Bab 3. Dilema dan Merasa Bersalah

2746 Words
Bingung karena terjebak situasi, Khalid terpaksa bertahan di sana. “Pak Imran, saya pikir siapa.” Pria itu tersenyum. “Maaf, Ustadz. Tapi saya mencari Anda dari tadi. Ustadz mau sholat dulu ya? Kalau begitu nanti saja saya bicaranya.” Khalid segera turun dari sana hendak memakai sepatu kembali. “Tidak. Ya sudah, kita ke ruangan sekarang.” Mendengar suara samar-samar dari luar Musholla, Ayesha menyuruh anak-anak untuk tetap duduk di dalam, sementara dia keluar untuk melihat siapa yang hendak masuk. Ia membuka pintu dan matanya langsung tertuju pada Khalid. “Selamat pagi, Ustadzah. Suara kami terdengar sampai ke dalam ya?” tanya Imran dengan ramah. Ayesha melebarkan senyuman. “Iya, Pak. Saya pikir siapa kok tadi ada yang terkejut.” “Maaf ya, Ustadzah.” “Ya Allah, gak perlu minta maaf segala, Pak. Kalau begitu saya mau lanjut ngajar lagi ya, Pak.” “Iya, Ustadzah. Silahkan.” Sebelum menutup kembali pintu Musholla, ia menyempatkan diri bersikap ramah kepada pemilik Madrasah. “Mari, Ustadz.” “Ah ya, silahkan, Ustadzah.” Khalid membalas sikap ramah Ayesha. Ia bergegas memakai sepatu dan berlalu dari sana. Sementara Imran mengikutinya dengan wajah bingung. Sikap Khalid tidak seperti biasa, tapi dia tidak tahu apa perbedaannya. Hanya saja, dia sempat mengira kalau Khalid mungkin menyukai Ayesha yang juga belum menikah. Tidak, dia menghalau pikiran itu karena bukan urusannya. Di ruangan kerja, Khalid menatap dokumen pekerjaan dan surat pengunduran diri Ayesha. Entah kenapa, ia berat menyetujui permintaan surat tersebut. Namun, di sisi lain, dia merasa kalau Ayesha mungkin saja berpura-pura baik karena ingin menarik perhatiannya. “Kalau dia mengerti, dia tidak mungkin dengan mudahnya memberi bunga untuk pria dan mengajak Pak Ujang masuk ke tokonya,” batinnya. Ia tidak tuli dengan berita yang sudah tersebar luas bahwa guru-guru sangat menyayangkan niat Ayesha untuk mengundurkan diri dari Madrasah. Tidak sedikit mereka mengatakan kalau anak-anak akan kecewa mendengar berita ini. Semua orang menganggap Ayesha baik dan ramah, tetapi kenapa dia tidak memiliki penilaian yang sama. Dia yang bermasalah karena telah berprasangka buruk, atau mereka yang tidak tahu sifat Ayesha dibalik pakaiannya yang tertutup. Abu Khalid bin Hamzah Az-Zubair, nama yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya sebagai penerus bisnis keluarga serta Madrasah yang telah lama dikelola. Namun, seketika ia merasa kalau namanya sudah merusak citra Madrasah karena telah menuduh seorang wanita berniat menggoda dirinya. Khalid tidak sadar kalau dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya terhadap Ayesha. Namun, saat tahu bahwa wanita itu yatim piatu dan hanya bekerja di Madrasah miliknya saja, tiba-tiba Khalid merasa gamang. Ayesha juga lulusan S2 Mesir, tetapi dia memilih bekerja di Madrasah mereka dengan gaji 2 juta satu bulan. Untuk ukuran prestasi pendidikan dan pengalamannya selama di Mesir, Ayesha bisa saja bekerja di tingkat yang lebih tinggi dengan gaji sesuai untuk menghargai ilmunya. Tidak mau pusing memikirkan wanita itu, Khalid segera membuat surat yang menyatakan bahwa dia menyetujui surat pengunduran diri Ayesha. Dia sudah menyiapkan gaji penuh untuk bulan ini meskipun tanggal masih menunjukkan dua minggu pertama. Khalid menganggap gaji penuh tersebut sebagai ucapan terima kasih atas ilmu yang Ayesha berikan kepada murid-murid di Madrasah selama ini. Jam pelajaran telah usia. Setelah anak-anak didik dijemput oleh orang tua masing-masing, giliran para pendidik bersiap-siap meninggalkan Madrasah. Termasuk Ayesha yang telah selesai mengajar dan sedang berhadapan dengan Khalid untuk mengambil surat persetujuan. “Ini gaji kamu untuk bulan ini. Kamu bisa datang ke sini untuk 3 hari ke depan. Atau kamu boleh tidak masuk mulai besok,” jelasnya menyodorkan 2 amplop putih ke arah Ayesha. Dia tersenyum mengambil amplop putih berisi surat persetujuan dari Khalid, tapi dia tidak mengambil amplop berisi uang di sana. “Terima kasih atas persetujuan Anda, Ustadz. Semoga Madrasah ini semakin maju dan guru-guru sukses mendidik anak-anak menjadi saleh dan salehah seperti yang kita harapkan. Dan tolong sampaikan salam dan ucapan terima kasih saya karena Buya Hamzah sudi menerima saya agar mengajar di sini,” pamitnya tanpa membalas tatapan Khalid. Bahasa tubuh Ayesha sangat menyinggung perasaan Khalid. Dia merasa kalau wanita ini menaruh sakit hati terhadapnya. “Saya akan sampaikan salam dan ucapan terima kasih Anda sama Buya.” Ayesha mengangguk sambil beranjak dari kursi. “Kalau begitu saya permisi, Ustadz.” “Tapi ini gaji kamu?” imbuhnya sambil memberikan amplop putih itu kepada Ayesha. Ia hanya membalas dengan senyuman. “Tidak, terima kasih. Saya tidak berhak menerimanya karena belum bekerja penuh bulan ini, Ustadz. Lagi pula saya mengajar di sini tidak hanya mengharapkan gaji, tetapi juga untuk menerima pahala jariyah dari anak-anak yang menerima ilmu dari saya.” Khalid terdiam mendengar ucapan wanita yang memunggunginya. “Sebelum pergi, izinkan saya menyampaikan sesuatu. Mungkin Anda tidak membutuhkannya, tapi saya sudah memaafkan Anda. Saya yakin maaf dari saya bisa membantu segala urusan Anda di akhirat nanti.” Keringat mulai bermunculan di kening Khalid. Tiba-tiba saja tubuhnya merasakan hawa panas dan d**a kirinya semakin nyeri. “Ya ayyuhalladzina aamanu-jtanibuu katsiran minaazhanni inna ba'dha az-zhanni itsmun. Sudah jelas bahwa Allah melarang sesama Muslim untuk berburuk sangka. Lalu apa ganjaran bagi seseorang yang melakukannya terhadap seorang Mukmin? Saya sudah memaafkan Anda demi maaf Allah untuk saya. Saya permisi, assalamu’alaikum.” Ia berlalu dari sana tanpa menatap Khalid untuk terakhir kali. “Wa’alaikumussalam,” jawab Khalid dengan tubuh membeku. Ayesha telah hilang dari pandangan. Setelah mendengar lantunan suci Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12 dari Ayesha, seketika Khalid merasakan takut luar biasa. Dia bergegas keluar dari ruangannya dan berjalan menuju Musholla. Ia melihat Ayesha berjalan cepat menuju parkiran sepeda motor. Seperti biasa, dia tetap ramah dan santun menyapa orang-orang yang berpaspasan dengannya, termasuk memeluk anak-anak yang mendekatinya. Dada Khalid semakin sesak. “Ya Allah, izinkan aku mengakui apa yang kurasakan sekarang.” Dia menyadari bahwa sikapnya telah salah. Namun, di sisi lain Khalid merasa kalau Ayesha tidak sebaik yang orang-orang pikirkan. Tidak, Khalid mulai sadar kalau ada yang salah dengan dirinya. Sebelumnya, dia tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapa pun. Khalid merasa perlu bermuhasabah diri dalam kesunyian. Sebelum kembali dari Madrasah, ia menyempatkan diri menyapa guru-guru dan anak-anak di sana. Tidak mau membuat mereka kecewa dengan persetujuan surat pengunduran dirinya, Ayesha justru menyembunyikan ini dan akan memberitahu mereka beberapa hari lagi. Wanita itu sudah terlanjur nyaman di sini. Namun, sekarang keadaannya berubah. Ayesha tahu bahwa hidup ini seperti roda yang berputar tanpa henti. Ada saatnya berada di atas, tengah, dan bawah. Setiap manusia diwajibkan bertahan dalam posisi apapun dengan tetap mengingat takdir sang Maha Pencipta. Karena dia terbiasa hidup mandiri sejak kecil maka masalah seperti ini bukanlah hal sulit bagi Ayesha. Hanya saja, tuduhan itu tidak berhenti membayangi pikirannya. Meski sudah berusaha ikhlas, nyatanya Ayesha masih belum terima. Mungkin butuh proses untuk melupakan kalimat yang pernah dilontarkan Khalid, pikirnya. *** Sejak memberikan surat persetujuannya kepada Ayesha, ia menjadi tidak tenang. Jantung Khalid semakin sakit, seperti ada kesalahan besar yang sudah ia lakukan. Padahal, dia sudah meminta maaf dalam sujud agar diberi petunjuk secepatnya. Ia tidak berhenti beristighfar dan bersholawat untuk menenangkan denyut di d**a bagian kiri. Tapi rasanya sama saja, tetap ada yang mengganjal hingga ia sulit bernapas lega. Bahkan sampai ia berada di rumah pun, dadanya masih nyeri. “Nak, makan dulu sini. Umi udah masak bening jagung kesukaan kamu,” ajak Umi Asiyah. Khalid tersenyum sambil mengangguk. Ia melepas kopiah hitam yang dikenakannya selama berada di luar rumah, lalu meletakkannya di atas rak khusus. “Iya, Umi. Sebentar Khalid cuci muka dulu.” Hamzah duduk di sebelah istrinya, ia membuka suara, “Khalid baru pulang, Mi?” tanyanya kepada sang istri, Asiyah binti Umar. “Iya, Buya. Oh iya, Buya yakin gak mau datang lagi ke Madrasah?” “Sssttt … kita bahas di kamar aja. Nanti kedengaran sama Khalid.” “Oh iya-iya, Umi lupa.” Asiyah menutup mulut dan mengangguk kecil. Terdengar pintu kamar mandi terbuka, ia kembali bersuara, “Lelah hari ini, Nak?” Khalid tersenyum lalu mendekati sang Buya, mencium punggung tangannya. “Masih lelah dibatas wajar, Umi. Lebih lelah lagi kegiatan Khalid ketika di Kairo. Bisa duduk tenang sambil berdzikir saja sudah alhamdulillah.” Hamzah dan Asiyah mengulum senyum mendengar kalimat putra bungsu mereka. “Umi, Khalid bisa ambil sendiri. Seharusnya Khalid yang mengambil makanan untuk Ummi, bukan sebaliknya.” Pernyataan yang sering terlontar dari bibir Khalid. Namun, seorang ibu tetaplah menganggap anaknya masih kecil meski usianya disebut matang untuk menikah. “Umi, Khalid sudah dewasa. Dia tidak perlu lagi dibantu mengambil makanan sama Umi, tapi dia perlu dibantu sama istrinya sendiri,” singgung Hamzah secara halus. Khalid hanya tersenyum sambil memilih menu yang ia suka. “Katanya Ukhti mau datang hari ini, Mi?” tanyanya mengalihkan ucapan sang Buya. “Iya, mereka masih di jalan. Bentar lagi nyampe kayanya.” “Oh … pantas saja Aisyah minta jalan-jalan sama Khalid besok pagi. Ternyata dia mau nginap di sini.” “Kalian teleponan?” “Iya, Buya. Tadi malam Ukhti telepon Khalid karena Aisyah merengek.” Hamzah tersenyum. “Ya sudah, kamu ajak Aisyah jalan-jalan ke pondok sebelah. Siapa tahu ada yang cocok. Iya gak, Mi?” Asiyah mengangguk. “Umi iyain aja deh. Sekarang, makan dulu. Kalau nanti mereka sampai, Umi harus nyuapin makan cucu kesayangan Umi,” selanya. Mereka menikmati makan siang menjelang sore bersama. Tidak lama berselang menit setelah mereka selesai makan siang, terdengar suara mobil masuk ke dalam pekarangan rumah. “Alhamdulillah, cucu Jiddah udah datang.” Hamzah dan Asiyah segera menemui putri dan cucu mereka. Setiap akhir pekan, anak, menantu, dan cucu mereka pasti menginap di sini sampai tiga hari ke depan. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” “Cucu Jiddah … aduh, Jiddah rindu sekali.” Menjadi cucu pertama adalah suatu kebahagiaan sebab kasih sayang tumpah sepenuhnya. Termasuk Khalid yang merindui sang keponakan tersayang. “Sini sama Jiddo. Rindu tidak?” “Aisyah rindu sama Jiddah, sama Jiddo. Tapi, Aisyah mau menagih janji sama Halli!” Semua orang menatap Khalid yang sedang mengunyah buah sambil duduk di kursi. “Iya, Aisyah. Halli masih ingat dengan perjanjian kita.” Anak perempuan berusia 5 tahun bernama Aisyah binti Qais lantas mengerucutkan bibir. Dia digendong oleh Hamzah, sang Kakek sambil berjalan menuju meja makan, lalu berkata, “Aisyah sudah makan belum?” “Belum, Jiddo. Tapi Aisyah tidak lapar. Aisyah mau buah yang dimakan sama Halli.” Ia menatap sang Paman. Khalid mengulum senyum dan menyodorkan buah bekas gigitannya ke mulut Aisyah. “Bismillah,” ucapnya. “Kamu mau makan, Nak?” tanya Asiyah memperhatikan putrinya, Zainab binti Hamzah Az-Zubair tengah sibuk mencari sesuatu di dalam ransel. “Kamu cari apa, Ma?” tanya Qais bin Malik, suami Zainab. “Ponsel Uma di mana ya, Bi?” “Ada di tas Abi.” Zainab menarik napas dengan wajah datar. “Seharusnya Abi bilang sebelum mengambil, ‘kan Uma jadi khawatir.” Khalid menggendong Aisyah dan melayani keponakannya yang manja. “Uma dan Ukhti jadi gelar kajian di sini?” “Jadi, Buya. Ukhti baru mau minta nomor ponsel Ustadzah Ayesha, mau pesan bunga lagi.” Seketika Khalid terbatuk pelan sambil mengatur napas. “Ayesha?” “Pelan-pelan, Halli. Aisyah ‘kan tidak memaksa Halli untuk makan ini,” celoteh Aisyah direspon senyum oleh mereka. “Iya, Sayang. Halli tahu.” Khalid mencium wajah sang keponakan. Jantung Khalid tiba-tiba berdebar. Baru saja merasa lega karena pikirannya terbebas dari nama Ayesha, kini keluarganya justru menyinggung nama wanita itu lagi. Wanita yang ia kenal selama dua hari terakhir. Asiyah mengambil buku telepon di lemari khusus. “Ada di sini. Coba Ukhti cari sendiri.” Ia menyodorkan buku kecil ke arah putrinya. “Kamis depan, Uma?” tanya Qais kepada sang istri. “Iya, Bi.” Zainab mengangguk sambil mencari nama Ayesha yang ia maksud. “Dia selalu jawab panggilan telepon ‘kan, Mi?” Asiyah menatap sang suami. “Iya. Kayaknya dia gak pernah gak jawab. Karena supir selalu nelpon pas di jam pagi sih.” “Ini jam siang, kira-kira ganggu istirahat dia gak ya?” tanya Zainab sambil melirik sang Umi. “Coba aja kirim pesan dulu, Nak.” Asiyah memberi saran sambil tersenyum. Hamzah menahan senyum dan memilih diam ketika mereka masih berlanjut membahas Ayesha. “Minum teh jahe kayaknya segar.” Qais langsung menyahut, “Kata Umi dia ngajar?” “Iya, Bi. Ayesha ngajar. Dia ngajar ‘kan, Mi?” “Iya, Nak. Ayesha ngajar juga.” Qais kembali menyahut, “Kalau memang dia pengajar, kita bisa nyuruh dia untuk ngajar di Madrasah kita juga, Bi.” Ia melirik ayah mertuanya. Hamzah hanya mengangguk kecil saja sambil meneguk segelas teh hijau dicampur dengan jahe. Perhatian Hamzah tidak lepas terhadap gerak-gerik putranya. Khalid menarik napas panjang. “Aisyah duduk di sini dulu ya. Halli mau ke kamar sebentar, mau ganti pakaian.” “Kamu baru pulang?” tanya Qais. “Iya, Akhi.” Ia mengangguk pelan. “Besok kamu mau kemana, Qais? Bisa antar Umi dan Zainab ke sana?” “Besok Qais mau ngisi acara ceramah pagi di Masjid kampung sebelah, Mi. Sudah dijadwalkan dari minggu kemarin. Siangnya juga mau hadiri majlis taklim sama Buya sampai sore.” Hamzah langsung menyahut, “Khalid saja suruh antar, Mi.” Ia menahan senyum. Langkah kaki Khalid melambat sambil melirik mereka. Ia pun bertanya, “Halli, kamu bisa antar kami besok?” tanya Zainab memanggil sang adik dengan sebutan paman. “Insya Allah, bisa. Jam berapa, Ukh?” “Jam berapa, Mi??” “Jam-jam pagi aja lah, Nak. Biasanya Ayesha kalau pagi minggu bukanya cepat.” Khalid mengangguk. “Ya sudah, besok jam 8 pagi kita ke sana.” “Kamu tahu tokonya, Halli?” tanya Hamzah memperhatikan gerak-gerik sang putra. “Tahu, Buya. Kemarin Khalid dan Pak Ujang singgah ke sana buat ambil pesanan bunga Umi dan Ukhti.” Zainab tersenyum. “Alhamdulillah kalau kamu tahu.” “Nak, Umi juga tahu tokonya kok. Tidak jauh dari Madrasah kita. Rumahnya juga dekat dari tokonya,” imbuh Asiyah. Khalid tidak merespon ucapan mereka. “Aisyah, Halli ke atas dulu ya. Nanti Halli ke sini lagi.” “Iya, Halli!” sahut Aisyah antusias sambil mengunyah buah. Tiba-tiba, Zainab mengubah jadwal karena mengingat sesuatu. “Umi, sepertinya kita ke sana hari Rabu saja. Kalau besok, sepertinya terlalu cepat. Tidak mungkin kita menghubungi Ustadzah Ayesha dua kali ‘kan?” “Iya juga, Nak. Ya sudah, terserah kamu aja. Jadi kalian menginap di sini sampai kamis nanti, Nak?” Khalid bergeming mendengarkan pembicaraan mereka yang seolah sangat mengenal karakter Ayesha. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin menyendiri di kamar. “Qais ada beberapa kajian di sana, Umi. Tapi kalau memang mau, biar Qais saja yang pulang, Zainab dan Aisyah di sini saja. Jumat nanti Qais ke sini lagi.” “Ya sudah begitu saja, Bi. Aisyah pasti masih kangen di sini,” sahut Zainab. Asiyah melihat putranya. “Nak, kita ke sana hari Rabu saja. Rabu siang sekitar jam tiga gitu. Dia pasti udah pulang ngajar.” “Iya, Mi. Nanti setelah kembali dari Madrasah, Khalid antar Umi dan Ukhti ke sana.” Dia tersenyum lalu pergi meninggalkan area dapur. “Uma, Abi lapar.” “Oh iya, Bi. Abi mau makan pakek apa? Mau pakai sayur ini?” Zainab langsung melayani suaminya. Ia membiarkan Aisyah, putrinya diambil alih oleh kedua orang tuanya. Sementara Hamzah dan Asiyah saling melempar senyuman. Hanya mereka berdua yang mengerti isyarat mata satu sama lain. “Buya sama Umi kenapa sih senyum-senyum?” “Tidak ada, Nak. Lihat ini cucu Jiddah, wajahnya semakin mirip sama Jiddah waktu masih muda.” “Yang bener, Mi? Nanti perasaan Umi saja.” “Buya! Diiyakan saja kenapa sih! Ya ‘kan, cucu Jiddah?” “Iya! Aisyah mirip sama Jiddah kok!” Qais dan Zainab tertawa geli melihat wajah cemberut Umi mereka. Di kamarnya, Khalid baru saja selesai melaksanakan sholat dua rakaat. Ia tidak berhenti beristighfar memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar denyutan di d**a kirinya berhenti. “Ya Allah, aku salah karena sudah menuduh makhluk ciptaan-Mu yang seharusnya dilindungi. Maafkan aku dan terima taubatku. Aku akan menebus kesalahanku pada Ayesha. Aku akan meminta maaf padanya nanti.” Tiba-tiba, hati Khalid terbesit ingin mengunjungi toko bunga Ayesha. Namun, di sisi lain ia merasa tidak pantas mengunjungi seorang wanita yang bukan halal. “Maafkan aku sudah menuduhnya. Beri aku jalan agar maafku bisa diterima olehnya. Wahai Harapan dan Tujuan orang-orang yang memohon.” Seseorang dengan sengaja mengintip Khalid dari pintu kamar yang tidak terkunci. Dia menahan senyum di bibir kala melihat putranya berdoa seperti sangat memohon. Meski tidak tahu apa yang Khalid ucapkan, setidaknya dia tahu kalau pria matang itu mungkin tengah memohon sesuatu yang sangat penting. Semoga itu sesuai harapan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD