Salah Paham

1092 Words
"Jadi, kamu yang selama ini kirim makanan?" ucap Alisha akhirnya. Ia tak bisa berlama-lama saling terdiam padahal segera ingin mengakhiri sesegera mungkin. "I-iya," jawab Alvin terbata. "K-kamu suka?" tanyanya kemudian yang sama sekali tak ingin Alisha dengar. "Terima kasih sudah repot-repot. Aku rasa mungkin saat ini kamu akan menjelaskan alasan di balik semua itu," ucap Alisha kembali. "Aku suka kamu, Ca. Cukup lama aku memendam dan membiarkan perasaan ini tumbuh dalam hati tanpa mengungkapnya. Tapi sepertinya saat ini aku sudah tak bisa lagi menahan perasaan itu. Aku ingin kamu tahu," ungkap Alvin. Ia tertunduk tak berani menatap Alisha. Seperti yang Dita bilang dia cukup pemalu. Dan saat ini dia mengungkapkan perasaannya tanpa menatap wanita di depannya. "Maaf aku gak bisa," jawab Alisha cepat. "Eh?" Alvin mengangkat kepalanya. "Aku gak bakal nerima cinta kamu sampai kapan pun, Alvin!" lanjut Alisha tegas. "Kenapa? Apa karena kamu ingin fokus belajar? Aku tidak mengajak kamu pacaran sekarang, kok! Tapi aku bisa menunggu sampai kamu siap menjalani hubungan denganku." "Tidak, Alvin. Aku gak bisa terima kamu." "Apa karena kamu hamil?" Refleks Alisha menatap tajam ke arah Alvin. Ia terkejut luar biasa karena ada orang mengetahui hal itu. Alisha mendekatkan tubuhnya hingga nyaris tak ada jarak di antara keduanya. "K-kamu tahu apa?" ucap Alisha dengan suara pelan namun penuh penekanan. "Aku tahu karena aku menyukai kamu!" "Jadi kamu menguntitku selama ini? Katakan! Apa saja yang kamu tahu?" tanya Alisha kembali. Kini suaranya bergetar karena menahan amarah dan tangis yang bisa meledak kapan saja. "T-tidak, Ca. Bukan begitu. Aku kebetulan tahu, dan itu ceritanya panjang. Tapi yang pasti, aku tidak keberatan dengan apa yang terjadi sama kamu. Aku akan tetap mencintaimu. Justru aku ingin melindungi kamu!" "Omong kosong!" decih Alisha. Ia menjauhkan diri dari Alvin. "Aku sungguh-sungguh mengatakannya!" tegas Alvin mencoba meyakinkan. "Tidak, Alvin. Aku tidak akan pernah bisa menerima kamu sampai kapan pun. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah menyukaimu. Terlebih, kamu sudah menguntitku hingga tahu rahasia besarku. Benar-benar tidak sopan!" ucap Alisha seraya membelakangi Alvin. Ia beranjak pergi. Alvin segera menyusul. Ia menahan langkah Alisha dengan berdiri di depannya. Kedua tangannya memegang pundak Alisha. "Ca, dengar. Aku berjanji akan melindungi kamu dan akan turut mengurus bayi kamu. Aku rasa kamu tidak akan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadi aku ingin mengajak kamu menikah denganku setelah lulus nanti." "Hah? Kamu gila, Alvin!" "Aku sungguh-sungguh mengucapkannya." "Tidak. Aku tidak mau!" "Aku mohon, Ca." Alvin menjatuhkan dirinya hingga berlutut di depan Alisha. Tiba-tiba seseorang datang tepat di depan mereka. "Alisha? Jadi kamu …." Tak sempat ucapannya tersampaikan. Wanita itu menampakkan amarah pada wajahnya kemudian pergi kembali. Alisha terkejut dibuatnya. Ia segera mengejar wanita yang ternyata sahabatnya. "Dit, tunggu! Kamu salah paham!" Alisha susah payah membawa diri untuk berlari. Perutnya yang berisi membuat ia kesusahan. Hingga cepatnya langkah Dita tak tersusul oleh Alisha. Dengan nafas yang tersengal-sengal Alisha keluar dari gerbang. Namun, terlambat. Sahabat yang dia kejar sudah menaiki mobil, dan mobil melaju meninggalkannya. 'Bagaimana ini? Rasanya Dita takan mau mendengarkan. Apa yang harus aku lakukan?' batin Alisha penuh bimbang. "Kenapa? Kenapa Dita marah sama kamu?" ucap Alvin mengejutkan. Tiba-tiba dia berdiri di belakang Alisha. Alisha hanya menoleh dengan wajah penuh amarah. Kemudian ia segera berjalan cepat mencari angkutan. "Alisha tunggu! Biar aku antar." Alvin kembali mengejar Alisha. Akan tetapi, Alisha segera berhenti lalu ia berbalik. "Ini semua gara-gara kamu, Alvin!" ucapnya penuh penekanan dengan jari telunjuk mengarah tepat pada wajah pria itu. Tanpa memperdulikan keberadaan Alvin, Alisha terus berjalan hingga akhirnya ia mendapatkan angkutan. Sepanjang jalan Alisha berdoa dalam cemasnya. Harap harap sahabatnya itu mau mendengarkan dan menerima semua penjelasannya. Kesalahpahaman ini memang sangat fatal, karena yang Dita lihat Alisha sedang berduaan dengan Alvin - orang yang sangat disukainya. Tanpa terasa, angkutan itu berhenti di tempat tujuannya. Dengan berat hati Alisha turun. Sebetulnya ia sangat malu untuk menginjakkan kaki ke rumah sahabatnya itu. Amat sangat malu karena dia sudah terlalu baik padanya. Namun, apa boleh buat masalah ini harus diselesaikan. Dengan ragu, Alisha membuka gerbang masuk ke rumah besar yang sudah seperti rumah sendiri selama empat bulan terakhir. Mobil yang biasa ia tumpangi terparkir di depannya. Itu artinya, Dita sudah sampai rumah. Alisha masuk ke dalam rumah perlahan. Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan Dita dengan langkah kaki yang menuju kamar sahabatnya. Namun, baru setengah jalan langkah kakinya terhenti oleh sebuah panggilan. "Alisha, baru pulang? Sini makan, temenin tante!" panggil mama Dita seperti biasanya. Mau tak mau, Alisha menghampiri wanita itu. Ia mencium punggung tangannya sebagai rasa hormat. "Ayo, makan dulu. Dita tadi diajak malah diem terus dan langsung ke kamar. Kenapa dia?" "Emmmm … kayaknya ada sedikit masalah, Tan." "Sama kamu? Tante lihat, kalian pulang pun terpisah?" "I-iya. Sepertinya begitu." "Ya udah, gak apa-apa. Ayo, makan dulu." Mama Dita menyiapkan piring serta mengisinya dengan nasi serta lauk untuk Alisha. Tak enak karena disediakan Alisha pun menuruti untuk makan terlebih dahulu sebelum menghampiri Dita. "Tante gak tahu masalah apa yang terjadi antara kalian. Tapi yang pasti Dita itu kalau udah kecewa susah banget dibaikin. Semoga masalahnya segera selesai, ya." Alisha bergeming. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana karena sebelumnya tak pernah ada masalah dengan sahabatnya itu. Ia tak bisa menjamin jika Dita mau mempercayainya begitu saja. "Ayo, makan dulu aja. Gak perlu terlalu dipikirkan. Kamu harus sabar aja. Nanti Dita bakal bersikap biasa lagi." "Tapi, Tan …." Alisha tak bisa lagi berbicara. Suaranya terhenti di tenggorokan karena tangisnya yang pecah. "A-aku minta maaf kalau nyakitin hati Dita, Tan," ucap Alisha. Ia kini menangis sesenggukan. Makanan di depannya dibiarkan. "Eh, kok nangis? Kamu segera luruskan masalahnya biar enak. Udah jangan nangis. Nanti tante bantu bujuk dia." "Huhuhuuu." Alisha terus menangis karena ini kali pertamanya terjadi. Ia menangis karena merasa dirinya sangat buruk, padahal Dita begitu baik padanya. Wajar saja jika Dita marah hingga membencinya. Walau begitu, Alisha tetap ingin menjelaskan semuanya. "Sudah, jangan nangis. Biar tenang, sekarang temui Ditanya!" "B-baik, Tan." Alisha segera menghapus air matanya. Kemudian ia menuju kamar Dita. Ia terhenti tepat di depan pintu kamar. Alisha butuh asupan oksigen untuk memenangkan hatinya. Beberapa kali gadis itu menarik nafas panjang kemudian menghembuskan perlahan. Hingga saat hendak membuka pintu, pintu itu terbuka. Untuk beberapa saat Alisha terpaku, karena Dita berdiri di depannya. Ia tiba-tiba tak bisa bergerak juga berucap, hanya air mata yang berjatuhan. "D-dit, a … aku minta maaf," ucap Alisha akhirnya dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Namun, Dita sendiri hanya mendelik kemudian pergi meninggalkan Alisha yang masih berdiri mematung. Saat itu juga, Alisha ambruk. Ia terduduk lemas, seolah kakinya sudah tak bisa menahan beban tubuhnya. Alisha kembali menangis sesenggukan di depan kamar Dita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD