Tara, Nando dan Nara

2025 Words
“Sialan! Kalian bodoh ya?” teriakan dan amukan terdengar di salah satu ruangan. Pria bernama Andro itu begitu marah ketika rencana yang dia susun gagal, padahal belum sampai beberapa menit dan rencananya sudah dapat digagalkan oleh Chandra dengan mudah. Bahkan pria tinggi itu balik menyerang sistemnya. Semua kacau, termasuk para bawahan yang mendapat amukan dari Tuan mereka. “Sebenarnya apa yang kalian kerjakan?” tanyanya pada tiga orang yang berdiri dengan kepala tertunduk. “Kalian tidak becus semua, keluar dari ruangan Saya.” teriaknya, setelah memaki cukup lama. Andro hanya bisa melemparkan dirinya di kursi kerja, lalu kemudian memutar kursinya menghadap ke tembok kaca Perusahaannya. Andro menerawang jauh ke depan, menampilkan sosoknya dalam bayangan kaca. Dia tersenyum, rasanya pedih dan frustasi. Kapan ia bisa berhenti menjadi seperti ini? Atau bisakah semua masalah tidak terjadi padanya? Dalam pikiran Andro, hanya dalam pikirannya yang waras. Ketika pikiran gilanya hilang kendali, maka pikiran baik itu akan hilang secepat hembusan angin. *** “Tara masih tidur?” tanya pria tinggi dengan tindik di kedua sisi telinganya. Pria itu tinggi dengan kulit putih dan mirip dengan Tara serta Nara, memiliki wajah blasteran yang sangat kentara. “Mau apa lagi dia jam segini? Pasti masih tidurlah. Lo bangunkan sana.” ucap Nara memerintah sepupunya, pria itu baru datang dan lebih senang mencari sepupu yang lainnya. Pria itu menatap Nara dengan gelengan kepala, tidak mengerti kenapa Nara terus ketus sikapnya. Bahkan pada orang yang saat ini sedang tidak ada di sekitarnya. Pria itu menatap Chandra yang duduk juga, ini pukul 05:53, mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga. Pria itu baru saja datang dan masuk ke rumah Pamannya tepat pukul 05:00, ia lelah namun ia rindu akan sepupunya yang lebih muda darinya. “Lo jaga dia dengan baik bukan?” tanyanya pada Chandra yang membaca koran sepagi ini, Chandra meliriknya dan mengangguk. “Gue bangunkan Tara.” ucapnya mulai berdiri dari duduknya, kala pria itu beranjak dari duduknya. Chandra juga ikut beranjak, membuat Nara langsung melempar majalah yang ia baca di kursi dengan kesal. “Lo juga pergi, kenapa Lo enggak mau temani Gue walau hanya sebentar saja? Bukankah kalian sangat kejam?” langkah Chandra terhenti kala mendengar ucapan Nara, namun Chandra mengabaikannya kemudian. Chandra memilih melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam kamarnya. Tidak peduli dengan Nara yang semakin kesal akan kelakuan kedua pria itu pagi ini. “Sial!” umpatnya kesal, entah pada siapa ia bisa melepaskan rasa kesalnya ini. Altara bangun dari tidurnya saat alarm di mejanya berdering. Ia memang mendudukkan tubuhnya, namun matanya masih tertutup saat ia menguap tanpa ia tutupi. Tara reflek memundurkan badannya saat sebuah tangan menutupnya, mewakili Tara yang malas melakukan hal itu. Mata Tara melebar dengan pemandangan di hadapannya, setelah ia benar-benar membuka matanya. Menyesuaikannya dengan cahaya yang masuk lewat celah gordennya yang tertiup angin. "Abang ganteng, Tara!" orang yang dipanggil Abang ganteng oleh Tara merentangkan tangannya, tidak lupa dengan senyum manisnya. Tara menyambutnya dengan senyum ceria khas dirinya. "Mau peluk?" dengan cepat Tara memeluk tubuh tinggi itu dengan menubruknya, pria itu tertawa ringan. Walau sekarang Tara sudah remaja dan tidak kecil lagi, namun tubuh Tara tetaplah seperti kapas saat menabrak tubuh pria yang memang bekerja dalam bidang khusus itu. Dengan erat ia memeluk Tara dan mengusap surai belakang Tara dengan sayang. Menyalurkan segala kerinduan yang sudah lama ia tahan pada gadis manis yang selalu akan ia manjakan ini. "Masih saja manjanya." Tara mengusel-ngusel hidungnya pada leher pria itu, menghirup aroma yang sudah sangat lama tidak Tara rasakan lagi. Aroma musk yang khas, Tara suka dari dulu hingga saat ini. Mungkin sudah dua tahun dari kepergian pria itu dari hidup Tara karena pekerjaan, namun pria itu juga tidak mengganti aroma parfum khas dirinya. Pria itu reflek menjauhkan lehernya dari hidung Tara, tapi bukan Tara namanya jika ia tidak bisa membaca cepat gerakan Abangnya itu. Maka Tara menahan leher pria yang hanya mampu protes melihat kelakuan Tara padanya. "Tara, geli loh!" Tara terkekeh. Tara mengurai pelukannya, meski Tara masih mengalungkan kedua tangannya pada ceruk leher Nando. "Abang, kapan datang?" tanya Tara dengan melihat dibalik punggung pria yang menatapnya prihatin. Lebih tepatnya, Tara menatap pintu kamarnya yang terbuka dan tidak menampilkan apa pun di sana. Selalu hanya harapan kosong yang Tara dapatkan, mungkin harapannya yang satu ini tidak akan pernah terwujud oleh satu orang saja. "Abang datang baru saja, sendirian Sayang," jawab Nando dengan tangan yang mengusap surai Tara. Tara mendengus dengan kepala tertunduk, ia begitu kecewa dengan jawaban Nando. "Bang Nando datang karena ada tugas, dan Daddy hanya titip salam buat Kamu. Oh jangan lupakan oleh-oleh untukmu." Tara mendongak menatap Nando, Kakak sepupunya yang juga bertugas satu kantor dengan Daddynya. Mata Tara berbinar, rasanya sedihnya berganti dengan rasa bahagia mendengar kata oleh-oleh, seolah melupakan rasa kecewanya itu begitu mudah bagi Tara. "Benarkah Bang? Mana? Mana?" Tara menggoyangkan badan Nando ke kanan ke kiri, seolah Nando menyembunyikan oleh-olehnya di belakang tubuh pria itu. Pria itu tertawa pelan, lalu mengusap puncak kepala Tara dengan lembut dan sayang. "Kamu akan mendapatkan oleh-oleh saat Kamu sudah cuci muka dan gosok gigi, lihat seberapa bau Kamu." ejek Nando dengan pura-pura menutup hidungnya, Tara mengendus dirinya dan juga membuang nafas di telapak tangannya. "Mana ada? Tara selalu wangi." Tara memprotes, tidak terima dengan ejekan Nando padanya. Nando tersenyum, lalu Nando mengangguk. "Baiklah, tidak ada yang mengalahkan tingkat kepercayaan diri seorang Altara Kenzaro Dowman." Tara memeluk Nando lagi, bahagia mendapatkan pujian yang ia inginkan. “Dan darah Dowman juga mengalir pada darah Bang Nando, harusnya Bang Nando tahu itu.” Nando hanya bisa terkekeh mendengar ucapan Tara, bukankah memang benar?. "Sekarang Kita ambil oleh-oleh milik Gue." ucap Tara dengan semangat. "Baiklah gadis manis," Nando mendekatkan bibirnya pada telinga Tara, dan membisikkan kata-kata yang membuat Tara semakin bahagia dan sayang pada Abangnya. "Khusus untukmu Sayang, tidak ada untuk Nara." Tara tertawa mendengar bisikan Nando, pipinya memerah seperti tomat karena selalu diutamakan oleh Nando. "Oh ya?" Tara memeluk Nando erat walau sedikit menjauhkan wajahnya. "Gue mau Abang gendong Gue, buat ambil oleh-olehnya." Nando mengangguk pasrah, ia beranjak dari ranjang Tara setelah melepaskan pelukan Tara. Merentangkan kedua tangannya, lalu mulai menggendong Tara dengan Tara ada digendongan depan tubuhnya, seperti koala. Tara mengeratkan pelukannya pada leher Nando, mencari kenyamanan juga di sana. "Bagaimana kabar Daddy?" tanya Tara dengan suara berbisik, Nando mengusap punggung Tara dengan satu tangannya. Bagi Nando tubuh Tara begitu ringan seperti kapas di gendongannya, Nando memulai langkahnya saat pertanyaan itu keluar dari bibir Tara. "Daddy baik Sayang, dia begitu merindukanmu. Mungkin dia akan menghubungimu nanti." Tara mengangguk, percaya atau tepatnya pura-pura percaya adalah solusi terbaiknya mendengar penuturan Nando barusan. Nando menuruni tangga yang melingkar di Mansion Tara, ia dengan hati-hati menuruni tangga karena adanya Tara di gendongannya. Semua mata yang ada di ruang tengah pagi ini menatap pemandangan yang tersaji di tangga dengan berbagai tatapan. Nara, Kakak Tara itu memutar mata malas karena kelakuan adiknya yang sangat manja. Terutama pada sepupunya, sedangkan Chandra tetap datar. Yah! Chandra tinggal satu atap dengan majikannya, ia melihat pemandangan di mana Tara berada dalam gendongan Nando, saat Chandra keluar dari kamarnya dengan pakaian formal khas dirinya. "Jatuhkan saja, Nan!" ucap Nara, saat Nando baru selesai sampai ujung tangga terakhir. Tara yang mendengar suara dingin Kakaknya, menatap Kakaknya dengan skiptis lalu beralih pada Chandra. "Om, sumpel mulut Kakak laknat Gue pakai kaos kaki Lo!" Nando tertawa mendengar ocehan Tara yang membuat Nara menggeram, tangan wanita itu terkepal kuat. Roti di tangannya segera ia masukkan ke dalam mulut lalu mengunyah rotinya dengan kesal, seolah-olah roti itu adalah Tara. Para pelayan sudah biasa mendengar pertengkaran kecil mereka setiap hari hanya mampu menahan tawa, Nona muda mereka yang kecil itu terlalu unik. Setiap paginya dan setiap harinya mampu membuat Mansion heboh dengan tingkah pecicilannya. Nando sendiri tidak akan melerai perkelahian dua saudara sepupunya, karena baginya. Tara yang seperti ini adalah Tara yang bahagia, meski terlihat tidak sopan. Nando percaya jika Tara memiliki batasannya sendiri dalam menjaga nilai kesopanan itu. Chandra yang mendapat perintah aneh itu hanya mampu membuang nafas kasar, lalu mengangguk membuat sang empunya tertawa kemenangan, kemudian menatap Nara dengan pandangan meremehkan khas dirinya. Nando kembali melangkah kearah halaman depan. "Tidak mau turun?" tanya Nando, Tara menggeleng. Tara berdehem membuat Nando menaikkan satu alisnya. "Om Chandra!" teriak Tara dengan kencangnya, hingga Nando meringis karena telinganya yang berdengung, Tara sama sekali tidak menghiraukan bagaimana kondisi kesehatan telinga Nando saat dia berteriak begitu kencang. "Astaga Tara." omel Nando, dibalas senyum tanpa dosa oleh Tara. Bahkan gadis itu semakin mengeratkan pelukannya pada leher Nando, bersikap manja untuk tidak mendapatkan omelan lebih kejam dari Nando. "Ada apa Nona?" Chandra tergopoh berlari kearah Tara setelah mendengar teriakan Tara dari halaman depan, rambut Chandra yang awalnya sudah sangat rapi itu kembali berantakan saat berlari menuju halaman depan. "Om, ambilkan oleh-oleh Gue di mobil Bang Nando!" Chandra menggeleng, tidak habis pikir dengan sifat Tara yang alay juga. Chandra menatap Nando sekilas, memastikan apakah Nando baik-baik saja dengan pendengarannya saat Tara memanggilnya tadi. Karena dirinya yang lari dari dalam rumah saja merasa tidak baik-baik saja. Chandra mengangguk, lalu mulai membuka bagasi mobil Nando yang dipenuhi papper bag dengan brand-brand terkenal. Tara tersenyum senang mendapat barang mahal dan itu gratis. "Om kasih ke kamar Gue ya?" Chandra mengangguk patuh, tidak ingin lagi membuat masalah di pagi yang cerah ini. Nonanya bisa tenang saja sudah mampu membuat hari Chandra begitu indah. Chandra ingat sesuatu, ia menghentikan langkahnya dengan kedua tangannya yang penuh dengan belanjaan dari Nando. "Maaf Nona, apa Nona tidak bersekolah?" tanya Chandra, Tara yang berada dalam ceruk leher Nando menatap Chandra. "Tidak Om, Gue mau jalan-jalan sama Bang Nando. Iya tidak, Bang?" tanya Tara dengan mata memohon agar Nando paham kalau Tara sedang meminta dukungannya, Tara begitu malas pergi ke sekolah hari ini. Apalagi ada Nando sekarang di rumah, yang mungkin hanya hari ini saja dapat menemaninya. Besok pagi pasti Nando sudah harus kembali ke kantor pusat, jika urusan pria itu sudah selesai di Indonesia. Nando tersenyum. "Gue bawa Tara jalan-jalan hari ini, Lo izinkan Tara ke sekolahnya." Chandra membuang nafas kasar atas perintah, juga kesetujuan Nando dengan ucapan Tara. Lalu Chandra dengan terpaksa mengangguk patuh, dan segera menghubungi pihak sekolah untuk izin atas nama Tara. "Gue bilang nanti sama Daddy kalau tidak harus potong gaji Lo, kalau Lo izinkan Gue tidak sekolah sehari saja!" Chandra memutar matanya malas mendengar teriakan Tara, karena Chandra sudah berada beberapa langkah dari berdirinya Nando. Nando hanya mendesah, Chandra mengangguk lalu menatap pria yang sebaya dengannya itu. Meminta agar ia menggantikannya menjaga Nona mudanya untuk hari ini. Nando mengangguk membalas kode mata dari Chandra, tanpa Chandra minta sebenarnya Nando akan menjaga Tara. Tara adalah berlian bagi Nando, ia akan mengupayakan apapun untuk kebahagiaan Tara jika Nando mampu, termasuk ada di sisi gadis itu. Tapi sayangnya, Tara malah yang selalu menolak ketika Nando mengutarakan niat baiknya itu. "Lo juga harus ke kantorkan Om?" Chandra mengangguk sebelum akhirnya ia beranjak lebih dulu dengan Nando dan Tara di belakangnya, Chandra sudah lega dan juga percaya jika Nando yang ada di dekat Tara. "Tara, lain kali kalau bicara sama Chandra harus sopan." ucap Nando menasehati. Tara menatap Nando sebentar, lalu kembali menyembunyikan kepalanya di ceruk leher Nando. "Kenapa? Dia hanya bawahan." Nando membuang nafas. "Abang tahu, namun dia adalah orang yang lebih tua dari Kamu. Dan juga, dia orang yang selalu ada untukmu,". "Kamu harus lebih menghargai dan menghormatinya." kembali Nando bersuara, Tara tersenyum tipis. "Kenapa Bang Nando tidak minta Tara buat bersikap sopan ke Nara?" Tanya Tara, Tara tahu jika Nando, Chandra dan Nara adalah seumuran. Bukankah Nando hanya diam saat Tara bersikap kurang ajar pada Nara? Seperti pagi ini. "Karena kalian berbeda Tara, kalian seperti air dan minyak. Tidak akan mungkin bersatu jika kalian tidak pernah merasakan kehilangan satu sama lain terlebih dahulu." Tara belum paham dengan pembicaraan Nando, namun Tara mengabaikan saja dan bersikap pura-pura menurut terlebih dahulu saat ini. "Ok, Tara tahu.". “Tara memang harus bersikap baik sama Om Chandra, dia yang peduli sama Tara lebih dari siapapun.” meski ucapan Tara ini benar, namun entah kenapa Nando merasa sakit. “Apa tidak ada orang yang Kamu percayai di dunia ini Tara?” tanya Nando, Tara memeluk Nando erat lalu berkata. “Jika ada, lalu kenapa Tara menjadi seperti ini?”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD