Aku tidak tahu ke mana perginya Erwin setelah mendapatkan penolakan dariku. Aku tidak peduli jika lelaki itu kecewa atas perilakuku, namun aku hanya tidak mau dia pergi dariku setelah mengetahui kebenaran yang kusimpan seorang diri.
Setelah keluar kamar, aku hanya bisa mendengarkan sayup suara seseorang yang bertanya kepada Erwin. Aku tidak ingat suara siapakah itu karena aku langsung terjatuh tidur setelah seharian kelelahan dan paginya aku melihat Erwin tertidur pulas di sebelahku sambil memeluk tubuhku erat.
Aku tersenyum simpul mendapat perlakuan manis seperti ini. Kali pertama membuka mata di pagi hari, pemandangan yang kulihat adalah wajah suamiku yang tenteram dalam tidurnya. Pemandangan yang telah lama aku bayangkan sebelum benar-benar menikah dengan Erwin.
Aku segera beranjak bangun mengingat malam sudah beralih waktu dan matahari telah menampakkan diri. Kugeser tangan kekar yang melingkari pinggangku itu dengan perlahan agar Erwin tidak terbangun. Setelahnya aku bergegas mencuci muka dan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Seperti dugaanku, ibu telah bangun lebih awal dan tengah menyiapkan makanan untuk makan bersama dibantu oleh kakak perempuanku. Aku menyapa mereka dan ikut membantu dengan menyiapkan alat makan di meja makan.
"Kamu sudah bangun, Rin?" tanya Ibu ketika melihatku menghampiri mereka.
"Sudah, Bu," jawabku singkat.
"Tadi malam bagaimana?" Mbak Hani—kakak perempuanku—tiba-tiba berdiri di sebelahku. Dia penasaran dengan apa yang terjadi kemarin malam.
"Melelahkan, Mbak," jawabku. Memang benar, semalam aku tidur kelelahan setelah melewati sederet acara pernikahan yang padat.
"Berapa kali? Pasti enak kan?" Mbak Hani bertanya lagi.
"Sudahlah, Han, jangan kamu tanyakan perihal itu sama adikmu, toh kamu dulu pernah merasakannya." Ibu menimpali pertanyaan Mbak Hani sambil menepuk bokongnya pelan. "Mau berapa kali itu kan terserah sama Erina dan Erwin, kamu nggak perlu tahu yang penting mereka cepat dapat momongan."
Ibu dan Mbak Hani terkekeh, sedangkan aku terbengong mendengar obrolan mereka yang ternyata merujuk pada malam pertamaku dengan Erwin. Malam pertama yang sesungguhnya, yakni hubungan antara suami istri. Aku ikut tersenyum canggung memberikan respon kepada mereka karena apa yang mereka pikirkan tidak terjadi antara kami kecuali ciuman panas itu.
Obrolan seputar hubungan suami istri memang sudah tidak asing lagi di rumahku. Itu terjadi setelah Mbak Hani menikah. Usai malam pertamanya, Ibu dengan santai menanyakan perihal tersebut kepada Mbak Hani, sedangkan kakak perempuanku itu menjawabnya dengan semangat dan malu-malu.
Aku masih belum terbiasa mendengarkan obrolan vulgar tersebut dan memilih menghindar. Sementara adikku—Icha, dia hanya duduk diam entah ikut mendengarkan obrolan Ibu dan Mbak Hani atau sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu lebih banyak menyimpan pikirannya dibandingkan bercerita dengan keluarganya sendiri.
Aku menganggukkan kepala ketika Ibu menyuruhku untuk membangunkan Erwin agar sarapan bersama. Pagi ini Ibu memasak beberapa menu sederhana untuk makan pagi; nasi goreng, nasi putih, telur mata sapi, dan ayam goreng adalah menu istimewa sebagai penyambutan hari pertama menantu mereka di rumah. Sedikit berlebihan bagiku tetapi karena Ibu memang belum mengenal Erwin dengan baik karenanya beliau memasak beberapa menu makanan agar lelaki itu bisa memilih sesuai keinginannya. Biasanya, Ibu akan bertanya kepadaku terlebih dulu mengenai makanan kesukaan Erwin sebelum pergi memasak, namun pagi ini aku bangun kesiangan alhasil Ibu memasak seadanya.
Aku membangunkan Erwin yang masih tertidur pulas di kamar. Lelaki itu tampak kelelahan sekali.
"Mas, bangun yuk, sudah siang," ucapku sembari menarik selimut yang melilit tubuhnya lantas menepuk sebelah pipi lelaki itu pelan.
Untunglah, Erwin bukan lelaki yang sulit dibangunkan dan sekali tepuk, lelaki itu sigap membuka matanya. Erwin menguap dan meregangkan tubuhnya di atas ranjang. Dia menatapku dan berkata, "Jam berapa sekarang?" tanyanya.
"Hampir jam tujuh. Ayo, bangun, Ayah sudah menunggu di meja makan," jawabku cepat.
Aku memang sengaja membiarkan Erwin bangun siang mengingat masih mengambil cuti dan memberikan waktu tidur lebih banyak untuknya. Kuulurkan tanganku padanya agar lelaki itu segera bangun dari atas ranjang.
Erwin lantas meraih uluran tanganku, namun dia justru menarikku dan jatuh kepelukannya.
"Peluk dulu dong," katanya manja.
Aku membalas pelukan Erwin dan memeluknya erat. Lelaki itu juga tidak lupa mengecup puncak kepalaku penuh sayang.
"Ibu masak apa pagi ini?" tanyanya begitu kami hendak keluar kamar sambil bergandengan tangan.
"Lihat saja sendiri, Ibu memasak makanan istimewa buat kamu," jawabku tersenyum.
Sebelum duduk di meja makan, aku menyuruh Erwin untuk mencuci muka lebih dulu sebelum sarapan. Keluargaku sudah menunggu kehadiran Erwin dengan mengobrol kecil sambil menikmati teh hangat. Begitu Erwin tiba di meja makan, kami pun segera sarapan bersama dengan diiringi obrolan. Ayah tiriku lebih banyak mengobrol dengan Erwin. Beliau sangat senang karena kini sudah ada keluarga lelaki yang bisa diajaknya mengobrol dengan topik yang menyambung.
"Bagaimana, Nak Erwin, semalam luar biasa kan?" tanya Ayah tiriku dengan semangat.
Aku sudah paham obrolan mereka mengarah ke mana. Aku gugup menunggu jawaban Erwin perihal malam pertama kali yang mengecewakan.
"Luar biasa sekali, Yah," jawab Erwin singkat. Senyumnya lebar menghiasi wajahnya yang rupawan.
"Sudah Ayah duga, Nak." Ayah tertawa diikuti oleh Ibu dan Mbak Hani. "Kalian ada rencana bulan madu tidak?" tanya Ayah lagi.
"Kami belum merencanakannya, Yah. Aku dan Erina sama-sama sibuk bekerja, mungkin lain kali kami akan memikirkannya. Sekarang, kami hanya ingin menikmati masa pengantin baru saja." Erwin tersenyum lebar dan terlihat santai mengatakannya.
Aku jadi merasa bersalah kepada lelaki itu.
"Benar. Kalau sudah ada rencana, segeralah berbulan madu ya. Ayah dan Ibu sudah tidak sabar ingin seorang cucu."
"Siap, Ayah!"
Aku hanya tersenyum simpul mendengar pembicaraan mereka.
***
"Apa kamu masih belum siap, Sayang?" tanya Erwin yang sedang duduk di ranjang menghadap ke arahku yang sedang menyisir rambut di meja rias.
Aku menolehkan kepala, menatapnya sekilas. Wajah lelaki itu tampak sedih. Setelah sarapan selesai, aku memutuskan untuk mandi sedangkan Erwin kembali ke kamar bermain ponselnya. Sekarang, lelaki itu tengah menatapku penuh arti.
"Kamu sangat ingin melakukannya?" tanyaku lirih dan secepat kilat Erwin menganggukkan kepalanya.
"Kita sudah resmi menjadi suami istri. Apa salahnya jika melakukan itu? Bukankah sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya?"
Aku terdiam. Kuletakkan sisir yang sedari tadi kupegang di atas meja rias. Kedua mataku memejam singkat mengingat ucapan Erwin yang memang benar.
Seketika, aku merasa menjadi istri yang durhaka karena tidak bisa melayani suamiku dengan baik. Tidak terasa air mataku luruh begitu saja membuat Erwin segera memelukku.
"Tidak apa-apa kalau kamu memang belum siap. Aku akan menunggunya."
Ucapan Erwin justru membuatku semakin terisak. Kalimat itu terdengar menyayat hatiku dan membuatku kesulitan bernapas hingga air mata yang bisa kukeluarkan.
"Maafkan aku, Mas. Aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu."
"Ssstt, jangan berkata begitu. Bagaimana pun kamu adalah istriku tercinta. Aku akan dengan sabar menunggumu," ujarnya lantas mengecup keningku penuh sayang.
.
.
.
.
.
To be continued