Pertemuan

2497 Words
Setelah menempuh kurang lebih 5 jam dari bandara Juanda Surabaya. Akhirnya Vero dan Reza sampai di tempat tujuan. Mereka langsung mencari hotel di tengah kota, dekat pusat perbelanjaan dan alun-alun kota. Setelah mendapatkan kunci kamar, Vero dan Reza pun langsung masuk kamar mereka untuk beristirahat. Mereka memang sengaja memesan 1 kamar dengan dua tempat tidur. “Huuufftt… sumpah kalau tahu bakal sejauh ini, mending gue nyari tempat persembunyian lain.” Umpat Vero menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Emang selain gue, siapa yang mau nampung jomblo akut kaya loe.?” Jawab Reza. “Gak usah bawa-bawa jomblo, kaya loe laku aja.” Sungut Vero tak terima. “Eh.. setidaknya gue pernah pacaran. Gak kaya loe.” Sahut Reza. “B***t loe.” Ketus Vero dan berlalu ke kamar mandi meninggalkan Reza yang masih setia dengan laptopnya. 15 menit kemudian, Vero keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya. Menampilkan tubuh sexynya. matanya memicing saat melihat Reza yang belum pindah dari tempat duduknya. Mendekat dan melempar handuk yang dia pakai mengeringkan rambut. Buukk.. Handuk itupun sukses mendarat di wajah manis Reza. Membuat dia mendengus kesal. “Apaan sih loe.” Sungut Reza melempar kembali handuk itu ke Vero. “Mandi sono. Males gue sekamar sama orang jorok kaya loe.” Ketus Vero. “Yaudah loe pindah sana, nyari kamar lain. Gue sibuk.” Jawab Reza, membuat Vero melotot tajam. “Loe lupa ? gue yang bayarin akomodasi selama disini.” Ketus Vero tak terima di usir. Reza yang ingat pun hanya bisa nyengir kuda., dan segera mngemasi barang-barangnya lalu ngacir ke kamar mandi. *** Keesokan harinya, Reza sudah siap dengan kameranya. Hari ini dia ingin ke alun-alun depan hotel yang dia tempati. Karena dari info yang dia dapat dari google, di alun-alun tersebut banyak ornamen tentang seni budaya dan tradisi daerah tersebut. “Mau kemana loe pagi-pagi gini ?” tanya Vero yang tengah menikmati kopi panasnya di depan teve. “Gue mau ke alun-alun depan situ. Ikut nggak ?” tanya Reza sambil memakai sepatunya. “Males gue. Mau ngapain ? mungutin sampah ?” jawab Vero sambil nyeruput kopinya. “Ckk.. yaudah. Gue duluan.” Ucap Reza dan berlalu meninggalkan Vero yang asik dengan tabletnya. Setengah jam kemudian, Vero selesai mengecek email di tabletnya, menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya. Kembali pikirannya menuju ke mamanya yang terus meminta dia untuk menikah. Bukannya dia nggak mau menikah, bukan juga karena dia g*y. tapi memang untuk saat ini belum ada yang sesuai dengan keinginannya. Masalah Jessy, dia memang cantik, pinter, kaya, model papan atas. Namun sama sekali tak mampu menggetarkan hatinya yang begitu kaku. Dari dulu Vero juga tau kalau Jessy menyukainya sejak mereka duduk di bangku SMA. “Huufftt…” menghela nafas panjang dan melihat jam yang melingkar di tangannya. Bingung mau ngapain, hingga beberapa menit kemudian dia teringat dengan Reza yang pamit untuk jalan-jalan ke alun-alun depan hotel yang dia tempati. Karena bosen tak ada teman ngobrol, akhirnya dia memutuskan untuk menyusul Reza ke alun-alun. Mengambil ponsel di atas meja dan keluar dari kamar menuju alun-alun. Sesampainya di alun-alun matanya memicing mencari keberadaan Reza. Namun, tak bisa menemukannya. Mengambil ponsel disaku dan mendial nomor Reza. Detik kemudian terdengar sahutan dari sebrang sana. “Hallo.. kenapa, Ver.?” Tanya Reza. “Loe dimana ?” “Di alun-alun.” “Sebelah mana? Gue di samping panggung utama nih.” “Gue di taman deket gedung pemerintah kota. Loe lurus aja ke arah utara trus nyabrang.” Jawab Reza. Setelah mengetahui posisi Reza, Vero pun langsung menuju tempat yang ditunjukkan oleh Reza. Dan sepanjang perjalanan semua mata menatapkannya kagum. Namun, sama sekali tak di gubris oleh Vero. “Bagus juga nih tempat.” Ucap Vero saat sampai di dekat patung taman itu. “Woy, Sini.” Panggil reza yang sedang duduk di pinggir taman. Vero pun mendekat dan duduk di samping Reza yang tengah melihat hasil jepretannya. “Nggak salah gue ambil lokasi disini. Keren-keren sumpah.” Ucap Reza puas. “Eh, entar sore ada pertunjukan Reog di desa X. loe mau ikut nggak ? katanya sih, banyak cewek cantik. Siapa tahu jodoh loe disini. Trus pulang-pulang bawa menantu buat mama loe.” sambung Reza. “Entahlah.” Jawab Vero. “Ellaaahh… jangan mikirin pekerjaan mulu. Mumpung disini loe puas-puasin refresing. Nyari inspirasi. Jarang-jarang kan loe bisa have fun tanpa mikir berkas-berkas loe yang pernah habis itu.” Ucap Reza yang tahu giman temannya ini gila kerja. “Hmm.. iya, iya.” Pasrah Vero. “Eh, nyari makan yuk. Gue mau pecel lele daerah sini. Katanya sih enak banget sekota sini.” Ucap Reza semangat. Akhirnya mereka nyari makan tak jauh dari taman kota itum ya di warung lesahan dekat patung singa. Menikmati makan siangnya dengan tenang tanpa peduli dari awal masuk mereka jadi pusat perhatian pengunjung lain. Setelah membayar tagihan makannya, mereka memutuskan untuk kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak dan bersiap ke desa X yang jaraknya 15 menit dari pusat kota. Pukul 14.00, Reza dan Vero tiba di desa yang mengadakan pertunjukan itu. Pertunjukan yang diselenggarakan dalam acara bersih desa. Saat turun dari mobil yang dia sewa, Vero sedikit risih dengan jalan yang dia lewati. Baru pertama kalinya bagi dia terjun ke area sawah seperti ini. Jalannya yang hanya bisa di lewati sepeda motor membuat mereka berdua harus jalan kaki menuju tempat pertunjukkan. “Loe yakin disini tempatnya ?” tanya Vero memastikan. “Iya, bener kok.” Jawab Reza. “Loe tanya dulu deh, dari pada salah.” Ucap Vero yang benar-benar gak yakin mau turun dari mobil. “Ribet banget sih anak sultaan..” sungut Reza gregetan dengan sikap Vero. Memilih keluar mobil duluan dan mendekati warga yang kebetulan lewat. Menit kemudian Reza kembali mendekat ke Vero dan berbicara lewat jendela mobil. “Bener kok, kita tinggal lurus aja lewat jalan ini. Sekitar 50 meter nanti ada suara gamelan nah disitu tempatnya. Di depan rumah pak lurah.” Jelas Reza setelah mendapat informasi dari warga tadi. Dengan terpaksa Vero pun turun dari mobil dan menaikkan celananya. Sebenarnya Risih banget tapi mau giman lagi. Ini jalan satu-satunya menuju tempat itu. “Sumpah.. kalau nggak demi loe. Gue ogah kaya gini.” Ketus Vero di balas cengiran Reza. “Udaah.. nikmati saja.” Jawab Reza dan berjalan mendahului Vero. Dengan perlahan mereka melewati jalan setapak tersebut. Jalan yang hanya selebar satu meter. Dengan parit di kedua sisinya untuk aliran irigasi sawah di sekelilingnya. “Awaass…. Minggiiirr….” Teriak dari belakang mengagetkan keduanya, terlihat seorang cewek dengan sepedanya melaju cepat melewati Reza dan Vero yang berjalan pelan menghindari gubangan air bekas hujan semalam. Byuuurrr… Genangan air yang berada tepan di samping Vero sukses membasahi baju dan celananya. Membuat Vero melotot tajam dan mengepalkan tangannya. “Woy, berhenti loe .!” teriak Vero. “Maaf, mas. Aku buru-buruuu..” jawab gadis itu tanpa menoleh ke arah Vero yang memerah menahan amarah. “Sial…!” umpat Vero menatap Baju dan celananya yang basah. “Sabar, Ver. Kayaknya dia memang terburu-buru.” Ucap Reza. “Iya mas, maafin Aya ya, dia memang terburu-buru karena pertunjukkan segera di mulai.” Ucap ibu-ibu di belakang Reza. Membuat kening mereka berkerut. “Aya itu salah satu penari yang ikut pertunjukkan reog hari ini mas.” Sambung ibu-ibu yang lain. ‘OH.. jadi namanya Aya. Awas kalau ketemu.’ Batin Vero. “Oh, iya bu. Nggak papa kok. Kita maklumin kalau begitu.” Jawab Reza tersenyum manis. “Yasudah kalau begitu kami duluan ya mas. Oh iya. Masnya kalau mau bersihin celananya di sana aja. Airnya bersih kok. Langsung dari sumber.” Ucap ibu-ibu tadi sambil menunjuk pondokan kecil di tengah sawah yang memang mengeluarkan air yang jernih. “Iya bu. terima kasih.” Ucap Vero dengan senyum terpaksa. Setelah dengan susah payah membersihkan baju dan celananya, Akhirnya Vero dan Reza sampai di tempat pertunjukan itu. Tempat yang sudah ramai oleh penonton., padet banget menandakan mereka sangat mencintai kesenian daerah mereka. Reza yang memang tak bisa melewatkan momen langsung mengambil kamera dan mengabadikan setiap sudut tempat tersebut. Dari penonton, alat-alat musik seperti gamelan dan sebagainya, para pemain yang masih bersiap dan tak lupa, maskot utamanya yaitu Singo barong (terdiri dari kepala harimau dan bulu merak yang ditata rapi di atasnya). Tak lupa ornamen yang lain yang wajib ada di setiap pertunjukkan. Menit berlalu, pertunjukan itupun di mulai. Hingga disaat penari wanita maju dan menari dengan luesnya. Memakai pakaian khusus dan make up seadanya menjadi daya tarik tersendiri. Reza terus mengabadikannya. Satu jam kemudian pertunjukaan tersebut usai, dan sebagian penonton mulai membubarkan diri. Reza dengan membawa kameranya berjalan mendekati penari wanita yang tengah ber istirahat di teras sang pemilik halaman. “Permisi mbak. Boleh minta fotonya.” Tanya Reza sopan. “Oh, boleh mas.” “Hmm… yang lainnya mana ya mbak. Bukannya tadi ada lima orang.?” Tanya Reza setelah mengambil beberapa gambar dari ketiga penari tersebut. “Oh.. itu mereka mas. Aya !! Sari !! .” ucap salah satunya sambil menunjuk kedua penari yang baru keluar dari dalam rumah. “Nyapo ?” (Kenapa?) tanya salah satu penari yang baru datang. “Iki lho. Mase njalok poto gae dokumentasi.” (ini loh, mas ini minta foto untuk dokumentasi) jawab rekannya. “Oh,” “Boleh minta fotonya mbak ?” tanya Reza. “Boleh mas.” Jawab Aya. Setelah beberapa kali mengambil gambar dari penari tersebut. Reza pun pamit undur diri dan mencari keberadaan Vero yang dari tafi tak nampak batang hidungnya. Matanya menyipit saat melihat Vero tengah berbincang dengan salah satu warga yang dari pakaiannya seperti orang penting di desa tersebut. Penasaran dia pun mendekat. “Iya mas. Semua yang disini selalu bersemangat saat ada pertunjukan reog. Banyak yang memang suka kesenian, ataupun hanya ingin berfoto bareng idolanya.” Ucap bapak itu. “Idola ?” tanya Vero. “Iya mas. Setiap posisi mempunyai idola masing-masing sesuai kemampuan mereka memainkan pertunjukan itu. Seperti bagian Singo barong yang paling di idolakan itu Dika Ngger. Kalau bagian jathil /penari wanita yang paling di idolakan itu Ayudia Maharani/AYA.” Jelasnya “Aya ?” tanya Vero mengingatkan gadis yang sudah membuatnya naik darah. “Iya.. itu dia anaknya.” Jawab bapak tersebut sambil menunjuk salah satu penari yang tengah bercanda dengan teman-temanya. ‘manis juga.’ Batin Vero menatap Aya. Dan tanpa dia sadari dia menaikkan sudut bibirnya, yang entah sudah berapa tahun dia sembunyikan. Kejadian itu pun langsung di abadikan oleh Reza yang kebetulan tengah memfokuskan kameranya ke arah Vero. Cekrek. Cekrek.. Cekrek.. Suara bidik kamera menyadarkan Vero dalam lamunannya. Menoleh menatap Reza yang melihat hasil jepretannya dengan senyum-senyum sendiri. Namun, Vero tak sadar jika yang menjadi fokus lensa Reza tadi adalah dirinya. Vero pun melanjutkan obrolannya dengan Pak Lurah itu. Yang mulai tertarik dengan kesenian daerah tersebut. Hingga tanpa dia sadari waktu menunjukkan pukul 16.30. “Monggo pak lurah.!” ( mari pak lurah ). Sapa gadis bernama Aya yang sedikit membungkukkan tubuhnya dengan menuntut sepedanya. “Iyo nduk, arep muleh ?” ( iya, nak. Mau pulang? ). Jawab Pak Lurah. “Enjih pak, sampun sonten.” (iya pak, sudah sore ) jawab Aya sopan. “Ooh.. yo wes ati-ati.” ( ooh.. yasudah hati-hati ) . ucap pak Lurah ramah. “Enjih.. monggo.” (iya.. mari.” Pamit Aya tersenyum manis dan berlalu meninggalkan tempat tersebut. Vero yang memang tidak faham dengan bahasanya pun hanya bisa diam mendengar obrolan mereka. Dan dari obrolan tersebut dia dapat menyimpulkan kalau gadis yang tadi membuat dia emosi karena mengotori baju dan celananya adalah gadis yang baik, sopan dan ramah. Karena memang sudah sore, Vero dan Reza pamit untuk kembali ke hotel. Sebelum menuju hotel mereka memutuskan mencari makan dahulu. Supaya nanti tidak perlu keluar lagi. Saat di perjalanan menyusuri kota, indra penciuman Reza menangkap bau sedap dari rumah makan di pinggir jalan. Karena penasaran mereka pun turun dan makan di rumah makan tersebut. “Makan disini aja yuk, bau nya enak banget.” Ucap Reza. “Loe yakin mau makan disini.?” Tanya Vero memastikan karena dia tidak pernah makam di tempat sesederhana ini, apalagi tempatnya di pinggir jalan. Ya, tau sendirilah. Namanya juga sultan, terbiasa makan di tempat bersih dan mewah jadi kalau di ajak ke tempat sederhana seperti ini ya agak ragu. “Gak papa kali. Sekali-kali loe harus bisa merasakan menjadi kalangan menengah ke bawah.” Ucap Reza dan melepas sabuk pengamannya bersiap untuk turun. “Ok. Kalau sampai gue sakit perut loe yang tanggung jawab.” Ketus Vero. Kemudian ikut turun meskipun dengan berat hati. “Siap.” Jawab Reza. Akhirnya mereka memesan tempat terbaik di situ yang view nya ke arah sungai besar tepat di samping rumah makan tersebut. Airnya jernih dan terdapat bebatuan Alami yang menambah poin plus untuk tempat tersebut. Kurang lebih lima belas menit kemudian, akhirnya pesanan mereka datang juga. Dua porsi gurame bakar dan 1 porsi ayam bakar sepesial serta dua gelas jus alvokat menjadi menu pilihan mereka sore ini. “Loh, kamu bukannya yang nabrak temen aku tadi ya ?” tanya Reza ke pelayan rumah makan tersebut. Membuat Aya terkejut dan Vero langsung menatapnya tajam. “Eh, masnya yang tadi ya.?” Ucap Aya nyengir menampilkan gigi gingsulnya. Membuat Vero yang tadinya melotot tajam kini mulai terhipnotis dengan senyuman Aya, namun segera iya enyahkan sebelum ada yang menyadari perubahannya. “Bener kamu kan yang nabrak kita tadi ?” tanya Reza memastikan. “Eh, iya mas.. maaf ya mas. Saya tadi bener-bener terburu-buru.” Ucap Aya. “Maaf, maaf. Loe tahu nggah baju sama celana gue kotor gara-gara loe.” Sungut Vero. “Kan udah minta maaf mas.” Jawab Aya. “Enak aja. Ganti rugi.” Ketus Vero. Membuat Aya terkejut. “Yaudah sini copot baju sama celananya entar aku cuciin.” Sewot Aya. “Ogah.. ini tuh baju mahal, ntar rusak lagi.” “Gimana sih, jadi orang plin-plan banget. Tadi disuruh ganti rugi. Pas mau di cuciin nggak boleh. Emang ya, orang kaya itu sukanya bikin masalah.” “Eh apa loe bilang ?! yang bikin masalah itu elo.” “Kan aku sudah minta maaf.” “Maaf loe nggak cukup.” “Ehem.. maaf ini ada apa ya ? kok ribut-ribut.” Ucap pemilik rumah makan yang dari tadi mendengar suara ribut dari arah ini. “Ibu yang bertanggung jawab sama pegawai disini?” tanya Vero. “Iya mas. Kebetulan saya pemilik rumah makan ini.” Jawabnya. “bagus, tolong ajari pegawai ibu yang satu ini span santun pelanggan.” Ucap Vero dengan menunjuk Aya. “Maafkan pegawai kami ya mas.” Ucap pemilik rumah makan itu. “Aya, minta maaf sana.” Sambungnya. “Aku sudah minta maaf bulek.” Ucap Aya. “Minta maaf loe nggak diterima.” Ucap Vero. “Ah, gini aja sebagai gantinya loe bersihin nih ikan dari durinya.” Sambungnya sambil menunjuk dua porai ikan gurame bakar yang tadi dia pesan. “Whaat? Ogah..” sewot Aya. “Aya..!” tegur pemilik rumah makan tersebut membuat Aya mendengkus kesal. “Iya-iya.” Pasrah Aya membuat Vero merasa bangga karena berhasil membalas Aya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD