melainkan karena tubuhnya yang lemas sebab hati yang hancur. Hari ini, ia mengalami kemalangan berulang disebabkan ibu dan anak yang membantunya selama ini. Alih-alih merasa teraniaya, Alisha menyalahkan diri karena sudah berbuat bodoh dan ceroboh. Jika sudah begini, bagaimana ke depannya? Tak ada lagi tempat untuk Alisha pulang. Tak ada lagi sandaran, serta orang yang akan menyemangati hidupnya. Alisha mengutuk dirinya. Ia benar-benar sial hari ini. Dokter Dinar segera mendekat. Saat ini ia yang paling kebingungan. Ya, karena tak ada yang diketahui dan dimengerti olehnya. Bisa-bisanya juga ia merekomendasikan Alisha pada Dewi. Ah, tida semua ini memang kebetulan, tapi sekaligus suratan takdir yang harus terjadi. Dokter cantik itu kemudian mengusap punggung Alisha perlahan. "Coba ceritakan pelan-pelan, ya! Barangkali saya bisa bantu," ucap dokter Dinar kemudian meminta penjelasan. Alisha segera menghapus air matanya, kemudian ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Untuk beberapa saat, gadis itu mencoba menenangkan diri serta hatinya dari rentetan kejadian yang benar-benar memporak-porandakan perasaannya. "Dok, terima kasih udah mau merawat aku selama ini. Sepertinya aku sudah harus hidup mandiri. Aku akan pergi aja." Kata-kata itu justru yang keluar dari mulut Alisha. Gadis itu tidak serta merta menjelaskan yang sebenarnya membuat dokter Dinar kebingungan. "Eh? Ca, nanti dulu!" Dokter Dinar mencoba menahannya. Namun, Alisha menggeleng, ia merasa harus segera pergi dari tempat ini. "Ayo, ceritakan dulu! Percayalah padaku!" bujuk dokter Dinar kembali. "Tidak, Dok. Terima kasih sudah baik selama ini." Kemudian Alisha pergi tanpa mengacuhkan dokter Dinar. Ia pikir sudah tak ada lagi yang bisa ia andalkan juga yang bisa ia percaya. Sudah waktunya bagi Alisha untuk hidup mandiri. Menghadapi semuanya sendiri. Entah bagaimana ke depannya, biar dia pikirkan nanti. Saat ini, Alisha hanya ingin mengambil pakaian dari rumah Dita kemudian pergi sejauh mungkin tanpa ada satu pun orang yang mengetahui. Ia menghentikan mobil angkutan menuju rumah Dita. Bukan untuk mengiba atau semacamnya. Ia hanya berniat membereskan pakaiannya serta pamit pada orang-orang rumah. Selama perjalanan menuju ke rumah Dita Alisha berdoa agar sekiranya Dita masih mau menerimanya sekadar untuk menjelaskan. Setelah itu, ia akan pergi dari rumah. Namun, setibanya di depan gerbang. Tas besar yang dulu ia gunakan untuk membawa pakaian tersimpan di sana dengan pakaian-pakaiannya di dalam. Alisha terpaku beberapa saat. Ini artinya dia sudah diusir dari rumah itu dan tidak diperbolehkan lagi masuk. Entah siapa yang melakukan ini, Alisha memang bermasalah dengan Dita juga mamanya. Akan tetapi, dengan begini Alisha mengerti, ia sudah tak disayang lagi. Sudah tak dibutuhkan lagi. Keberadaannya sudah tak lagi diinginkan, tak lagi bisa diandalkan. Benar-benar tidak berguna sama sekali. Walau matanya mengembun, Alisha berusaha untuk tidak menangisi semua ini. Ia benar-benar sudah muak atas segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD