YANG TERLEWAT

1095 Words
Beberapa tahun lalu, jauh sebelum aku dilahirkan dan jauh sebelum ayah dan ibuku menikah. Ayah melakukan hari-harinya seperti biasa. Saat malam tiba, ia pergi jalan-jalan menggunakan motornya (saat itu ayah bisa mengendarai motor lebih dari 30 km/jam). Ia hendak menonton balapan liar di sebuah jalanan di Kota Bogor. Sebenarnya, kala itu adalah kali pertamanya ia menonton balapan liar. Sebelumnya ia tak pernah menontonnya, karena memang hal tersebut bukanlah hal yang menarik bagi ayah. Tapi entah kenapa, setelah ia menonton berita di TV tentang maraknya balapan liar di berbagai daerah di Indonesia, ia pun menjadi sedikit penasaran dengan balapan liar. Jalanan yang hampir mirip sebuah jalan tol tersebut dipenuhi banyak orang. Mereka berkumpul di dekat lampu lalu lintas yang ternyata merupakan garis start. Di sana sudah bersiap dua motor balap yang sudah dimodif sedemikian rupa. Kemudian, dua orang laki-laki bertato, beranting dan berkalung mendekati motor yang sudah bersiap tersebut. “Dua ratus ribu?!” ucap salah satu dari mereka sambil mengulurkan tangan. “Tiga ratus, berani gak?!” jawab satunya lagi. “Halah! Gak usah sok, Lu! Emang lu yakin motor lu bisa nandingin motor gua?!” “Bacot! Bilang aja lu gak berani b*****t!” “Oke, tiga ratus ribu!” sahutnya sambil menjabatkan tangan. Mereka pun menaiki motor, menyalakan mesin motor dan memanaskannya. Satu otang di antara orang-orang yang berkerumun itu turun ke jalan, berdiri di depan, di antara kedua motor. Ia berdiri tegak, mengangkat dua buah bendera berwarna biru. Semua orang diam, para pembalap sangat fokus dan serius menatap ke depan, ke garis finish. “Oke, semuanya bersiap!” ucap laki-laki yang berdiri tegap di jalanan. “Hitungan ketiga. Jika ada yang mendahului, start diulang!” “Satu!” Gas motor ditarik ulur, suara kenalpot semakin bising. “Dua!” Asap knalpot memenuhi garis start, begitu pun dengan baunya yang tak enak. “Tiga!” ucapnya sambil menurunkan kedua bendera. Kedua motor melaju sangat cepat. Jalanan lurus, kedua motor saling bersusulan. Perbedaan jarak di antara mereka tak pernah jauh. Mungkin hanya beberapa centimeter. Terus hingga sampai garis finish. Semua orang di garis start riuh. “Siapa yang menang?!” karena dari kejauhan, tentu pemenangnya tak akan terlihat. Kemudian, orang pembawa bendera itu merogoh sakkunya untuk mengambil handphone. Nampaknya ia sedang menelpon seseorang yang berada di garis finish. “Oke, pemenangnya Hendra dari TRM!!!” Orang-orang di garis start kembali riuh, bahkan lebih riuh dari sebelumnya. Keriuhan mereka bermacam-macam. Ada yang gembira karena teman atau timnya menang, atau gembira gara-gara menang taruhan. Tapi ada juga yang berteriak mengekspresikan kekesalannya karena teman atau timnya kalah, atau menyesal gara-gara kalah taruhan. “Party kita, nih!” “Gelas berputar!” “Kopdar!” “Mau berapa botol?! Beli yang agak mahalan, lah!” “Anjing! Kalah lagi gua!” “b*****t, utang nambah lagi, nih!” “Bodo! Bisa-bisanya dia kalah!” “g****k banget, dah!” Kurang lebih itulah respon yang keluar dari mulut orang-orang yang berada di garis start. “Siapa lagi?!” ucap laki-laki pemegang bendera sambil menyalakan rokoknya. Kemudian seorang laki-laki datang dari balik kerumunan mendorong motornya ke garis start, bertanda bahwa ia siap mengikuti balapan. Motor yang ia bawa terlihat jauh lebih bagus dari dua motor yang sebelumnya. Dari segi luar, body-nya berwarna dasar oren mengkilap, dihiasi stripping berwarna kuning, hijau dan oren cerah, menjadikan motor tersebut tambah menawan. Selain itu, knalpotnya terdengar begitu sangar. Ketika mesin dinyalakan tanpa digas, suaranya biasa saja. Seperti suara compressor. Tapi ketika sudah digas, suaranya mendadak berubah menjadi seperti suara raungan singa yang menggelegar. Ketika mendengar suara tersebut, semua orang akan merasa terganggu indra pendengarannya. Saat ia mendorong motornya pun, terdengar riuh-riuh penonton mengagumi motor tersebut. Benar-benar motor yang luar biasa! Belum lagi dengan jokinya yang berotot seperti petinju petarung bebas. Walau mungkin, ia hanya petarung jalanan. Tapi petarung jalanan justru bisa lebih ekstrim dan brutal, bukan? “Tujuh ratus ribu!” ucapnya sambil mengangkat enam lembar uang senilai seratus ribuan. Para penonton kembali riuh. Laki-laki itu tak datang sendiri, ia ditemani banyak pengikutnya. Badannya sama besar dan berotot. Selain itu, gaya mereka terlihat sangat sombong dan angkuh. “Gak ada yang berani?!” ucapnya lagi. Penonton kembali riuh. “Woy! Dengerin!” serunya membuat penonton terdiam. “Gua tau, kalian semua gak bakal ada yang berani! Karena motor-motor lo semua itu lamban! Gak berkualitas! Atau… kalian semua pada miskin, gak punya modal untuk taruhan?!” Serempak, ia dan kawanannya tertawa dengan keras. “b*****t, biasa aja ngomongnya!” terdengar seseorang berbicara dengan pelan dari balik kerumunan para penonton. Laki-laki sombong itu langsung menoleh ke arah timbulnya suara. “Apa?! Siapa?! Berani, Lu?! Kalo berani sini! Gak usah ngomong di belakang!!! Pengecut!” lanjutnya sambil menyeringai. Suasana menjadi hening sesaat. Kemudian, laki-laki itu melanjutkan pembicaraannya. “Kenalin! Gua Arya, pembalap motor terhebat di dunia!” ucapnya angkuh. Tiba-tiba, seseorang menyambat pembicaraannya dari balik kerumunan. “Dan kenalin! Gua Maria! Pembalap yang akan mengalahkan pembalap motor terhebat di dunia!!!” Arya kembali menoleh ke arah suara. Kemudian ia mendapati seorang wanita yang sedang mendorong motornya ke garis start. Wanita itu berambut lurus berwarna hitam pekat, sedangkan panjangnya sebahu lebih sedikit. Matanya bulat dan tajam. Seakan-akan, matanya bisa mengidentifikasi setiap jalanan yang ia lalui dari kerikil, jalan berlubang, tikungan, jalan berliku dan lain-lain. Tiba-tiba wanita lainnya menghampiri Maria dengan tergesa-gesa. “Heh! Emang lu punya uang?!” ucapnya pelan. “Gampang! Diem aja, Lu!” sahutnya. Arya yang berada di sampingnya mendengarkan percakapan itu. Ia pun menertawakannya. “Gua tau lo gak punya uang!” ucap Arya sambil menunjuk Maria. “Tapi gua hargai ketololan, Lo! Gua terima!” pungkasnya. Dengan keputusan itu, akhirnya wanita yang menghampiri Maria kembali lagi ke kerumunan. Para penonton kembali riuh. Mereka mengetahui siapa itu Maria. Ia adalah perempuan yang selalu hadir dalam balapan, tapi tak pernah balap. Yang mereka tahu, dalam setiap balapan ia hanya berperan sebagai penonton. Jangankan sebagai pembalap, Maria bisa mengendarai motor pun mereka tak yakin. Keriuhan para penonton masih berlangsung. Terutama bagi mereka para petaruh. “Arya menang!” “Lho, gak bisa! Gua yang pilih Arya!” “Gua duluan, lah!” “t***l! Cari lagi taruhan lain!” Para petaruh kebingungan. Taruhan tak bisa jalan, karena semua orang memilih Arya. Kemudian, salah seorang petaruh berteriak. “Satu juta! Siapa yang berani?! Tapi gua milih Arya!” Suasana hening sesaat. Tak lama kemudian, wanita yang sebelumnya menghampiri Maria kini menghampiri petaruh yang berseru tersebut. “Gua terima!” “Mana duit, Lo?!” “Gua gak ada duit. Gantinya, gua pasang diri gua untuk taruhan. Kalo gua kalah, diri gua bebas mau lu apain.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD