Layar gawai yang terang perlahan bergulir ke bawah seiring mengikuti gerakan jemariku yang menyentuhnya. Sudah beberapa laman website dan media sosial yang kubuka, mencari informasi sewa rumah atau kontrakan dekat rumah namun tidak ada satu pun ada. Kebanyakan informasi sewa kontrakan tersebut jaraknya jauh.
Setelah menikah, aku berencana ingin tinggal berdua dengan Erwin meski pun hanya mengontrak. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan suamiku itu tanpa ada gangguan dari orang lain. Namun sejak tadi, aku tak kunjung mendapatkan sebuah persewaan rumah yang kuinginkan.
Banyak dari informasi sewa terlalu jauh dari kantorku dan Erwin. Aku tidak bisa mengambil salah satu demi memperhitungkan waktu dan transportasi setiap harinya. Jika jarak tempuh kontrakan dan kantor hampir dua jam lamanya, itu akan membutuhkan banyak waktu dengan harus berangkat sangat awal.
Aku menghempaskan gawaiku ke ranjang. Kepalaku sedikit berdenyut memikirkan tidak tersedianya kontrakan yang disewa dekat rumah dan kantor. Padahal aku sudah menyusun kehidupan rumah tanggaku sejak sebelum kami menikah agar bisa berjalan dengan baik.
"Kenapa Sayang?"
Erwin yang sehabis mengobrol dengan Ayah di ruang tamu, masuk ke kamar kami dan melihatku duduk di lantai bersandar ranjang. Lelaki itu lantas menuntunku agar bangun dan duduk di sebelahnya, di tepi ranjang.
"Kok wajahmu kusut begitu?" tanyanya lagi.
Aku mengembuskan napas perlahan. "Begini, Mas. Sejak tadi aku cari sewa kontrakan tidak ada yang jaraknya dekat dari sini dan kantor," ucapku memberitahu sedikit frustasi.
Erwin tersenyum tipis. Dia membelai kepalaku lembut.
"Jadi itu yang membuat istriku yang cantik ini jadi murung?" tanyanya menjawil puncak hidungku yang minimalis. "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Kalau tidak ada, kita bisa tinggal di rumah ini, kan?"
Aku menatap Erwin dengan sedih.
"Tapi aku sudah menyusun banyak rencana yang akan kita lakukan saat tinggal berdua, Mas," ucapku.
"Kamu bisa melakukannya di sini, Sayang. Tidak ada bedanya bukan?"
Usapan Erwin beralih pada punggungku. Terasa sangat lembut dan nyaman membuatku merapatkan diri dalam pelukan lelaki itu.
"Kalau kita ngontrak, apa kamu yakin akan diperbolehkan oleh Ayah dan Ibu?" tanyanya kemudian.
Aku terdiam mencoba meresapi ucapan suamiku itu yang ada benarnya. Tetapi sisi diriku masih belum bisa menerima hal ini dengan mudah. Semua yang sudah kurencanakan pada akhirnya berubah hanya karena tidak bisa mendapatkan sewa kontrakan.
"Aku yakin pasti kamu tahu sendiri jawabannya," ucapnya lagi.
"Tapi jika seandainya Ayah dan Ibu mengusir kita dari sini, apakah Mas mau mengambil salah satu kontrakan yang jauh dari kantor?" tanyaku berandai.
Erwin mengangguk.
"Tentu, Sayang. Asalkan itu bersamamu, tidak masalah bagiku jika jarak kantor kita jauh dari kontrakan."
"Lalu bagaimana dengan keuangan kita nanti?" tanyaku khawatir.
"Jangan khawatirkan itu, Sayang. Aku akan bekerja lebih kerasa lagi agar mendapatkan banyak uang dan kita bisa mempunyai rumah sendiri," jawabnya tegas.
Ucapan Erwin pun memenuhi pendengaranku dengan menenangkan. Aku percaya pada suamiku ini, jika hidupku tidak akan kesusahan apabila bersamanya. Lagi pula, selama aku juga ikut bekerja, bisa dipastikan keuangan kami akan baik-baik saja.
"Sudah ya, jangan dipikirkan lagi," ujarnya. Aku pun mengangguk dalam dekapannya. "Aku rindu kamu," kata Erwin sambil mengecupi puncak kepalaku. Dekapannya pun semakin erat pada tubuhku. Aku membalas pelukannya dengan sama eratnya. Kami saling merasakan kehangatan tubuh saat bersentuhan.
"Mbak, Mas, dipanggil Ibu makan siang bersama."
Setelah bunyi ketukan pintu kamarku, suara yang kami kenali terdengar dari balik pintu. Kami pun melepaskan pelukan masing-masing sambil menatap satu sama lain lantas keluar kamar beriringan. Tidak terasa jam makan siang tiba. Saking fokusnya pada aktivitasku sendiri, aku jadi lupa tidak membantu Ibu menyiapkan makan siang untuk kami semua.
Di meja makan yang lumayan besar, semua orang sudah duduk dan bersiap menyantap makanan. Mereka sedang menunggu kedatanganku dan Erwin.
"Pengantin baru asyik bener di kamar terus," celetuk Mbak Hani menggoda kami ketika aku dan Erwin duduk berdampingan.
"Kamu ini, suka banget godain Erina," sahut Ibu.
Mbak Hani tersenyum jahil, "Habisnya seru saja, Bu, menggoda mereka. Pengantin baru sedang panas-panasnya, dunia serasa milik berdua," ucapnya.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya sudah biasa melihat kelakuan putri sulungnya. "Kamu juga begitu waktu jadi pengantin baru. Bangun kesiangan, sering keramas dan bolak-balik kamar mandi. Siang-siang berteriak keenakan sama suamimu—Ardi," cibir Ibu dengan raut kesalnya.
Mbak Hani bukannya malu malah nyengir kuda dan terkekeh kecil.
"Soalnya enak, Bu. Kalau tahu begitu kan, Hani nikah muda dari dulu saja," celetuknya.
"Memangnya Ardi sudah punya uang untuk menikahimu? Kamu saja tidak bekerja dan hanya mengandalkan suamimu dan Ayah," cibir Ibu lagi.
"Ah, Ibu ini sukanya begitu," sahut Mbak Hani tak suka. "Selama Ayah tidak pelit padaku, tidak masalah bukan? Benar begitu, Yah?" tanyanya lagi pada Ayah yang sejak tadi diam menyimak obrolan istri dan anaknya.
Ayah mengangguk. Pria paruh baya yang usianya lebih muda tiga tahun dari Ibu itu tersenyum simpul.
"Kamu ini, Mas, suka sekali memanjakan anak-anakmu," gerutu Ibu mencubit lengan Ayah.
"Aw, sakit, Sayang!" pekik Ayah mengelus lengan bekas cubitan Ibu.
Kami semua dibuat tertawa dengan pertengkaran kecil antara Ayah dan Ibu yang masih terlihat romantis di usianya yang tidak lagi muda. Bahkan dulu sebelum aku menikah, sering kali mendengar permainan malam keduanya yang terdengar sampai luar kamar.
"Setelah ini kalian akan tinggal di sini kan?" tanya Ayah tiba-tiba.
Aku dan Erwin saling tatap beberapa saat sebelum kemudian lelaki itu menganggukkan kepala.
"Baguslah. Jadi rumah ini tidak akan sepi karena kalian berdua tidak di sini," jawab Ayah yang nampak tidak keberatan dengan menampung kami berdua.
"Benar kata Ayahmu, lebih baik kalian tinggal di sini. Rumah ini terlalu besar setelah direnovasi oleh Ayah," timpal Ibu setuju.
"Baiklah, Bu. Erina dan Erwin akan tinggal di sini," jawabku.
Mbak Hani menyahuti. "Bagus itu, Rin. Tapi ingat, kalau kalian sedang berduaan di dalam kamar, suaranya jangan keras-keras. Jangan buat aku ingin itu juga ya, aku di sini jauh dari suamiku."
Mendengar ucapan kakak perempuanku itu, sontak Ibu memukul lengan Mbak Hani cukup keras hingga wanita tiga tahun lebih tua dariku itu mengadu kesakitan.
"Kamu kebiasaan banget, Han! Bisa tidak dikontrol sedikit saja ucapanmu yang terlalu vulgar itu?"
"Apa salahnya, Bu? Erina juga sudah menikah, pastinya dia paham dong," gerutu Mbak Hani tidak terima.
"Sudah-sudah jangan bertengkar." Ayah melerai.
Aku hanya merespon dengan senyuman tipis dan melanjutkan makan siang. Tanganku terasa hangat dan kulihat bahwa suamiku tengah menggenggamnya di atas pangkuanku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang menatapku dengan senyuman. Senyuman itu seolah-olah keputusanku setuju tinggal di rumah ibu adalah hal yang tepat.