Flash Back pernikahan Rere dan Marcel. Sedikit kode, keharmonisan rumah tangga mereka yang tidak sempat terekspos di cerita Adara my wife, tapi akan disajikan disini.
Tidak terasa. Semenjak persetujuan rencana pernikahannya dengan Marcel waktu itu, hari ini Rere akan datang bersama kedua orang tua, dan kedua kakak laki-lakinya. Untuk melangsungkan pernikahan di mushola lapas. Karena Marcel tidak diperbolehkan untuk keluar sama sekali.
Seperti niat Rere waktu itu, ia tidak memberitahukan ini semua kepada Adara dan Adnan. Begitu pun dengan Marcel. Ia juga menutupi tentang pernikahannya dengan Rere, pada Melisa. Tentu saja agar tidak bocor kepada Ryan, dan pria itu akan merusak segalanya.
"Kamu sudah yakin, Nak?" Reda menatap pantulan wajahnya Rere dari kaca besar, yang ada dihadapan mereka berdua.
Hari ini, Rere terlihat semakin cantik, dengan balutan kebaya brukat modern yang membalut tubuh rampingnya. Dengan rambut yang disanggul sedikit tinggi, dan anak rambut yang dibiarkan mengikal di kedua sisi telinganya. Sapuan make up sederhana, dengan lipstik merah muda, semakin menegaskan kecantikan gadis tersebut.
"Aku sudah yakin, Umi. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan yang telah aku buat," tegasnya.
"Baiklah. Ayo kita berangkat. Kakakmu sudah menghubungi abimu. Dia mengatakan, Marcel sudah siap untuk mengucapkan ijab kabul untukmu." Reda merangkul bahu putrinya. Berjalan beriringan menuju taxi yang telah menanti mereka di halaman toko. Dengan Mardian, abi-nya Rere, yang sudah menunggu di dalam taxi tersebut.
"Masih ada waktu untuk mundur, Re," gumam Mardian. Saat Rere dan Reda masuk ke dalam taxi.
"Aku tidak akan mundur, Bi," ucap Rere meyakinkan.
"Sekali lagi Abi bertanya, apakah ini semua didasari oleh rasa cinta, atau hanya keputusasaan karena Ryan yang mengecewakanmu?"
Deg.
Mulut Rere terkatup rapat. Apakah benar yang dikatakan oleh abi-nya. Bahwa ini semua hanya bentuk keputusasaan karena cintanya kepada Ryan yang bertepuk sebelah tangan. Apakah ia harus mundur? Setelah berpuluh kali meyakinkan dirinya dan Marcel, bahwa pernikahan ini akan membawa kebahagiaan untuk mereka berdua.
Marcel masih tidak menyangka ia akan menikahi Rere hari ini Dengan stelan jas hitam, yang membalut tubuh kekarnya, pria itu sudah siap menunggu calon pengantinnya. Yang katanya, sedang di perjalanan.
Di dalam musholla yang tidak terlalu luas tersebut, sudah ada kedua kakak Rere. Yang datang untuk membantunya bersiap, sekaligus akan menjadi saksi pernikahan mereka berdua. Di sana, juga sudah hadir beberapa sipil lapas yang ikut meramaikan, sekaligus untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Dan juga, seorang penghulu yang akan menikahkannya dengan Rere.
"Ingat satu hal, Cel. Rere adalah adik perempuan kami satu-satunya. Jika kamu sudah tidak menginginkannya ataupun tidak lagi mampu membahagiakannya, jangan sakiti dia. Cukup katakan kepada kami berdua. Maka kami akan menjemput dan membawanya kembali pulang." Kakak tertua Rere membuka suara.
"Aku mengerti," sahut Marcel.
Tidak lama kemudian, Rere dan kedua orangtuanya datang. Langsung membuat Marcel terkesima melihat calon istrinya itu yang terlihat begitu cantik dalam balutan kebaya brukat berwarna khaki.
Namun, disaat Rere mulai memasuki mushola, bersamaan dengan Melisa yang ingin memastikan info yang ia dapat. Tujuannya datang untuk mengantarkan makan siang untuk Marcel, berujung pemebritahuan tentang pernikahan sang kakak, yang sebentar lagi akan dilangsungkan.
Demi Tuhan. Melisa sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. Hari ini gadis itu benar-benar terkejut dengan Rere yang sudah berpenampilan layaknya seperti seorang pengantin. Dengan keadaan yang masih sangat shock, Melisa segera menghubungi Ryan. Sebelum semua terlambat, dan pria itu benar-benar kehilangan Rere.
"Ada apa, Sa?" sapa Ryan di ujung panggilan. Begitu panggilan tersebut tersambung.
"Re-rere, hari ini menikah dengan kakakku,"
"Haha, kamu jangan mulai lagi, Sa. Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan ini lagi. Kalau memang benar mereka berdua menikah, pasti salah satu dari mereka memberi tahu Adnan dan Adara.. Tapi hingga detik ini, tidak ada kabar apapun dari mereka berdua," bantah Ryan.
"Untuk satu kali ini bisa nggak kamu itu percaya padaku. Tidak ada untungnya bagiku membohongi dirimu. Seharusnya kamu bersyukur, Yan … aku memberitahumu tentang pernikahan Rere." Melisa menarik nafasnya dalam-dalam. "Sekarang, semua terserah padamu. Mau percaya atau tidak." Mematikan panggilan tersebut.
Sesudah itu, Melisa mendekat. Lalu ia memutuskan untuk mengambil foto dari balik jendela mushola, yang menampilkan Marcel yang sedang duduk di hadapan penghulu dan ayahnya Rere. Tidak menunggu lama, Melisa segera mengirimkan foto tersebut kepada Ryan. Lewat aplikasi chatting berwarna hijau. Dalam hitungan detik, centang dua abu-abu, langsung berubah menjadi centang dua berwarna hijau.
[Aku mohon, Sa. Bantu aku untuk menghalangi pernikahan mereka berdua. Setidaknya sampai aku datang.]
Melisa mengusap wajahnya dengan kasar. Ia segera berpikir bagaimana caranya untuk mengulur waktu, agar Ryan bisa sampai sebelum akad nikah terlaksana.
Buntu. Walaupun Melisa sudah mencoba berpikir, tapi tetap saja tidak ada ide yang muncul. Sehingga ia memutuskan untuk masuk dan mencoba berbasa-basi, menanyakan kenapa Rere dan Marcel, kenapa mereka berdua memutuskan untuk menikah secepat ini.
Melisa segera masuk dan menyapa orang-orang yang ada di dalam musholla tersebut. Membuat Rere sangat terkejut atas kedatangan Melisa. Tapi tidak bagi Marcel, ia sudah tahu Melisa pasti akan datang. Karena itu memang rutinitas sang adik setiap jam makan siang.
Begitu Melisa berada di dalam, ia segera mengambil posisi di belakang Marcel. "Kakak kenapa tidak bilang-bilang kalau mau menikah Mana secepat ini lagi," bisik Melisa.
"Duduklah di dekat Rere! Setelah ini aku akan menjelaskannya secara rinci," balas Marcel. Sebelum ia kembali fokus pada petuah penghulu di hadapannya. Punggung pria itu kembali tegak dan menyambut uluran tangan ayahnya Rere. Untuk mengucapkan ijab kabul, pengikat Rere dalam tali pernikahan.
Ryan membawa sepeda motornya secepat yang ia bisa. Menyelip diantara kendaraan yang sedang melintas di jalanan. Mengabaikan umpatan pengendara lain, karena Ryan yang memotong secara asal. Bukan hanya itu, ia juga menerobos lampu merah. Hampir saja Ryan menabrak kendaraan lain, karena kepanikannya melihat foto yang dikirimkan oleh Melisa.
Usaha Ryan untuk datang secepat mungkin terwujud. Dalam waktu lima menit, motornya kini sudah terparkir dengan baik di parkiran lapas. Dengan nafas yang tersengal-sengal, Ryan mengisi laporan pada penjaga yang bertugas, sebelum ia masuk menyusul Melisa, untuk mencegah pernikahan Rere.
"Tolong beri aku kesempatan, Tuhan. Jangan jodohkan dia dengan pria lain. Kumohon," gumam Ryan. Secepat mungkin, ia berlari menelusuri lorong-lorong untuk menemukan mushola yang dimaksud oleh Melisa.
"Itu dia," ucap Ryan. Saat melihat sebuah mushola. Dari kejauhan, Ryan bisa melihat ada beberapa orang yang berada di sana.
Detik selanjutnya, kini Ryan sudah berada di ambang pintu mushola tersebut. Nafasnya yang tersengal, semakin tercekat saat melihat Marcel yang mencium kening Rere. Terlambat sudah. Gadis yang dulu mencintainya setengah mati, sudah resmi menjadi istri orang lain.
Sakit? Jangan ditanya lagi. Seharusnya Ryan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Melisa waktu itu. Bukannya malah menuduh gadis itu yang bukan-bukan.
"Mulai hari ini, Rere resmi menjadi istrimu, Cel. Dan Abi berharap, kamu bisa menjadi suami yang baik, dan Abi juga yakin, kamu bisa membahagiakannya dengan caramu sendiri," ucap abi-nya Rere. Setelah Rere Marcel membaca Sighat Ta'liq.
"Tentu, Abi. Mulai detik ini, kebahagiaan Rere adalah hal utama bagiku. Walaupun saat ini aku belum bisa benar-benar menjadi suami yang sempurna bagi Rere. Karena ada jeruji besi yang berdiri kokoh di antara kami berdua," gumam Marcel. Jauh di dalam dasar hatinya, ia ingin menolak pernikahan ini. Dan lebih memilih menikah saat ia bebas nanti. Tapi Rere tetap pada pendiriannya untuk menikah dalam waktu dekat. Entah apa tujuan gadis itu. Marcel pun tidak tahu.
"Rere …," ucap Ryan. Seraya mendekati kedua mempelai tersebut.
"Ryan," ucap Rere dan Melisa secara bersamaan.
Mengabaikan keberadaan kedua orang tua Rere, Ryan menarik paksa gadis itu keluar dari mushola.
"Yan, jangan kasar kepada istriku!" segah Marcel. Segera menyusul Rere keluar.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa kamu menolak lamaranku, dan memilih menikah dengan b******n seperti Marcel!" segah Ryan.
Plaak.
Rere mendaratkan satu tamparan di pipi kanan Ryan. Sebelum berkata, "Tutup mulutmu! Jangan pernah sekalipun kau berkata buruk tentang suamiku!" segah Rere. Dengan tatapan mata yang begitu tajam.
Marcel tertegun. Melihat Rere yang kini sedang membela dirinya. Padahal Ryan benar. Ia memang pria b******n, yang tidak layak menikah dengan gadis sebaik Rere.
Ryan termangu.. Ucapan Rere lebih sakit daripada pipi bekas tamparan gadis itu. Apalagi tatapan kebencian Rere kepadanya. Seakan mengiris hati dan jantungnya secara bersamaan. Belum lagi melihat Rere yang kini menjauh darinya dan mendekat kepada Marcel.
Kenapa, Re. Kamu begitu kejam membalas sakit yang kuberikan. Apakah dulu hatimu sesakit ini ,saat aku mengabaikanmu.
"Kamu tunggu disini sebentar. Aku ingin berbicara dengan Ryan sebentar saja," ucap Marcel.
Dijawab dengan gelengan oleh Rere.
"Hanya sebentar. Yakinlah. Semua akan baik-baik saja." Marcel mengusap lengan Rere, sebelum menemui Ryan yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Yan. Kamu benar. Aku seorang b******n. Dan jujur, aku juga sadar diri akan itu semua. Karena itulah, aku memberimu kesempatan untuk mengambil kembali Rere dari sisiku. Sebelum kami benar-benar saling mencintai," bisik Marcel. Seraya memeluk Ryan.
Mulut Ryan terkatup rapat. Mendengar kata-kata yang Marcel ucapkan. Pria itu juga terlihat begitu sangat tulus saat mengucapkannya.
"Aku kesana, ya." Marcel mengurai pelukannya, dan kembali ke pada Rere. Pria itu juga melirik Melisa yang berdiri di samping Rere. Memberikan kode lewat tatapan matanya, agar Melisa membawa Ryan pergi dari sana.
Melisa mengerti. Ia mengangguk dan segera menyusul Ryan. Untuk membawa pria itu pergi dari sana.
"Ayo kita pergi. Semua belum berakhir. Kakakku tidak akan mungkin merebutnya begitu saja darimu. Aku yakin, saat dia kembali luluh, kakakku pasti akan melepaskannya. Setelah ini kamu berusahalah. Sebelum cinta benar-benar hadir diantara mereka," gumam Melisa. Seraya menuntun Ryan untuk pergi menjauh.
Dengan berat hati, Ryan mengikuti langkah Melisa untuk menjauh. Dari jarak yang semakin menjauh, pria itu melihat Marcel yang merangkul pinggang Rere, dan membawanya kembali masuk ke musholla.
Aku akan merebutmu kembali, Re. Dengan atau tanpa persetujuan Marcel.
Ada sedikit adegan dewasa. Yang nggak suka bisa diskip aja ya ....
"Re …," seru Adara. Kepada Rere, yang sedang sarapan disuapi oleh Wulan. Dengan Rachel di atas pangkuannya.
"Ya, Kak." Rere menyahut setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya.
Adara mendekat. "Aku dan Adnan malam ini ada acara di sebuah hotel. Menghadiri acara pernikahan kolega bisnis Adnan. Dan mungkin malam ini kami tidak pulang. Kamu tidak apa, ya sama ibu dan bibik. Kamu tidak perlu khawatir, di depan ada security yang berjaga."
Rere mengangguk. "Nggak apa-apa, Kak. Lagi pula, aku sudah merasa sehat dengan sempurna. Ya, kan, Bu?" Rere beralih kepada Wulan.
"Benar. Tapi, belum pulih sepenuhnya. Karena kamu belum genap dua bulan melahirkan. Jadi, ibu belum izinkan untuk banyak bergerak!" timpa Wulan. Seraya menyerahkan air minum kepada Rere. " … dan ibu juga ingin pamit sebentar. Sebentar saja. Melihat Melisa. Kehamilannya yang akan masuk usia delapan bulan membuatnya mulai diselimuti oleh rasa takut."
"Ibu mau pergi juga?" Adara dan Rere menyahut secara bersamaan.
Wulan mengagguk. "Hanya sebentar, Dara, Re. Palingan cuma setengah jam-an lah."
"Kapan Ibu pergi?" susul Adara.
"Nanti malam."
"Terus Rere bagaimana, Bu?"
"Tidak apa-apa, Kak. Kan ada bibik. Lagipula ibu hanya sebentar. Dalam waktu setengah jam tentu tidak akan ada hal yang penting terjadi. Palingan hanya Rachel yang menangis ingin mengganti popok. Lagi pula aku sudah sehat seperti sedia kala. Kakak dan ibu saja yang memperlakukan aku seperti orang sakit keras." Rere beringsut turun dari atas ranjang dan meletakkan Rachel ke dalam box bayi.
Tentu saja Rere sudah merasa kuat dan sehat. Karena usia Rachel saat ini, nyaris dua bulan. Hanya kurang satu minggu saja. Dan itu artinya, satu minggu lagi Marcel akan resmi menjadi tahanan kota. Yang berarti pria itu akan segera pulang.
Adara merangkul bahu Rere, yang sedang memandangi Rachel. "Sebentar lagi kesabaranmu akan terbayar."
Rere mengagguk. "Kakak benar. Minggu depan semuanya selesai. Aku tidak sabar untuk menunggu waktu itu datang." Menyusut air matanya.
Siapa yang tidak bahagia. Satu tahun hidup berjauhan dari sang suami. Dan satu minggu lagi semua itu akan berakhir. Selesai. Rere akan merasakan bagaimana rasanya berada didekat Marcel. Ah, mungkin saja ia begitu merindukan pelukan dan aroma maskulin dari tubuh suaminya.
"Kamu hati-hati di rumah. kalau ada apa-apa, segera hubungi kami." Adara mengusap lengan Rere. Malam ini ia dan Adnan katanya akan menghadiri pesta pernikahan
Dan kemungkinan besar, akan pulang besok pagi.
Rere mengagguk. "Kakak juga hati-hati."
"Tentu saja." Adara mengulas senyum. Sebelum ia keluar dari kamar Rere dan menutup pintu kamar tersebut dengan pelan.
Merasa tidak ada yang perlu ia lakukan, Rere memilih untuk tidur bersama Rachel di dalam pelukannya. Karena lima belas menit yang lalu, Wulan mengabari beliau akan datang terlambat. Karena Melisa masih belum mau ditinggal. Tentu saja Rere tidak ingin meminta ibu mertuanya itu untuk cepet-cepet kembali. Karena beliau sudah menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya dibandingkan bersama Melisa.
Baru saja ingin tidur, tiba-tiba saja kamar yang ia tempati gelap gulita. Rere sedikit terkejut dan segera meraih Rachel ke dalam pelukannya. Dengan sedikit meraba, ia mencari dimana keberadaan ponselnya. Cukup aneh. Ponsel yang biasanya berada di atas nakas tiba-tiba saja menghilang. Tentu saja ia tidak bisa menerangi kamar tersebut.
Mencoba tetap tenang, Rere memilih untuk menunggu sejenak. Berharap lampu yang sedang mati, bisa segera menyala.
"Bik, apakah lampunya mati secara keseluruhan, atau hanya rumah ini saja?" tanya Rere. Kepada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya.
Namun, orang yang masuk ke dalam kamar tersebut tidak menyahut sama sekali.
"Tu-tunggu! Siapa kamu?" Rere tersentak. Walaupun dalam keadaan gelap, ia bisa memastikan yang datang bukan asisten rumah tangga Adara. Melainkan orang lain. Karena postur tubuh orang tersebut lebih tinggi dari wanita paruh baya yang bekerja disana.
Rere yang telah ketakutan setengah mati, mendekap Rachel dengan erat. Tubuhnya gemetar saat kasur yang ada disisinya sedikit turun dan dua buah tangan menangkup kedua pipinya.
"Aku merindukanmu," ucap Marcel. Sebelum memagut kedua belah bibir Rere yang bergetar karena ketakutan.
Kedua mata Rere membesar. Ia tidak perlu lagi bertanya, siapa pria yang kini menyesap kedua belah bibir dan menerobos masuk ke dalam rongga mulut untuk menyapa lidahnya yang hangat dan basah. Marcel, dia datang.
"Ka-kamu …," serak Rere. Dengan nafas yang putus-putus akibat cluman panasnya dengan sang suami.
Marcel tergelak. "Iya, ini aku. Maafkan aku mengejutkan kamu." Duduk di sisi Rere, dan menyalakan ponsel sang istri, yang tadi diserahkan oleh Adara padanya.
Rere mengernyit. Belum hilang keterkejutannya karena kedatangan Marcel, kini ia melihat ponselnya ada di tangan sang suami.
"Sudah selesai," ucap Marcel. Kepada seseorang yang ada di ujung panggilan. Dalam hitungan detik lampu menyala.
"Jangan katakan ini ada hubungannya denganmu, serta kepergian kak Adara dan ibu?" Kedua alis Rere terangkat.
"Tentu saja!" Marcel meraih Rachel dari pangkuan Rere. Mendekap gadis kecil itu sekilas dan menc!um pipinya yang chubby. Barulah ia meletakkan gadis kecil itu ke dalam box.
Sesudah itu, Marcel melepaskan sweater hitam yang ia kenakan. Lalu menggantungkan sweater tersebut ke belakang pintu kamar yang tertutup. Seluruh pergerakan pria itu tidak luput dari penglihatan Rere.
"Sebenarnya aku sudah pulang dari tadi sore." Marcel kembali naik ke atas ranjang. Ia membawa sang istri ke dalam pelukannya.
"Akan tetapi, ibu memintaku untuk sabar terlebih dahulu. Sebelum menemui kalian berdua. Sehingga muncullah ide Adara. Malam ini mereka menginap di hotel. Dan ibu menginap di tempat Melisa. Untuk bibik, Adnan memberikan izin kepada beliau untuk pulang melepaskan rindu kepada anak-anaknya. Sekarang, yang tertinggal hanya ada aku, kamu, Rachel, dan security yang berjaga di depan."
Rere segera memeluk Marcel dengan erat. Ia tidak menyangka perkataan Adara tadi sore, adalah sebuah pemberitahuan.
'Sebentar lagi kesabaranmu akan terbayar.'
Benar. Dalam hitungan jam kesabaran Rere dalam satu tahun ini telah terbayar dengan lunas. Marcel telah pulang dan kini memeluknya erat.
"Aku sangat merindukanmu," lirih Rere. Menatap kepada Marcel. Tanpa mampu ia tahan, air mata itu mengalir dengan derasnya. Tepatnya air mata kebahagiaan.
Tidak menjawab. Marcel menahan tengkuk Rere dengan lengannya. Men9ulum kedua bibir merah muda, yang telah lama ia rindukan. Sudah lama sekali. Hingga Marcel hampir lupa bagaimana rasanya bibir merah muda tersebut.
Semakin lama, c!uman tersebut semakin menuntut dan dalam. Tanpa disadari oleh Rere, Marcel telah men!ndih tubuhnya dan memperdalam tautan pada bibir mereka berdua.
"Mmhh …," Rere melenguh. Saat Marcel memasukkan tangannya ke dalam piyama yang dikenakannya. Menyapa salah satu gundukan kenyal, yang tidak kalah ia rindukan.
"Cel …," lirih Rere. Saat tautan bibirnya dan Marcel terlepas. Nafasnya dan sang suami sama-sama memburu. Kedua pasang mata yang telah diselimuti oleh kabut gairah tersebut saling menatap.
"Sudah selesai nifasnya?" bisik Marcel.
Rere mengagguk pelan. "Sudah. Dari lima hari yang lalu." Kedua pipinya bersemu merah.
Marcel mengulas senyum nakal dan menggoda. Tanpa aba-aba, Marcel menarik ujung piyama Rere. Hingga tubuh mulus istrinya itu, hanya ditutupi pakaian dalam saja.
Rere yang tidak ingin kalah, melakukan hal yang sama pada kaos mocca yang dikenakan oleh sang suami. Sehingga terlepas dan memperlihatkan dad@ bidang yang telah lama tidak ia sandari. Barulah Rere berbalih pada kancing celana jeans yang dikenakan oleh Marcel.
Sedikit kesulitan untuk menjangkau, Rere memilih duduk. Perubahan posisi sang istri dimanfaatkan oleh Marcel. Ia juga melepaskan pengait yang ada di punggung Rere. Bersamaan dengan terlepasnya kancing celana yang ia kenakan.
Kesabaran Marcel habis. Ia beringsut turun dari atas ranjang. Membuka sisa pakaian sang istri dan membuka celana jeans yang ia kenakan. Tanpa membuka penutup berbentuk segitiga pada pangkal pahanya. Untuk menguji kesabaran sang istri. Dasar usil.
Wajah Rere semakin memerah. Ini adalah malam ke-tiga melihat Marcel nyaris polos seperti sekarang.
"Aahh, Cel!" Rere tersentak. Tiba-tiba saja sang suami menyesap salah satu ujung dadanya dan merema$ satu dad@ yang menganggur. Semakin membuat Rere bergerak gelisah. Nalurinya menuntun untuk mengangkat pinggulnya agar bisa menggesekkan miliknya pada milik Marcel yang telah mengeras.
"Sabar dulu," goda Marcel.
"Kamu …," Rere menggigit bibir bawahnya. Saat rasa aneh yang sedang menggelitik sekujur tubuhnya. Meminta hal lebih pada sang suami. Akan tetapi Rere harus bersabar karena Marcel belum ingin memasukinya.
"Cepat lakukan sebelum Rachel terbangun." Rere bergumam di sela desahannya.
Marcel menyeringai. Benar-benar kata yang ampuh untuk memintanya memberikan permainan utama. Dan tentu saja dengan senang hati Marcel akan memenuhi keinginan Rere. Keinginan yang sama-sama mereka inginkan.
"Cel …," Rere merema$ kuat kedua lengan Marcel. Saat suaminya itu memenuhi keinginannya untuk menikmati malam indah mereka berdua. Rere semakin tidak bisa menahan desahannya karena milik Marcel melesak masuk tanpa aba-aba. Nyeri, tapi nikmat dan sesak. Sungguh rasa yang sulit untuk ungkapkan. Apalagi saat Marcel mulai menjelajahi ceruk leher hingga kedua gundukan kenyal miliknya. Dengan sapuan basah dan hangat dari kedua belah bibir yang tidak pernah berhenti bergerak.
Beberapa menit kemudian. Marcel menghentak dalam-dalam miliknya, untuk mencapai pelepasan. Beriringan dengan suara Rachel, yang sedang bersiap untuk menangis. Menyadari ada tangisan yang akan meledak, Marcel segera beringsut turun dari atas ranjang.
"Kamu mandi dulu, ya, Sayang. Aku akan mencoba mengalihkan perhatian Rachel!" ucapnya. Seraya meraih jubah mandi dan memakainya. Barulah Marcel mengeluarkan Rachel dari box dan menggendong bayi mungil tersebut.
Sedangkan Rere segera masuk ke dalam kamar mandi.
Marcel menggeliat saat mendengar Rachel menangis. Ia segera beringsut turun untuk menggendong putri kecilnya itu dan memindahkannya ke atas ranjang. Dengan cekatan ia mengganti popok Rachel, meskipun belum terisi penuh.
Saat buah hatinya kembali rapi, Marcel membawa bayi mungil tersebut keluar dari kamar. Untuk mencari keberadaan Rere. Karena Rachel tetap saja menangis, walaupun popoknya telah diganti dengan yang baru.
"Anak Umi sudah bangun?" sapa Rere. Ibu satu anak itu sedang menata sarapan di atas meja makan.
"Sepertinya Rachel lapar, Mi," sahut Marcel. Seraya menyerahkan bayi mungil mereka kepada Rere.
"Abi sudah periksa pokoknya?" mengambil alih Rachel dari gendongan Marcel.
Marcel mengagguk. "Sudah. Sudah diganti pula. Tapi, tetap menangis juga. Mungkin dia lapar." Mencium pucuk kepala bayi mungil tersebut.
"Anak Umi lapar, ya?" Rere berucap dengan menirukan suara anak kecil. Segera ia duduk pada salah satu kursi dan memberikan ASI kepada bayi mungilnya. "Abi mandi dulu, ya. Setelah itu kita sarapan."
Marcel mengagguk dan meninggalkan Rere dan Rachel. Benar-benar suasana yang sudah lama Rere idamkan. Sempurna sudah kebahagiaan dan rumah tangganya. Setelah sarapan, Rere akan mengemasi barang-barang mereka dan pulang ke toko. Tempat dimana mereka akan tinggal dan membesarkan Rachel.
*****
Adnan mengulas senyum. Melihat Adara yang sedang menatap gedung-gedung tinggi yang tersusun dengan rapi, di balkon kamar hotel mereka.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Adnan memeluk istrinya itu dari belakang.
"Aku tidak memikirkan apa-apa, Nan. Namun, aku sedang membayangkan ada masa depan yang begitu indah untuk kita semua. Setelah melewati badai yang begitu besar. Dan aku juga bersyukur, usaha kita mengubah Marcel menjadi tahanan kota selesai. Aku sangat lega. Karena Rere sudah ada yang menjaganya."
Adnan setuju untuk hal itu. Semua kepahitan telah berlalu dan semua telah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing.
"Kamu tahu, Sayang. Aku tidak pernah menyangka kita berada di titik ini. Tepatnya diriku. Aku yang hanya seorang office boy dan anak tukang bengkel biasa, bisa memiliki istri sesempurna dirimu. Jangankan berharap, bermimpi pun aku tidak pernah."
Adara membalikkan tubuhnya dan membalas pelukan sang suami. Kepalanya mendongak. "Jangan pernah mengatakan bahwa dirimu hanya office boy biasa, Nan. Sekarang kamu adalah seorang direktur utama yang telah menjalankan perusahaan dengan sangat baik. Bahkan perusahan ayah jauh lebih maju dari yang sebelumnya. Dan aku bisa memastikan, aku tidak akan berada di posisi ini, jika bukan kamu suamiku. Kita digariskan untuk hidup bersama. Saling melengkapi kekurangan kita, dengan kelebihan yang kita miliki."
Adnan menempelkan dahinya di dahi Adara. "Terimakasih telah hadir dalam hidupku."
Adara sedikit mengagguk. Lalu memiringkan kepalanya. Dengan sedikit berjinjit, ia menyesap kedua belah bibir Adnan.
Hal yang paling disukai oleh Adnan dari istrinya adalah, Adara tidak pernah malu untuk mengekspresikan rasa cintanya. Bahkan, istrinya itu yang sering memulai terlebih dahulu untuk menggoda. Saat Adnan bertanya, Adara akan menjawab " Ini adalah salah satu usahaku untuk memiliki banyak anak. Karena aku tidak ingin Alvin seperti kita. Tidak memiliki saudara, sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah." Alasan yang sangat masuk akal.
Namun, malam ini Adnan dan Adara harus sedikit bersabar. Saat cluman mereka di balkon kamar hotel yang mereka tempati, berujung cumbu@n di atas ranjang. Namun, penyatuan yang hampir terjadi batal. Karena Alvin tidak bisa menilai kondisi kedua orang tuanya yang telah sama-sama polos dan diselimuti oleh hasrat yang begitu menggebu.
"Kita lanjutkan nanti." Adnan terkekeh. Ia segera beringsut turun dari atas tubuh Adara. Dan memberikan kesempatan kepada Alvin untuk meminum ASI.
"Sepertinya besok-besok kita harus mencari kamar hotel yang menyediakan box untuk bayi. Agar Alvin tidak terganggu oleh guncangan dari kita berdua," ucap Adara. Saat Adnan menutupi tubuh polos mereka berdua.
"Kamu benar. Sayangnya itu baru terpikir saat kondisi kita berada diujung tanduk." Menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal sang istri. Sesudah itu, dari pundak sang istri, ia melihat Alvin yang sedang lahap menghisap Asi milik ibunya.
"Kalian berdua adalah anugerah terindah bagi hidupku."
Nantikan extra part dan rumah tangga Jesi dan Okta, yang penuh dengan warna warni. Dan tentu saja ada sedikit alur yang mundur. Aku juga mau minta maaf karena kemarin nggak Update, karena kondisiku kurang fit. Terimakasih juga untuk doanya. Sayang kalian