FOTO LAWAS

1155 Words
Tahun lalu, aku pernah mengikuti study tour bersama teman-temanku. Sekolahku sedikit berbeda dengan sekolah lainnya. Jika sekolah lain hanya mengadakan study tour untuk kelas 5 dan 6 saja, study tour di sekolahku bisa untuk semua kelas. Dan lagi, pengadaannya bukan satu tahun sekali, tapi 3 bulan sekali secara bergiliran. Biasanya, kelas 1 dan 2 berangkat bersamaan. Bulan depan kelas 3 dan 4, dan terakhir kelas 5 dan 6. Begitulah study tour di sekolahku. Oh, ya. Study tour pertamaku adalah mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebuah kota yang memiliki makanan khas gudeg ini memiliki banyak tempat-tempat yang luar biasa. Tempat-tempat itu menyimpan benda-benda unik, antik dan berharga. Ya, itulah museum. Kala itu, yang aku kunjungi adalah Museum Dirgantara. Di sana aku melihat banyak jenis pesawat terbang, meski pun sudah tak bisa beroperasi. Dari mulai pesawat yang berukuran kecil hingga besar. Sangat besar, melebihi ukuran rumahku. Sayapnya terbentang panjang, tubuhnya yang begitu besar dan panjang membentuk lorong, seperti sebuah gua. Baling-baling di moncongnya terbuat dari besi, yang sekarang sudah macet, tak bisa berputar. Tapi baling-baling itu tetap keren. Rasanya, aku ingin mengambilnya. Selain bangkai-bangkai pesawat yang terhampar, di sana juga banyak miniatur-miniatur yang tak kalah keren. Miniatur Indonesia saat melawan Jepang. Ya, saat itu tentara Indonesia yang hanya menggunakan bambu runcing melawan tentara Jepang dengan senjata apinya. Selain itu, juga ada sebuah miniatur seorang tentara ketika turun dari pesawat menggunakan parasut, mobil perang, mobil tank dan lainnya yang tak bisa kusebutkan. Dan lagi, di setiap benda yang ada di dalam museum tersebut memiliki keterangan tertulis yang tertera di samping benda tersebut. Tulisannya panjang-panjang, aku malas membacanya. Alhasil, aku tak tahu sedikit pun pengetahuan tentang benda-benda tersebut. Tapi aku tak peduli, yang penting aku bisa menemukan barang-barang yang luar biasa di museum ini. Museum Dirgantara. Itu adalah pengalamanku tahun lalu, dan sekaranng sepertinya aku juga sedang berada di sebuah museum. Ya, museum itu adalah Museum Greg. Siapa sangka? Sebuah rumah dengan kamar kumuh tersebut memiliki sebuah ruangan yang berisi banyak peralatan antik. Peralatan-peralatan itu dipajangnya di dinding. Sungguh, aku terkejut mengetahuinya hal tersebut. Dan setelah aku mengetahuinya, aku semakin penasaran dengan siapa itu paman Greg, siapa itu ayah, dan apa hubungan di antara mereka berdua? Paman Greg memamerkan beberapa benda tersebut. Salah satunya adalah sebuah tongkat kayu sepanjang satu meter dengan diameter kurang lebih 5 cm, semakin ujung, diameternya semakin mengecil. Di ujung lainnya, terdapat sebuah pemegang yang disambungkan melalui sudut siku-siku. Sekilas, tongkat tersebut terlihat seperti tongkat kakek-kakek biasa. Tapi ternyata, tongkat tersebut adalah sebuah senjata tajam. Tongkat sepanjang satu meter itu adalah serangkanya. Dan ketika pemegang tongkat itu ditarik, dipisahkan dengan serangkanya, sebuah besi panjang runcing, mengkilap keluar dari dalamnya. Luar biasa, aku yakin, itu adalah sejenis senjata rahasia. Setelah itu, paman Greg memamerkan benda lainnya. Ia membawa sebuah sabuk yang terbuat dari kulit. Sedangkan kepalanya berbentuk persegi biasa, seperti sabuk-sabuk pada umumnya. Aku mencari-cari di mana senjata tajam disembunyikan di baliknya. Apakah dari kulit itu? Atau… kulit itulah senjatanya. Kulit itu jika dicambukkan kepada seseorang maka akan menularkan racun, seperti yang dilakukan kala jengking dengan sengatnya. Ya, pasti itulah bahayanya. Paman Greg pun akhirnya menunjukkan benda apa itu sebenarnya. Ia membuka kepala sabuk itu, dan ternyata di dalamnya terdapat sebuah belati kecil yang sangat tajam. Aku mengambilnya, dan memegang ujung dari belati tersebut dengan tanganku. “Pelan-pelan!” kata Paman Greg. Hampir, kalau saja aku tak hati-hati. Jemariku bisa berdarah dibuatnya. “Apa lagi paman? Tunjukkan padaku benda-benda lainnya!” “Sudahlah, ini dilarang. Jika ayahmu tahu, paman bisa kena marah.” “Ayah lagi tidur.” “Kalau dia tiba-tiba bangun?!” Aku pun terdiam, tak bisa menjawab. “Nanti, kapan-kapan kita main lagi,” sambung paman Greg sambil menuntunku keluar. Sekarang aku tahu kalau aku berada di mana. Tempat ini adalah rumah Paman Greg. Ia tinggal sendirian. Rumahnya ngaak terlalu besar. Hanya terdapat 2 kamar. Pertama kamar pribadinya dan kedua adalah kamar yang beberapa jam lalu aku tinggali. Sisanya, ruangan tengah dan ruangan yang seperti museum. Oh, ya. Satu lagi adalah kamar mandi. Semua ruangan-ruangan itu sama saja. Kumuh, dan kotor. Terkecuali di ruangan museum. Kata Paman Greg, ia lebih suka membersihkan benda-benda antik itu dari pada membersihkan ruangan lainnya. Termasuk kamar pribadinya. Di kamar tengah, ada beberapa foto terpajang di dindingnya. Foto-foto itu di simpan di bingkai sesuai ukurannya. Sayangnya, bingkai tersebut tidak tertata dengan rapi. Semuanya tertempel miring, seperti tanjakan atau pudunan. Hanya satu foto yang masih lurus. Foto itu adalah yang paling besar di antara yang lainnya. Belum lagi, bingkainya juga paling bagus. Foto itu berisi sekumpulan pria. Mereka memakai pakaian serba hitam. Masing-masing memegang benda yang berbeda. “Paman, itu foto apa?” tanyaku sambil menunjuk foto tersebut. Paman Greg menoleh, ia menatap foto yang kutanyakan. “Oh, itu…” Air muka Paman Greg sedikit berubah. Wajahnya menggambarkan sesuatu, bahwa foto tersebut sangat menyimpan banyak kenangan yang berat untuk diceritakan. “Ayolah, ceritakan padaku. Aku janji, tidak akan menceritakannya kepada siapa-siapa.” “Tidak kali ini. Kau akan mengetahuinya nanti.” Menyebalkan. Memang apa susahnya menjelaskan foto? Akhirnya aku pun hendak mencari tahunya sendiri. kupandangi foto tersebut lebih dekat. Ku tatap wajah pria-pria asing itu dengan teliti. Bahkan seluruh sudut fotonya. Ku tatapnya bolak-balik. Dan akhirnya, aku menemukan sesuatu. Benda-benda yang dipegang oleh pria dalam foto itu adalah benda yang tadi kulihat di museum. Dari mulai sabuk berisi belati, tongkat berisi pedang, bumerang dan lainnya. Mengapa mereka menggunakan senjata tajam? Pikirku. “Paman, bukankah itu peralatan yang tadi kita lihat?” tanyaku penuh keheranan. Paman Greg terkejut. Mungkin pikirnya; bagamina bisa aku mengetahuinya. “Ehh, ya. Memang benar,” sahutnya gelagapan. “Memangnya itu siapa?” “Itu foto teman lama.” “Kenapa mereka memakai senjata tajam?!” “Oh, itu. Itu kan cuma buat ambil foto,” jawaban terakhirnya. Setelah itu, ia tak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang lainnya. Aku pun kembali memandang foto tersebut. Di sana terdapat sebuah gambar yang sama persis seperti tato Paman Greg di pelipisnya. Bahkan, semua orang di foto itu memiliki tato yang sama seperti Paman Greg. Bukan hanya bentuk tatonya, tapi peletakannya pun juga sama-sama di pelipis. Siapa mereka ini? Apa jangan-jangan mereka adalah sebuah tim? Tapi tim apa? Oh, ya. Aku baru sadar, ternyata di sana ada Paman Greg. Ia berdiri di tempat paling ujung. Mungkin karena badannya yang menjulang tinggi. Ia mengenakan sabuk berisi belati. Kemudian, di bawahnya ada seorang pria berambut panjang. Ia memegang tongkat berisi pedang. Dilihat dari wajahnya, ia mirip seperti ayah. Lalu kupandangi lagi pria itu dengan teliti. Dan ternyata benar, dilihat dari mana saja pria itu benar-benar seperti ayah. Apa benar itu adalah ayah? Tadi ayah bilang, kalau Paman Greg adalah rekan kerjanya yang lama. Apa pria-pria adalah rekan kerja ayah? Tapi pekerjaan apa yang harus menggunakan senjata tajam? “Paman! Apa benar ini a…?! Belum selesai aku bertanya. Paman Greg merebut foto tersebut. Ia mengambilnya. “Rid!” panggil ayah dari belakang. Ternyata ayah sudah bangun, ia keluar dari kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD