PAMAN GREG

1118 Words
Air mata dan pelukan ayah membuatku terbangun. Setelah melihat kelopak mataku terbuka, ayah langsung memberiku segelas air. Aneh sekali, ia begitu terlihat sumringah. Sebenarnya, apa yang terjadi? Di mana ini? “Sudah siuman ya, Bos?” tanya seorang pria yang tiba-tiba masuk. Ayah tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Pria yang tak kukenal itu menghampiriku. Aneh sekali, kenapa wajahnya serasa tidak asing dibenakku. Rasanya aku pernah bertemu dengannya. Tapi di mana? Ah, sudahlah. Kini aku lebih tertarik dengan sebuah kamar yang sedang aku diami. Kamar ini terlihat sangat kumuh, berdebu, dan berantakan. Tapi, aku melihat sesuatu yang sangat menarik perhatian. Sebuah lemari dan kotak-kotak lainnya yang terbuat dari baja. Mereka memiliki pintu yang terkunci dengan rapat. Di setiap pintu, terdapat beberapa tombol yang berisikan angka dan huruf. Hampir mirip seperti kalkulator. Selain itu, masih ada lagi benda-benda lainnya yang tertempel di pintu lemari dan kotak-kotak tersebut. “Rid!” panggil ayah. Aku pun terkejut. “Kamu nggak apa-apa?” sambungnya. “Enggak, Yah.” “Tadi pagi kamu ke mana?” “Tadi pagi, pas di jalan, sandalku lepas. Jadi aku ngambil sandal dulu, yah di pertigaan, dekat pos ronda.” “Setelah itu?” sambungnya dengan penuh penasaran. “Lalu…” Oh, ya! Aku baru ingat, siapa pria asing yang sekarang berada di depanku, di samping ayah. Pria asing itu adalah pria yang membawaku kemari. Ya, aku yakin! “Ayah! Dia penjahat, Yah. Dia orang jahat! Dia penculik!” kataku sambil menunjuk pria asing itu. Ayah kebingungan. Ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang aku bicarakan. Sedangkan pria asing itu, air mukanya kini terlihat cemas. “Maksud kamu apa?!” lanjut ayah. “Dia orang yang membawaku kemari. Aku diculik, Yah!” Ayah langsung memalingkan wajahnya dariku. Ia menatap pria itu tajam. “Jelasin, Reg!” “Ehh, anu, Bos,” jawab pria itu gelagapan. “Bacot!” ayah beranjak dari duduknya. “Cepet jelasin!” “Ehh! Iya, iya, Bos.” lanjutnya, yang masih gelagapan. “Jadi tadi saya lagi minum, Bos. Tiba-tiba… ada anak kecil lewat sendirian. Abis itu, saya langsung bawa anak itu.” “g****k!” bentak ayah. “t***l banget, sih, lu! Lu nggak tau, susah payahnya gua nyariin Farid dari pagi. Gua tanyain preman-preman seisi kota, polisi dan temen-temen jalanan gua yang lainnya?!” Pria asing itu terbelalak ketakutan. Kepalanya tertunduk, merasa bersalah. “Maaf, Bos. Saya lagi nge-fly soalnya.” “Halah! Anjing, lu!” Ayah terus memarahi pria asing itu. Aku baru tahu, kalo ayah bisa semarah ini. Selama hidupku, ayah selalu bersikap ramah padaku. Tak pernah ia bersikap seperti sekarang ini. Apa aku salah menceritakan kejadian tadi pagi? Tapi… Ah, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Siapa pria asing itu? Kenapa ayah bisa kenal dengan pria itu? Dan, tempat aneh apa ini? Ah, aku bingung. Kepalaku saki, pusing di bagian belakangnya. “Ayah!!!” kataku sambil berteriak. Saat itu, ayah nyaris saja memukul pria asing itu. Karena mendengar teriakanku, akhirnya pukulan ayah terhenti. Bersyukurlah kau, pria asing. Karena kau tak jadi babak belur.   Dengan sigap ayah menghampiriku. Ayah terlihat sangat marah. Kedua bola matanya benar-benar merah. Ia benar-benar mengamuk. Melihat aku yang meringik sambil memegangi kepala, “Kenapa, Rid?!” tanyanya. “Kepalaku sakit, Yah.” “Kita pulang, Rid!” “Bos!” Pria asing itu kembali menghampiri ayah. “Jangan dulu, Bos. Kasian Farid. Sebaiknya dia istirahat dulu di sini. Sekarang juga sudah malam, perjalanan jauh, Bos. Dingin pake motor.” Resah jika harus tetap tinggal di rumah kumuh ini, tapi apa boleh buat. Usulannya cukup bagus. Ayah tak akan pernah tega melihatku kedinginan menembus malam. “Yaudah! Kalo gitu, cariin gua makan. Gua lapar.” “Siap, Bos!” Pria asing itu langsung bergegas. Sedangkan aku terlelap di kasur kotor, kumuh dan juga bau. Tapi tak apalah. Sedangkan ayah duduk di atas kursi di samping tempat tidurku. Ia memandang lemari dan beberapa kotak aneh yang terbuat dari baja itu. Dari tatapannya, ia seperti sedang mengingat-ngingat sebuah kenangan. Kenangan yang kuat, dan tak bisa dilupakan. *** Oh, ya. Sebelum terlelap, aku sempat menanyakan beberapa hal kepadanya mengenai pria asing itu. Ayah bilang, ia adalah rekan kerjanya dulu, namanya Greg. Setelah itu, aku menanyakan hal-hal lainnya mengenai tempat, dan pekerjaan ayah dulu bersama Greg. Tapi ia malah menyuruhku tidur, sedangkan ia diam tak menjawab. Dan sekarang, saat aku terlelap Greg datang membawa 3 bungkus nasi dan lauk pauknya. Luar biasa, yang ia bawa adalah makanan kesukaanku. Ya, dan itu adalah nasi padang. Aroma kuah dari rendangnya sangat khas, tekstur dagingnya lembut, nasi yang hangat, ditambah kerupuk petani yang biasa tersaji dalam seporsi bubur ayam. Oh, ya. Belum lagi dengan sayuran dan sambalnya. Walau pun aku belum pernah mencobanya karena tak tahan pedas, tapi aku yakin rasanya pasti enak. Aku jadi ingat, kala pertamaku memakan nasi padang. 3 tahun lalu, saat itu ibu masih ada. Malam itu adalah malam yang sangat dingin. Sedari pagi gerimis tak berhenti mengguyur. Kadang-kadang ia harus terapung oleh kencangnya angin. Sayangnya, angin itu malah membuat bulu kuduk semakin berdiri. Akhirnya, aku dan ibu tak keluar kamar sampai malam kembali tiba. Kami menghabiskan hari tersebut dengan menonton film dan bermain playstation. Hari yang indah. Tapi sayangnya, ayah tidak hadir di antara kita. Ibu bilang, ayah sedang ada kerjaan. Tapi ia belum pulang juga. Padahal sudah hampir 2 hari ia pergi. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya ayah datang dengan membawa 3 bungkus nasi padang. Saat itu kami langsung memakannya bersama sambil menonton film. Luar biasa, nasi padang memang sangat enak. Hari itu adalah cinta pertamaku padanya. Saking enaknya, aku bisa menghabiskan satu porsi orang dewasa. Entahlah, ibu bilang aku lapar. Tapi mungkin benar juga. Soalnya tadi pagi aku hanya makan semangkuk bubur. Makannya, sebungkus nasi padang itu terasa sangat enak. Sejak saat itu, aku bercita-cita untuk menjadi koki dan membuka rumah makan padang. Selain itu, aku ingin pergi ke Padang dan membangun rumah yang sama persis seperti rumah adat Padang. Pokoknya, segala hal tentang Padang. Dan sekarang, saat perutku terasa sangat lapar, nasi padang kembali hadir sebagai pahlawan. Oh, nasi padang. Engkau memang benar-benar berjasa dalam hidupku. “Rid!” ayah membangunkanku. “Makan dulu, ada nasi padang, nih,” lanjutnya sambil menyeringai. Ayah tahu kalau aku suka nasi padang, jadi ia juga tahu kalau aku pasti bangun. Langsung saja, aku pun menyambarnya dengan cepat. “Makasih, Yah, nasi padangnya,” kataku sambil membuka bungkus nasi tersebut. “Bilang makasihnya sama paman Greg!” Aku sedikit terkejut. Sepertinya aku salah menilai 2 hal mengenai pria asing itu. Pertama, ternyata dia cukup baik. Dan kedua, ternyata dia punya cukup banyak uang untuk membelikan kami nasi padang. Padahal sebelumnya aku berpikir bahwa ia adalah orang tak punya. Soalnya, kamarnya saja sudah berantakan seperti ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD