RUTINITAS

1102 Words
Malam panjang untuk tidur yang lelap. Sejak maghrib kemarin, gerimis turun di Kota Hujan. Angin berhembus cukup kencang, mebuatku nyaman dengan simbutku di dalam kamar. Kulihat ayah sedang berbicara dengan seseorang melalui telpon, ditemani segelas kopi hitam dan sebatang rokok yang disulutnya dari celana jeans. Aku sangat suka melihat cara ayah merokok. Saat ia menghisapnya, asap rokok tersebut bisa keluar melalui hidung dan mulutnya dengan perlahan. Sedangkan matanya memperlihatkan ketenangan yang tiada tara.   Ekspresi ayah cukup serius dalam pembicaraan itu. Nampaknya, ia sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. Kudengar ia banyak membicarakan perihal bisnis. Apakah ayah akan mendapatkan pekerjaan kembali? Apa sekarang ayah akan menjadi pembisnis yang bisa menjadikan kami kaya raya? Ah, tak ada gunanya menduga-duga. Akhirnya aku pun menanyakannya secara langsung. “Ayah, siapa yang ayah telpon? Apa ayah akan menjadi pembisnis?!” Ayah menyimpan telponnya “Tunggu!” katanya pada penelpon. Ia pun menghampiriku. Kemudian membungkuk, sehingga kepalanya bisa sejajar dengan kepalaku. “Rid! Ayah sedang membicarakan sesuatu yang sangat rahasia. Kamu tak perlu tahu. Sekarang, kembalilah ke kamar.” Apa boleh buat. Jika sudah seperti ini, aku tak bisa menolaknya. Aku pun kembali ke kamarku. Sedangkan ayah pergi ke dapur bersama telponnya. Mungkin karena percakapan itu sangat rahasia, jadi ia benar-benar menyembunyikannya dari siapa pun.             Angin malam ini benar-benar sangat dingin. Seakan ia menyuruh semua orang untuk tidur lebih awal dan membungkus dirinya dengan selimut tebal.             “Hai, Flash!” sapaku kepada Flash. “Apa kau tak kedinginan? Kau telah berenang seharian.”             Flash menjawab semuanya dengan diam. “Di luar hujan gerimis. Berdoalah, semoga besok pagi ada sinar matahari. Kalau tidak, aku tahu kau pasti akan mogok makan. Benar, kan?” Flash memejamkan matanya. Luar biasa, bukan? Aku tahu Flash mengerti apa yang kusampaikan. Dan sekarang, ia memjamkan matanya untuk berdoa. “Kura-kura pintar,” kataku sambil tersenyum. Memang tak masuk akal berbicara dengan hewan. Mereka tak akan mengerti apa yang dibicarakan. Selain itu, mereka juga tak akan menjawab. Tapi entah kenapa, aku selalu meyukai pembicaranku dengan Flash. Dan itu sangat berpengaruh. Misalnya; aku pernah menyuruh Flash untuk makan saat ia mogok. Aku membentaknya habis-habisan. Dan beberapa saat kemudian, ia pun makan. Tapi sekarang, Flash berdoa sangat lama, ia belum juga membuka matanya. “Hei, Flash! Apa kau tertidur?!” Aku menunggunya sampai genap satu menit. Tapi ia hanya menjawabnya dengan diam. “Ah, sudahlah. Aku pun ngantuk,” lanjutku sambil menguap. Sebelum tidur, aku selalu merenung dan memikirkan apa saja. Entah itu lama atau sebentar. Dan sekarang, ibu melintas dalam pikiranku. “Apa kau tenang di sana ibu? Aku rindu.” *** Rumahku berdampingan dengan rumah para karyawan pabrik. Pak Iman, ia adalah mekanik di sebuah pabrik pembuatan baju. Ibu Sari, adalah seorang akuntan di pabrik roti. Deri, seorang pemuda yang bekerja sebagai pengoperasi mesin bubut di pabrik tekstil. Dan terakhir, Pak Mario, ia adalah manajer perusahaan Ice Cream. Mereka semua selalu bangun pagi, karena jam tujuh tepat mereka semua harus sudah berada di pabrik. Hal itu sangat berbeda dengan keluargaku. Mereka tak memiliki radio yang selalu menyanyikan musik dangdut di pagi hari seperti ayahku. Tak ada tidur lagi setelah sholat subuh, mandi di siang hari, begadang dan lainnya. Kehidupan mereka sangat membosankan. Pergi pukul tujuh, pulang pukul empat setelah ashar. Atau kadang-kadang, jika sedang lembur mereka akan pulang malam hari. Dan sekarang, saat aku terbangun di pagi hari, mentari sudah terbit. Jam bekerku menunjukan pukul tujuh pas. Tetanggaku yang bekerja di pabirk sudah pada pergi. Sedangkan Flash, ia sudah menceburkan dirinya di kolam. Tumben ayah tak membangunkanku untuk shalat subuh. Apa aku tak bisa dibangunkan? Atau, ayah sendiri belum bangun. Aku pun keluar untuk memastikannya. Setelah kubuka pintu kamarku, aku melihat seseorang di sofa, dan itu bukan ayah. Aku pun segera menghampirinya. Mustahil, Paman Greg. Ya, itu adalah Paman Greg. Mengapa ia bisa ada di sini?! Apa yang ia lakukan?! Ke mana ayah?! Aku segera pergi mencari ayah. Dan ternyata, ia sedang terlelap di kamarnya. Oh, syukurlah. Rupanya, Paman Greg menginap di sini. Tumben juga, sih. Mungkin mereka sedang ada perlu. Setelah itu, aku membiarkan mereka. Aku langsung mencuci muka dan segera membawa Flash ke luar rumah untuk berjemur. Aku menyimpannya dekat kolam ikan kecil depan rumahku. Mereka sama-sama kuberi makan. Khusus untuk Flash, aku mengganti air akuariumnya supaya tidak kotor. Setelah itu aku memberinya makan. Senangnya bisa melihat mereka makan. Apalagi ikan-ikan di kolamku. Mereka selalu berebut dalam urusan makan. “Makanlah yang banyak, Flash! Biar kau cepat tumbuh. Biar aku bisa mengetahui sesuatu tentang tempurungmu itu!” ucapku pada Flash yang sedang menyantap cacing. Sekarang, aku harus menunggunya menghabiskan makanan. Karena kalau ditinggal, mungkin ia bisa kabur lagi. Menyebalkan. Setelah beberapa menit, akhirnya cacing pun habis. Aku menaruhnya kembali ke dalam kamar. Saat aku hendak keluar lagi, kudapati ayah sedang mengotak-atik radionya. Nampaknya ia sudah bangun. Aku yakin, ia sedang mencari gelombang yang ada musik dangdutnya. Eh, ternyata dugaanku salah. Ia tak lagi mencari gelombang di radio. Kini, ia memiliki 5 kaset dangdut yang terlihat baru. Kaset-kaset itu berisi lagu dari Rhoma Irama, Ridho Rhoma, Inul Daratista, Iis Dahlia dan yang terakhir ini agak berbeda. Kaset terakhir itu bukanlah kaset dangdut, melainkan kaset berisi lagu-lagu lawas seperti Iwan Fals, Ebiet G Ade, Koes Ploes dan Nike Ardila. Dengan begitu, lagu-lagunya takkan lagi terhalang oleh antena atau pun gelombang radio yang sering berubah-ubah. “Tap!” kaset dimasukkan. Beberapa detik kemudian, lagu dangdut berputar, volume ditingkatkan. Ayah langsung berdiri memamerkan sedikit goyangannya. Saking kerasnya suara dangdut itu, Paman Greg terbangun. Nampaknya ia sedikit ling-lung. Mukanya terlihat lebih jelek dan menyeramkan saat bangun tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan rambut berantakan dan mata yang masih tertutup rapat. Persis seperti zombie. “Hei, Paman!” aku memanggilnya berulang-ulang. Tapi ia tak menyahut. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan mata terpejam. Dilihat dari belakang, tak bisa kutahan tawaku. Celana yang ia kenankan agak melorot, sampai celana dalamnya terlihat separuh. “Aduh! Dasar Paman Greg!” ucapku sambil menepuk dahi. Selain itu, ia berada di kamar mandi sangat lama. Hampir satu jam. Entah apa yang ia lakukan. Pikirku, mungkin ia tertidur. “Hei, Paman!” teriakku. Paman Greg mendeham. “Apa kau baik-baik saja?!” Ia kembali mendeham. Kemudian ayah menghampiriku. “Sudahlah, Rid! Dia memang selalu seperti itu,” ucap ayah ketus. Aku pun menghiraukannya, dan kembali ke ruangan tengah untuk mendengarkan lagu dangdut bersama ayah. Tak lama kemudian, Paman Greg datang dengan gagah, kemudian ia mengambil remot radio utnuk memperbesar volumenya. Setelah itu, ayah dan Paman Greg berjoget bersama. “Ya ampun! Pagi-pagi sekali aku sudah bisa mendapat bahan tertawaan,” kataku pelan, yang kemudian aku duduk di atas teras menyaksikan dan menertawakan mereka berdua.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD