Tak Pernah Terduga

1178 Words
Pagi ini Alisha terbangun dengan mata yang membengkak. Seharian kemarin sampai terlelap, ia terus menangis karena Dita sulit untuk didekati. Jangankan diajak bicara, baru saja Alisha mendekat Dita menghindari. Bahkan saat gadis itu menampakkan air matanya, Dita sama sekali tak peduli. Alisha putus asa dibuatnya. Ia benar-benar tak menyangka jika marahnya Dita seperti ini. Benar-benar sulit diperbaiki. Ia tak diberi sedikit pun kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun yang pasti, apa pun yang terjadi kemarin, hari ini Alisha harus tetap pergi ke sekolah. Bahkan siang ini merupakan pertemuannya dengan teman dokter Dinar yang akan menjadi walinya sementara. Dita tidak tidur di kamarnya. Sejak saat Alisha masuk kamar ia tak lagi masuk. Entah ia tidur di mana membuat Alisha semakin berdosa. Dan pagi ini, Alisha tak menemuinya. "Bi, liat Dita?" tanya Alisha pada bi Inah - asisten rumah tangga. "Eh, Neng Alisha belum berangkat? Tadi Neng Dita berangkat pagi-pagi. Malah Pak Jon yang nganter udah balik lagi." Alisha heran, ia melirik jam dinding masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Apa segitu inginnya dia menghindari sahabatnya hingga pergi sekolah sepagi itu. "Ah, gitu ya, Bi. Ya sudah, saya pergi dulu, ya!" "Minta anterin pak Jon aja. Dia nganggur kok. Hati-hati di jalan ya, Neng." Alisha hanya menanggapi dengan anggukan. Mana mungkin dia meminta antar supir Dita, sedangkan tuannya itu sedang marah padanya. Alisha merasa sangat tidak tahu malu jika itu dilakukannya. Ia masih punya uang simpanan yang bisa digunakan untuk ongkos pergi ke sekolah. Alisha segera keluar mencari angkutan. Sebelumnya, pak Jon menawarkan diri untuk mengantarnya. Namun, Alisha menolak. Kini ia sedang kesusahan mencari angkutan menuju sekolahnya. Hingga jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit, Alisha baru mendapat angkutan. Perjalanan menuju sekolahnya pun cukup tersendat karena angkutan berhenti beberapa kali. Bahkan sempat ngetem membuat Alisha kesiangan. Ia tiba di sekolah tepat saat satpam hendak menutup gerbang. Wanita itu berlari meminta pak Satpam agar memberinya jalan. Setelah masuk, Alisha bergegas menuju kelas. Namun, sesampainya di kelas ia mendapatkan tatapan tak mengenakan dari seisi kelas. Mereka menatap dengan tatapan jijik, juga merendahkan. Alisha yang tak mengerti keadaan memutuskan segera duduk di kursinya. Semua tatapan itu masih mengarah pada Alisha. Alisha menoleh pada Dita yang justru malah mengambil posisi tidur dengan kepala di atas meja seolah tak peduli dengan keadaan. Kemudian ia menatap satu persatu teman-temannya, hingga bola matanya menangkap tulisan di papan tulis. ALISHA SEDANG HAMIL Dadanya langsung bergemuruh, matanya memanas, butiran air mata jatuh sedetik kemudian. Alisha kembali menoleh ke arah Dita dengan tangisan yang pecah. Dita kenapa kamu jadi jahat? Alisha hanya bisa membatin. "Ah, pantas saja akhir-akhir ini pake sweater. Jadi karena ini toh?" "Wah, aku sih udah curiga dari awal. Sejak Alisha sakit-sakitan dia sering mual." "Iya, bener. Aku pernah liat dia muntah di kamar mandi setelah dari kantin." "Badannya juga gemukan ya. Taunya karena hamil." "Ya ampun, cewek baik, rajin belajar, dan pintar ternyata mau melakukan itu juga." "Kirain dia emang kutu buku yang gak mungkin melakukan kayak gituan. Dia kan sering nolak cowok, sampai kakak kelas anak pejabat aja ditolak. Taunya di belakang jual diri juga?" "Eh, apa karena itu dia mampu bayar sekolah? Gak mungkin banget ya rasanya sekolah gak membebani biaya sama sekali." "Ya ampun, sampai jual diri? Lupa minum pil ya, Neng, sampai kebobolan?" Komentar-komentar itu mulai bermunculan. Kini seisi kelasnya riuh dengan gunjingan orang-orang yang tak tahu apa-apa. Bahkan, sebagian orang mengabadikannya dengan kamera ponsel pintarnya. "DIAAAAAMMMMM!!!" jerit Alisha. Tangisnya semakin pecah. Kini ia menangis meraung-raung. Hancur sudah harapannya. Pupus sudah cita-citanya. Tak ada lagi masa depan yang ia rasakan. Alisha beranjak membawa tasnya yang baru disimpan, kemudian berlari ke luar kelas. Tak ada satu pun orang yang peduli, bahkan Dita sekali pun. Tidak. Memang dia yang menyebarkan berita ini dan tak mungkin ada peduli lagi dalam dirinya. Tak hanya teman sekelasnya, orang-orang di kelas lain yang Alisha lalui pun mendelik dan menggunjingnya. Tak sedikit yang berteriak memanggilnya l*nte. Dan beberapa orang berlari ke ambang pintu hanya untuk mencibir Alisha. Semua tatapan dan ucapan yang diterima Alisha membuat hatinya semakin buruk, semakin remuk dan hancur. Alisha menyusuri koridor dengan berlari dan air mata yang terus berjatuhan. Hingga tiba-tiba di ujung koridor, seseorang keluar dari kelasnya. "Tenanglah. Jangan terlalu panik!" Ia memeluk tanpa peduli orang lain melihatnya. "Lepas, Alvin, lepas! Ini semua gara-gara kamu. Seandainya kamu tidak suka aku, semua gak bakal jadi gini. LEPAASSS!!!!" Alisha terus meraung-raung dan menjerit-jerit. Dengan sekuat tenaga ia melepaskan diri kemudian keluar dari halaman sekolah. Ia berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Alisha tak tahu ke mana dia harus pergi. Seharusnya ia belajar dengan tenang. Namun, jika sudah seperti tadi, ia tak bisa terus berada di kelas. Ia kembali menangis dengan memukul-mukul perutnya yang cukup membesar. "Dasar, b******n! Pengecut! Tak mau tanggung jawab." Ia merutuk diri. "Huhuhuuu. Aku harus bagaimana? Aku harus gimana?" Alisha masih menangis sambil berjalan. Keadaannya sudah sangat kacau. Mata yang bengkak kembali memerah. Rambutnya sudah tak beraturan. Ia tampak terlihat seperti orang yang frustasi. Beberapa saat kemudian tangisnya terhenti. Tak lama dari itu Alisha jatuh pingsan. *** Entah seberapa lama Alisha jatuh pingsan. Ia terbangun di tempat yang tak asing. Selang infus terpasang di tangan kirinya. Ia kini berada di klinik dokter Dinar. Tak lama dokter cantik itu datang menghampiri. Dengan raut wajah penuh khawatir, ia segera mendekat. "Kamu sudah bangun? Apa yang terjadi?" tanya dokter cantik itu. "Dok, siapa yang membawaku ke sini?" "Seorang supir paruh baya. Dia yang sering mengantar kamu ke sini setiap kontrol. Dia bilang kamu tergeletak pingsan di trotoar, kebetulan saat dia lewat. Jadi, bapak tua itu cepat-cepat bawa kamu ke sini karena kamu biasa ke sini." Alisha terdiam dengan mata yang kembali mengembun. 'Ya Allah, kenapa masih ada saja orang yang peduli kepadaku?' batinnya seraya mengucap syukur atas anugerahnya. "Apa yang terjadi, Alisha?" tanya dokter Dinar kembali. Alisha menatap dokter di depannya. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia katakan apa yang terjadi sedangkan yang melakukannya adalah sahabatnya sendiri. "Seisi sekolah tahu aku hamil." "Hah? Bagaimana bisa?" tanya dokter Dinar heran! "A-aku gak tahu, Dok." "Hmmm. Dita mana? Kalian kan biasanya suka bareng dia?" "I-itu …." Alisha semakin bingung untuk menjelaskannya. Jelas, dia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada dokter Dinar. Jika itu dilakukannya, dokter Dinar akan memandang buruk soal Dita. Sebagai sahabat terbaik jal itu harus dirahasiakan. Namun, Alisha tak sempat menjelaskan, dokter Dinar sendiri bisa menebak keadaan. "Ah, masa Dita?" tukas dokter cantik itu dengan ragu. "Ini karena kesalahpahaman, Dok." "Kamu baik-baik saja kan?" Alisha mengangguk tapi dengan air mata berlinang. Sepertinya dia sudah kehilangan Dita sebagai sosok sahabat terbaiknya. Dita sampai tega melakukan hal itu, yang artinya ia benar-benar sudah tak peduli Alisha. "Sudah, sudah. Hari ini pertemuan kamu sama temenku itu. Setidaknya kamu punya tempat pulang baru," ujar dokter Dinar. "Ah, benar, Dok. Terima kasih sudah mau merawatku." "Kamu yang kuat ya, Ca. Yang sabar juga. Semua akan segera berlalu." "Iya, Dok. Tapi sepertinya aku takan pernah diterima sekolah lagi." "Kamu yang tenang, ya. Ini nanti mungkin bisa kita bicarakan lagi setelah kamu bertemu temanku. Mungkin dia bisa bantu meluruskan pada pihak sekolah." "Baik, Dok. Sekali lagi terima kasih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD