Setelah capek berjoget, ayah pun mengambil mik dan mencolokannya. Rupanya sekarang ayah akan bermain karoke.
Kaset pertama yaitu kaset Ridho Roma pun dihentikan. Ayah menggantinya dengan kaset lainnya yaitu Rhoma Irama sang raja dangdut. Setelah kaset berbunyi, ayah pun mulai memainkan mik-nya.
Lagu pertama adalah Al-quran dan Koran yang liriknya tentu sangat luar biasa.
“Dari masa ke masa
Manusia (manusia) berkembang
Peradabannya
Hingga di mana-mana
Manusia (manusia) merubah wajah dunia
Gedung-gedung tinggi mencakar langit (yeah-yeah)
Nyaris menghiasi segala negeri
Bahkan teknologi di masa kini (yeah-yeah)
Sudah mencapai kawasan samawi
Tapi sayang disayang
Manusia (manusia) lupa diri tinggi hati
Lebih dan melebihi
Tingginya (tingginya) pencakar langitnya tadi
Sejalan dengan doa pembangunan
Manusia makin penuh kesibukan
Sehingga yang wajib pun terabaikan
Sujud lima waktu menyembah Tuhan
Kaena dimabuk oleh kemajuan
Sampai komputer dijadikan Tuhan (yang bener aje)
Kalau bicara tentang dunia (dunia)
Aduhai pandai sekali
Tapi kalau bicara agama (agama)
Mereka jadi alergi
Membaca koran jadi kebutuhan (yeah yeah)
Sedang Al-quran Cuma perhiasan
Bahasa Inggris sangat digalakkan (yeah yeah)
Bahasa Arab katanya kampungan (nggak salah tuh?)
Buat apa berjaya di dunia (di dunia)
Kalau akhirat celaka
Marilah kita capai bahagia (bahagia)
Di alam fana dan baka”
Lagu selanjutnya masih dari Rhoma Irama yang berjudul “Judi”
“Judi (judi), menjanjikan kemenangan
Judi (judi), menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong), kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong), kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Judi (judi), meracuni kehidupan
Judi (judi), meracuni keimanan
Pasti (pasti), karena perjudian
Orang malas dibuai harapan
Pasti (pasti) karena perjudian
Perdukunan ramai menyesatkan
Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam
Yang menang bisa jadi jahat, apalagi yang kalah
Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin
Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah
Uang judi najis tiada berkah
Uang yang pas-pasan karuan buat makan (o, o)
Itu cara sehat ‘tuk bisa bertahan
Uang yang pas-pasan karuan ditabungkan (o, o)
Itu cara sehat ‘tuk jadi hartawan
Apa pun naman dan bentuk judi
Semuanya perbuatan keji
Apa pun nama dan bentuk judi
Jangan lakukan dan jauhi
Judi”
Setelah lagu berakhir, mereka mengacungkan kedua tangannya dengan mata tertutup sambil meneriakkan “Judi…!!!”
Belum usai, mereka melanjutkan lagu yang ketiga dengan judul “Bujangan.”
“Katanya enak menjadi bujangan
Ke mana-mana tak ada yang larang
Hidup terasa ringan tanpa beban
Uang belanja tak jadi pikiran
O, bujangan… bujangan
Bujangan… bujangan
Enaknya kalau jadi bujangan
Hidup bebas bagai burung terbang
Kantong kosong tidak jadi persoalan
Tapi susahnya menjadi bujangan
Kalau malam tidurnya sendirian
Hanya bantal guling sebagai teman
Mata melotot pikiran melayang
O, bujangan… bujangan
Bujangan... bujangan
Susahnya kalau jadi bujangan
Hidup tidak bisa tenang
Urusi segala macam sendirian
Ho… tidak boleh hidup membujang
Kalau untuk bebas berkencan
Dengan gonta-ganti pasangan
Kalu memang semuanya sudah mungkin
Tentu lebih baik kawin
Karena bahayanya hidup sendirian
Berat menahan godaan”
“Lagi nggak, Bos?” tanya Paman Greg yang hendak memindahkan lagu dengan remotnya.
“Nggak, ah, gak usah. Gua kan udah nggak bujang lagi,” jawab ayah lemas.
“Tapi, Bos. ini kan cuma lagu...” Paman Greg bersikeras membujuk ayah.
Ayah tak menjawabnya, ia pergi ke ruang tamu untuk duduk di atas sofa dan menyulut sebatang rokoknya. Ia melamun, nampaknya ia sedang berpikir begitu dalam. Setelah itu, Paman Greg menghampiri ayah. Kemudian ia berkemas untuk pulang.
“Bos, saya pulang dulu,” ucap Paman Greg sambil melihat arlojinya.
Ayah hanya menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Paman Greg yang sudah menyalkan mesin motornya kembali berkata “Jangan lupa, Bos! Minggu depan!” teriaknya. Setelah itu ia pun pergi.
Melihat ayah yang tiba-tiba murung, aku pun menghampirinya.
“Apa semuanya baik-baik saja, Yah?”
“Nggak apa-apa, Rid. Ayah baik-baik saja,” sahut ayah dengan senyumannya yang terpaksa. Kemudian ia beranjak dari duduknya. “Ayah cari makan dulu, kamu lapar, kan?!” lanjutnya meninggalkan rumah.
Oh, ya. Aku baru ingat kalau aku punya janji bermain bersama Heru. Rencananya kami akan bermain Play Station. Aku pun segera bergegas untuk mandi terlebih dahulu. Ketika aku selesai mandi, ayah sudah tiba dengan dua bungkus nasi timbelnya. Kami makan bersama-sama. Ayah tak seperti biasanya. Gerak tubuhnya lambat juga banyak melamun.
“Apa itu yang kau maksud baik-baik saja ayah?” Ah, pikiran itu selalu saja mengganggu pikiranku.
Aku mencoba bersikap biasa saja. Kalau ditanya pun, ayah tak akan memberikan jawaban.
“Aku pergi main dulu, Yah!” kataku sambil meninggalkan rumah.
Sepanjang jalan, aku masih memikirkan ayah. Aku jadi teringat, kenapa Paman Greg menginap di rumahku. Apakah ia memiliki urusan penting? Atau hanya sekedar bermain? Oh, ya. Semalam juga ayah menelpon seseorang dengan pembicaraan yang sangat rahasia. Apa mungkin, penelpon itu adalah Paman Greg?! Ah, tapi kalau penelpon itu adalah Paman Greg, untuk apa ia menginap di rumahku? Lantas apa pembicaraan rahasia itu? Aku yakin, pembicaraan rahasia itu ada hubungannya dengan apa yang terjadi kepada ayah sekarang. Ya, aku harus mencari tahu hal itu.
Sesampainya aku di depan rumah Heru, pintu pagarnya terkunci. Kulihat, ada banyak mobil dan motor baru di halam rumahnya. Mobil dan motor baru itu sama mewahnya dengan mobil dan motor milik Heru.
“Heru…! Heru…! Heru…!” teriakku.
Aku coba pencet belnya berkali-kali, namun tetap saja tak ada jawaban.
“Baiklah, aku coba dari belakang!”
Halaman belakang Heru yang luas itu adalah halaman yang terbuka tak tertutup dinding. Jadi aku bisa memanggilnya dari sana. Jalan menuju halaman belakangnya adalah jalan sempit antara rumah Heru dan rumah tetangganya. Banyak rumput tinggi tumbuh di sana. Aku harus berhati-hati, karena terkadang ular atau kalajengking bisa muncul dari balik rerumputan.
Ada banyak suara kudengar. Nampaknya, di halaman belakang terdapat banyak orang. Dan benar saja, ketika aku sampai di halaman belakangnya, aku melihat banyak orang sedang makan besar. Orang-orang itu adalah Heru, kakak-kakanya dan beberapa orang lainnya yang tak kukenal. Pantas saja tak ada orang yang menyahut panggilanku tadi, semua orang sedang sibuk dalam berkumpul.
Selain itu, aku melihat seseorang paling mencolok di antara mereka. Laki-laki itu berbadan besar dan tinggi. Rambutnya cepak, matanya sipit, sedangkan di wajahnya terdapat beberapa luka bekas luka. Bekas luka itu seperti sebuah sayatan sejenis pisau. Ia duduk di antara Heru dan kakak paling besarnya. Rasanya, aku pernah melihatnya di foto-foto yang terpajang di dalam rumah Heru. Tapi, siapa sebenarnya orang itu? Oh, ya. Apa mungkin ia adalah ayahnya? Iya, benar. Itu pasti ayahnya yang Heru ceritakan waktu itu. Jadi benar, ayahnya pindah tugas sekarang. Aku jadi tak sabar ingin mendengarkan kisah-kisah heroiknya melawan kejahatan.