MUSYAWARAH BESAR

1086 Words
Aku menangis di rumahku sendirian. Tak ada orang yang memperhatikan dan peduli kepadaku. Semuanya pergi. Mereka semua pergi meninggalkanku. Setelah itu, aku mengehentikan isak tangisku. Kemudian kembali melamun memikirkan ayah. Mengharapkan kehadiran orang-orang yang selalu di sampingku. Ayah, ibu, Bi Idah, Pak Arif. Ke mana mereka semua? Aku benar-benar membutuhkan mereka. Aku tak bisa hidup tanpanya. Lama aku melamun, dan tak terasa, perutku mulai terasa lapar. Aku ingin makan. Aku pun mengecek dapur yang tak menyimpan satu pun jenis makanan. Dapur itu hanya berisi perabot-perabot bersih tak terpakai. Aku jadi teringat dengan Heru yang selalu mengantarkanku nasi padang. Biasanya pagi-pagi ia sudah menyimpannya di depan pintu. Tapi sekarang, mungkin karena ia sedang marah ia tak datang. Perutku benar-benar berputar, sangat sakit. Aku pun membobol celenganku. Dan akhirnya, uang senilai lima ribu rupiah kudapatkan. Aku ke luar untuk mencari makan. Lima ribu rupiah takkan cukup untuk membeli bubur atau pun nasi kuning.  Akhirnya aku membeli surabi dari toko kelontongan dengan beberapa bakwan hangat dan minum air the yang juga hangat. Hari ini kuhabiskan hari-hari tanpa banyak pekerjaan. setelah selesai sarapan, aku pergi ke rumah dan melamun, mengharapkan mereka yang selalu hadir untukku kembali hadir saat ini. Hingga malam datang, aku tertidur di atas sofa tempatku melamun. Keesokan harinya, hujan gerimis kembali hadir menyambut pagi yang malas. Aku kembali tidur dan memeluk selimutku di kamar. Tak ada yang berubah sampai hujan berhenti pukul dua belas siang. Setela itu aku keluar kamar, duduk di sofa dan kembali melamun sedalam-dalamnya. Perutku kembali terasa lapar. Tapi tak ada makanan di dapur yang bisa kumakan. Untuk membeli pun aku tak punya uang. Apa aku akan mati kelaparan hari ini juga? Rasanya itu lebih baik jika aku mati. Tapi ternyata perjalanan menuju kematian itu sangat pedih. Lebih pedih dari apa pun. Aku ingin mati karena Tuhan yang menghendaki, karena kalau seperti ini, aku begitu tersiksa. Kepalaku tiba-tiba pusing. Penglihatanku tak jelas. Semua yang kulihat membayang menjadi dua. Kepalaku terasa berputar-putar. Hingga tak lama kemudian, mataku terpejam dan tubuhku tergeletak di atas sofa. *** Di malam yang dingin di tempat yang sunyi, Greg sedang membereskan ruangan tengahnya. Bukan menyapu, hanya membuang botol-botol bekas minuman keras dan bungkus rokok ke tong sampah. sedangkan lantai dan segalanya dibiarkna berdebu. Saat itu, pukul sembilan malam. Greg kedatangan keempat kawannya. Danang, Dinar, Dadang dan Julia. Seperti biasa, mereka datang dengan mobil yang tak jelas bentuknya. Saat keempat kawannya tiba di rumahnya. Mereka segera duduk di kursi yang berdekatan dengan meja bundar. Kemudian Greg mengambil beberapa botol minuman bermerk whiskey dari lemari es-nya. “g****k! Jangan dulu minum!” pekik Danang. “Kita ada rapat penting!” Lalu semuanya duduk dengan rapi dan khidmat melakukan musyawarah. “Ada apa, Bang?” tanya Greg. Danang menyulut rokoknya terlebih dahulu, kemudian menghisap dan mengpulkan asapnya. “Gini! Kemarin gua dapet telpon dari si bapak.” “Bapak mana, Bang?” tanya Greg balik. “Bapak yang biasa jadi langganan kita!” “Yang mana, Bang?!” tanya Greg lagi. “Diem dulu, g****k! Gua belum selesai ngomong!!!” seru Danang sambil menampar Greg. Sedangkan Dinar, Dadang dan Julia hanya terkekeh-kekeh menertawakan Greg. Danang kembali menghisap rokok dan mengpulkan asapnya. “Pak Komar!” “Ohhh. Pak Komar…” sahut Greg. Danang melirik Greg tajam. Tapi Greg malah diam dan polos. Danang pun melanjutkan pembicaraannya. “Kita dapat misi untuk membunuh Unang, calon bupati nomor dua! Dia bilang, dia saingan terberatnya. Jadi harus kita lenyapkan!” Dinar, Dadang, Julia dan Greg mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terakhir kapan, Bang?” tanya Dinar. “Waktu kita seminggu. Sebelum pemilihan dimulai!” Mereka mengangguk-angguk kembali. “Kita harus tuntaskan rencana kita sekarang. Setelah itu, kita akan melakukan aksi yang sangat tersembunyi dan mengerikkan!” Mereka mengangguk-angguk kembali. “Oke! Kita buat rencananya sekarang!” Mereka mengangguk-angguk kembali. “g****k! Ngapain manggut-manggut dari tadi! Buruan, gimana rencananya?!” pekik Danang. “Kan biasanya, Abang yang mimpin…” sahut Greg. Danang terdiam, mungkin ia setuju dengan pendapat Greg. Tapi karena ia malu, jadinya… “Diem, Lu, g****k!” lanjutnya sambil menampar Greg. Akan tetapi, Greg berdiri menghindar dari tamparannya. Tangan Danang yang pendek tentu tak bisa menggapai jarak sejauh itu. “Tenang, Bang. Tenang…” sahut Greg sambil cengengesan. Danang menghisap dan mengepulkan kembali asap rokoknya. “Oke! Jadi gini… Pertama, kita cari dulu data tentang si Unang itu. Dinar gua serahin sama, Lu! Kerjakan itu sekarang!” “Oke, Bang!” Dinar mulai membuka laptopnya. Setelah itu ia mengotak-atik, membuka internet, sosial media dan bahkan membobol data kewarga negaraan milik negara. Selain itu, ia juga masuk ke akses rumah Unang melalui kamera pada gawai GPS, jejak dan lain-lain yang tak dimengerti oleh mereka yang berada di sana kecuali Dinar itu sendiri. Di samping itu, saat Dinar mengerjakan tugasnya. Yang lain, pada sibuk menunggu dengan kepulan asap rokoknya. Begitu juga dengan Julia. Satu-satunya wanita di kelompok tersebut juga mengepulkan asap rokoknya. Bahkan yang dia isap bukan rokok biasa. Tapi cerutu. Setelah beberapa saat, Dinar berhasil membuka banyak data tentang Unang. “Gua berhasil, Bang!” seru Dinar memecahkan lamunan kawannya. “Jelasin!” sahut Danang singkat. “Yang gua dapet, Unang itu mantan preman terminal. Dia rentenir, di Lampung. Semua yang ada di terminal ia kuasai. Semua orang takut sama dia. Ia pernah dipenjara selama dua tahun. Tapi kabar tentang itu tak menyebar ke muka publik karena polisi ia bekam dengan duit.” Semuanya mengangguk-angguk, khusyuk mendengarkan cerita Dinar. “Selain itu, gua dapet jejak di banyak tempat lokalisasi, termasuk lokalisasi yang ada di Bogor itu terdeteksi kehadiran dia setiap malam! Semalam, ia bisa menyewa banyak PL. Minimal lima!” “c***l!” potong Dadang. “Ada lagi?!” tanya Danang. “Gak ada, Bang!” “Kerja bagus! Data yang sempurna untuk kejahatan.”  Ucap Danang sambil tersenyum kegirangan. “Gua dapet ide yang bagus.” “Gimana, Bang?!” potong Greg. Kali ini Danang mengabaikan Greg yang memotong pembicaraannya. Ia pun melanjutkan pembicaraan. “Misi kita kali ini, kuncinya ada sama, Lu!” lanjut Danang sambil menunjuk Julia. “Gua, Bang?!” tanya Julia keheranan. “Iya! Tugas lu sangat penting di sini. Lu harus berpura-pura jadi PL. Sampe si Unang nyewa, Lu! Kemudian, barulah di sana kita lakukan misi selanjutnya! Faham, gak, Lu?!” “Faham, Bang!” “Tunggu, Bang! Jadi Julia harus pura-pura jadi PL gitu? Terus berduaan sama si Unang?!” tanya Dadang yang nampak tak terima dengan keputusan Danang. Danang mengedipkan matanya memberi kode kepada Dadang untuk diam. “Jangan banyak protes, Lu!” pungkas Danang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD