PENCULIKAN

980 Words
Sedari malam, takbir sudah menggema. Dentuman bedug terdengar dari masjid dan mobil bak. Begitu pun dengan kembang api yang meletup, memercikan percikan terang penghias malam. Malangnya, dibalik senangnya hatiku, ada sedih yang mengendap. Karena tak kusangka, Idul Fitri kali ini harus kulalui tanpa hadirnya ibu. Setahun yang lalu, saat usiaku sepuluh tahun. Tepat di depanku, ia meninggalkanku untuk selamanya. Kala itu, motor kencang yang dikendarainya menabrak motor lainnya dari arah yang berbeda. Ia terpental jauh ke depan. Kepalanya membentur tiang listrik di tepi jalan. Sedangkan aku didekapnya erat. Saat aku melihatnya untuk terakhir kali, ia tersenyum meskipun darah merah melumuri wajahnya. Aku menggigil, memanggil-manggil namanya. Semakin lama, kelopak matanya kian menutup. “Rid! Kita terlambat!” seru ayah memotong lamunanku. Aku pun segera bergegas setelah mengusap air mataku yang tak kusadari kedatangannya. Kulihat ayah begitu rapi dengan pakaiannya yang serba putih. Aku pikir, ayah sangat mirip dengan penceramah di TV. Hanya saja, ada bekas luka yang tak bisa hilang di pelipisnya. Ayah bilang, itu bekas setrika panas. Tak habis pikir, bisa-bisanya ayah meletakkan setrika panas di pelipisnya. Andai saja luka itu tak ada. Aku yakin, ayah benar-benar mirip seorang penceramah. Di luar, mesin motor ayah sudah berderu. Aku pun menaikinya. Kupeluk erat ayah, dan kupejamkan mataku. Tak sanggup aku melihat apa pun ketika sedang menaiki motor. Ayah bilang, aku trauma. Dan aku bilang, ayah juga trauma. Bagaimana tidak? Ayah tidak pernah membawa motor dengan kecepatan lebih dari 40 km/jam. Walau pun dalam kondisi mendesak. Ya, buktinya sekarang, 30 km/jam. Padahal, jalanan sudah sangat sepi. Sebentar lagi adzan berkumandang. Setahuku, ayah sangat menyayangi ibu. Terkadang ia memanggilnya dengan panggilan “The queen of street”. Jika ayah memanggilnya seperti itu, ibu akan tersenyum sedangkan matanya akan penuh terisi keyakinan. Aku tak pernah melihat mereka bertengkar. Ya, walau pun mereka sering kebut-kebutan di jalan. Banyak hal yang aku sukai dari mereka berdua. Yang jelas, mereka berdua benar-benar orang tua yang baik. “Cepat, Rid!” Lagi-lagi, seruan ayah memotong lamunanku. Motor tiba-tiba berhenti. Aku pun membuka mata. Tak terasa, ternyata sudah sampai. Ayah langsung berjalan cepat memasuki masjid. Ia meninggalkanku. Setelah itu, aku turun dari motor untuk menyusulnya. Dan saat itu pula aku menyadari, bahwa sandal kananku tiada, entah kemana. Aku yakin, sandalku lepas saat perjalanan. Mungkin di sana, di dekat polisi tidur. Persis seperti tahun lalu. Aku harus cepat mengambilnya. Aku tak mau kehilangan hadiah ulang tahun terakhirku dari ibuku. Tanpa berpikir panjang, aku pun berlari, bergegas untuk mengambil kembali sandalku. Kulihat, jalanan sangat sepi. Tak ada motor atau pun mobil berlalu-lalang. Zebra cross kusebrang, beberapa persimpangan kulalui. Hingga akhirnya, tibalah aku di sebuah jalan kecil. Di depan pos ronda, di dekat polisi tidur yang menggunung, aku melihat sebuah sandal berwarna hijau tergeletak di sana. Ya, sandal itu adalah milikku. Betapa bahagianya bisa menemukan kembali sandal itu. Aku pun mempercepat langkahku. Sesampainya di sana, setelah aku mengambil dan memakainya, aku bisa merasakan kehadiran ibu disisiku. Terima kasih, Ibu. Engkau selalu hadir menemaniku, kataku dalam hati. Setelah itu, saat aku hendak pergi menuju masjid, seorang pria berbadan besar mendekatiku. Pria yang sangat menyeramkan. Rambutnya sebahu, celana panjangnya bolong di bagian lutut dan baju hitamnya bergambar seorang anak yang sedang dibekam. Sedangkan kulit wajahnya kusam, tindik di hidung, tato di pelipis dan mata merah yang menyeramkan. Saat ia tersenyum, terlihat jelas giginya yang sedikit berwarna kuning, entah berapa lama ia tak menggosoknya. Pria itu terus melangkah, semakin mendekat. Langkahku terkunci oleh tatapannya. Meskipun perlahan, kakiku melangkah ke belakang sambil bergetar. “Trang!!!” suara botol di lengan kanannya yang dijatuhkan. Pria itu mempercepat langkahnya. Aku pun mencoba berlari, tapi tak bisa. Akhirnya, pria itu menangkapku. Aku berontak, mencoba melepaskan diri. Kusambat, Ayah! berulang. Tapi percuma, tak ada orang yang mendengarnya. Selain itu, tangannya benar-benar kuat. Berada di dekatnya, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang benar-benar bau. “Berisik!” bentak pria itu sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sesuatu itu adalah sebuah sapu tangan, yang kemudian sapu tangan itu ditempelkan ke hidungku. Beberapa saat setelah itu, aku pun tertidur. Sedangkan pria itu pergi, membawaku entah kemana. *** Suasana di masjid sangat tentram dan damai. Selepas sholat usai dilakukan, beberapa di antara jemaah sholat memilih bersalaman terlebih dahulu. Tetapi, juga tak sedikit di antara mereka yang memilih untuk segera pulang, seperti ayah. “Ayo, Rid!” ucap ayah sambil menoleh ke samping kirinya. Sejak saat itu, ayah terkejut. Ia menyadari ketidak beradaanku. Ternyata, anak laki-laki yang berada di sampingnya bukanlah aku. Melainkan orang lain. Ayah bertindak cepat, ia segera mencariku ke seluruh tempat yang ada di masjid. Entah itu tempat sholat, parkiran, kamar mandi dan tempat-tempat lainnya. Tapi sayang, ia tetap tidak menemukanku. Akhirnya, ayah duduk di tangga masjid. Merogoh saku, dan mengambil gawai. Ia menuliskan beberapa pesan untuk dikirimkan. Pesan tersebut berisi; “Farid diculik. Cari dan temukan dia secepatnya!” Setelah itu ayah bergegas, menyisir seisi kota untuk mencariku. Seharian sudah ayah mencariku. Di bawah teriknya mentari, di pelosok-pelosok kota, belum jua ia temukan. Begitu pun dengan teman-temannya. Kabar dari mereka semua sama, sama-sama belum menemukanku. Kini, malam pun tiba. Di sebuah angkringan di atas kursi, ayah nampak sangat gelisah. Sungguh, ia tak mau kehilanganku. Jauh di dalam sanubarinya, ia menyesal tidak menuntunku ketika hendak memasuki masjid. Ia meninggalkanku seorang diri di parkiran. Di situlah titik awal perpisahannya dengan ku. “Tringgg!” ponsel ayah berbunyi. Dengan cepat, ia mengangkat teleponnya. “Bos! Saya temukan Farid, Bos!” ucap penelpon. “Yang bener?” “Bener! Sekarang dia ada sama saya. Di rumah saya.” “Gua ke sana sekarang!” Mendapat kabar seperti itu, ayah langsung bergegas menemuiku. Ia sangat buru-buru. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan 35 km/jam. Setelah beberapa puluh menit, akhirnya ayah pun sampai. Ia menemuiku yang masih tertidur. Ia memeluk dan menciumku. Air mata kebahagiaannya menetes di keningku. “Dimana kau menemukannya?!” tanya ayah. “Di jalan dekat masjid, Bos. Dekat pos ronda tadi pagi.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD