Hero

2589 Words
“Huh.” Tara menatap tajam Nando kala pria itu terlihat seperti keberatan saat menggendongnya. Nando sendiri terkekeh lalu mencium pipi kanan Tara, menghilangkan rasa kesal sepupunya yang manja. Chandra yang ada di sana menahan tawa, yang tentu saja mendapat tatapan tajam Tara juga. “Diam enggak Lo, Om?” tanya Tara dengan nada mengancam, Chandra langsung menetralkan wajahnya lalu mengangguk. “Tara, Abang bilang apa tadi?” tanya Nando, Tara berdecak. “Maaf, Tara lupa.” ucap Tara dengan mata berotasi, kesal saat ia mengingat bahwa ia sudah berkata iya pada Nando untuk bersikap sopan pada Chandra. “Chan, Gue cabut. Lo ke kantor saja, Gue bawa Tara keluar.” Chandra tentu saja mengangguk dengan ucapan Nando, Nando keluar dengan Tara yang ada di dalam gendongannya. Chandra menatap kepergian keduanya, meski ia tenang namun dalam hati dan pikirannya, Chandra merasa tidak rela jika Tara harus keluar tanpa dirinya. Ia takut keselamatan Tara terancam, karena ia tidak akan yakin jika matanya tidak menatap setiap gerak-gerik Tara. “Mungkin hanya pikiran Gue saja, keahlian Nando sama seperti Gue dalam hal berkelahi.” ucap Chandra, mencoba mengenyahkan prasangka atas keselamatan Tara. Hari ini Chandra juga akan sibuk dengan kegiatannya diberbagai pertemuan, namun firasat mendadak buruk kala melihat pria berjas yang datang dari arah berlawanan. Pria itu tersenyum dan juga seperti psikopat abadi. “Lama tidak bertemu Chan.” Chandra tidak harus basa-basi dengan pria itu. “Gue enggak berharap ketemu Lo.” pria itu tersenyum. “Yah bisa dimengerti.” seperti tanpa beban ketika mengatakannya, Chandra sendiri tidak tahu. Manusia seperti apa pria di hadapannya ini, tapi sekali lagi Chandra hanya bisa membiarkan pria itu lolos saat ini. Chandra melangkahkan kakinya, tapi baru juga satu langkah untuk pertemuannya pertama dengan klien. Chandra kembali harus menghentikannya. “Gue enggak akan berhenti untuk memburu kunci emas keluarga Dowman.” Chandra memutar tubuhnya, menghadap pria yang juga sekarang menatapnya. “Coba saja, maka Gue enggak akan tinggal diam. Setidaknya seluruh tubuh Lo akan musnah jika Lo menyakitinya sekali lagi.” Andro, Andro tertawa kecil lalu mengangguk. “Kita lihat saja, toh keluarga Dowman tidak akan berani membuat pertarungan itu menarik.” ucap Andro tanpa rasa takut, Chandra tersenyum miring. “Belum saatnya, jika sudah. Terima penghakiman dan rasa sakit melebihi ekspektasi di otak Lo.” balas Chandra, Andro mengedikkan bahunya. “Gue tunggu, dan thanks untuk virusnya. Hal itu tidak cukup untuk mematikan sumber daya yang Gue miliki.” Chandra tersenyum. “Sama-sama, dan Gue belum berniat melakukannya.” balas Chandra lalu kembali melangkah, membiarkan Andro yang mengepalkan tangannya. “Kalian lihat saja, seberapa lama kalian akan bertahan. Keluarga Dowman itu akan hancur dari akar-akarnya.” Andro meninggalkan tempat itu, membiarkan Chandra pergi setelah menginjak harga dirinya. Yah, Andro bohong jika virus yang dikirim Chandra tidak berimbas pada sumber dayanya. Setidaknya Andro merugi tiga unit komputer beserta datanya karena virus itu, mungkin Andro akan kehilangan banyak lagi. Jika bawahannya tidak bekerja cepat untuk menghentikan pergerakan virus itu ke unit komputer lain. *** Tara berada di mobil Nando dengan atap yang terbuka, Tara juga memakai earphone untuk mengurangi bunyi keras yang berasal dari luar. Setidaknya, hal inilah yang menekan trauma Tara muncul tiba-tiba. "Bang, bentar lagi Gue ujian. Lo mau ajak Gue liburan ke mana?" tanya Tara, Tara mendudukkan dirinya setelah tadi ia berdiri dan Nando hanya membiarkan Tara melakukannya. “Bukankah harus ujian dulu sebelum liburan?” tanya Nando, Tara mengerucutkan bibirnya. “Bang, Abang ragukan kemampuan Tara?” tanya Tara, Nando terkekeh. “Sedikit.” Tara memicing. “Jawaban Abang saja tidak yakin seperti itu.” Nando akhirnya tertawa, diikuti Tara yang juga tersenyum. Melihat Tara sebebas ini dengan senyumnya, adalah kebahagiaan tersendiri untuk Nando. Karena Nando percaya jika bersama Chandra, pria kaku itu bersikap layaknya bodyguard, bukan seorang teman seperti yang Tara inginkan. "Kamu mau ke mana memang?" tanya Nando akhirnya, tidak ingin membuat ekspektasi Tara hancur karena ia mungkin saja tidak bisa mengembalikan mood yang baik saat ini. "Bagaimana kalau pergi ke tiga negara?" Nando menaikkan satu alisnya, dengan menatap Tara sebentar lalu kembali pada jalanan. Mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Nando tidak menyela ucapan Tara sama sekali, membiarkan Tara dengan segala yang ada di otaknya. "Bagaimana kalau ke Korea, lalu ke Manhattan dan ke mana ya yang terakhir?" Tara mengetukkan jarinya seolah berpikir membuat Nando gemas, Nando menghentikan mobilnya saat lampu merah rambu lalu lintas menyala. Nando mengambil kesempatan ini untuk menatap wajah cantik Tara yang memang bersih sekali, tanpa adanya jerawat yang mengganggu kulit mulusnya. "Bagaimana kalau ke Jepang? Tara ingin ke sana juga." ucap Tara dengan begitu gembira, seolah negara-negara itu sudah pasti akan ia kunjungi. "Ok, kalau Abang juga enggak ada tugas ya?" Tara mengangkat bahunya, ia juga pasrah jika Kakak sepupunya sibuk. Sama halnya dengan Daddynya, apalagi Daddynya adalah kepala intelejen pusat yang sering disingkat dengan sebutan CIA di negara Washington DC. "Bang, tunggu dulu deh." Tara menghentikan Nando yang bersiap untuk memasukkan giginya, saat suara Tara menginterupsinya. Nando bingung, lampu rambu sudah nyala hijau dan suara klakson di belakang mobilnya sudah tidak sabar agar Nando segera menancap gas, tapi permintaan Tara juga tidak bisa ia abaikan. "Ada apa?" tanya Nando, berusaha tuli saat mobil di belakangnya berjajar dengan mobilnya, lalu mengumpati Nando dan Tara. "Lihat deh Bang, itu teman satu sekolah Tara." Tara memicingkan matanya kearah tepi jalan, saat seorang anak SMA dihadang tiga siswa SMA lain, dilihat dari seragam mereka yang berbeda. Tara dengan segera membuka pintu mobil dan ia berlari menyebrangi jalan, yang membuat Nando menahan nafas. Karena Tara sama sekali tidak melihat jalan saat menyebrang. Dan untunglah jalanan agak sepi, hanya beberapa mobil yang langsung mengumpati Tara tanpa Tara pedulikan. "Hentikan!" Tara mendorong tubuh lelaki yang siap meninju wajah pria yang Tara yakini sebagai teman satu sekolahnya untuk kedua kalinya. Tubuh lelaki dengan tinju di udara itu terhuyung ke depan, namun segera menatap kearah Tara. Di mana Tara berada di belakang lelaki itu, tanpa melepaskan kerah baju seragam teman satu sekolah Tara. Sang lelaki yang name tag nya saat memiringkan tubuh, Tara lihat bernama Stevan itu menggeram, menatap tajam orang yang berani menggangu aksinya. "Sial!" u*****n terlontar dari bibir lelaki muda itu, menatap tajam kearah Tara yang berdiri dengan wajah dingin dan datar, khasnya saat memprovokasi lawan. Stevan melepaskan kerah Ihsan, teman dari Tara dengan kasar. Lalu menatap Tara dengan mata tajamnya setelah benar-benar menghadap Tara. Tara tidak mau kalah, ia juga menatap tajam Stevan dengan dua teman lainnya yang sudah ada di belakang tubuh lelaki yang satu sekolah dengan Tara, dan memegangi kedua lengannya agar tidak kabur. "Lo pecundang banget lawan laki-laki yang sudah enggak punya daya sebelum Lo hajar!" ucap Tara marah, ia melihat bagaimana kondisi Ihsan yang ujung bibirnya sudah mengeluarkan darah. Tara menatap name tag teman satu sekolahnya itu, untuk mengetahui siapa pria yang saat ini ia tolong. "Lo cewek enggak usah jadi jagoan!" ucap Stevan dengan nada meremehkan, Tara bersidekap d**a angkuh menantang Stev. Stevan menggeram, emosinya sudah berada di puncak saat Tara tidak mengindahkan ucapannya. Tara tersenyum miring karena Stevan mulai terprovokasi ucapannya. "Gue enggak mau mukul cewek, Lo pergi tanpa luka jika Lo enggak ganggu urusan Gue." Tara tidak setuju dengan ucapan Stevan. "Lawan Gue kalau Lo merasa jagoan! Dan lepaskan teman Gue." mata Stevan melebar begitu juga dengan yang lain, termasuk Ihsan. Mereka tersenyum miring, Ihsan sendiri sama sekali tidak mengenal Tara, selain nama gadis cantik itu. Karena Tara di sekolah tentu berbeda saat ia berada di rumah, dan di depan semua orang. Tara adalah gadis tertutup dan misterius, seperti mempunyai dunianya sendiri tanpa peduli dengan sekitarnya. Dunia yang juga tidak bisa tersentuh oleh siapapun, Tara adalah idola di sekolah. Namun tidak ada yang berani untuk mendekati Tara, terlebih Tara belum juga didekati sudah begitu menjaga jarak dari semua orang. "Lo akan menyesal!" Tara menggeleng, lalu menggerakkan telunjuknya agar Stevan menyerangnya. Merasa diremehkan Stevan mulai geram, ia tidak berpikir dua kali lagi jika akan menghajar Tara. Wanita itu sudah tidak mengindahkan ucapannya tadi, meski pun Stev pria yang suka sekali bertarung. Namun untuk bertarung dengan seorang wanita, tentu saja bukanlah perbuatan pria gentle. Stevan bergerak maju dengan kepalan tinjunya mengarah pada wajah cantik Tara, tapi dengan cepat Tara menghindar. Stevan membelalakkan matanya begitu juga yang lainnya. Hingga beberapa kali Stevan mencoba menyerang, tapi sama sekali tidak ada hasilnya, Stevan mulai geram. Gerakan Tara untuk menghindari tinjuan Stev begitu gesit dan tidak bisa terbaca, seolah Tara ahli dalam bidang itu. "Lo, kalau berani enggak usah menghindar." Tara mengangguk, ia memasang kuda-kuda. Stevan tersenyum melihat cara kuda-kuda Tara yang benar-benar seperti orang yang sudah terlatih berkelahi. "Lo latihan di mana?" tanya Stevan ikut berkuda-kuda, mereka tidak peduli akan orang-orang yang memandang mereka dengan pandangan yang berbeda-beda. Saat ini mereka ada di tepi jalan raya, tentu pemandangan seperti ini membuat banyak orang yang menonton, terutama para pejalan kaki. "Bukan urusan Lo." jawaban ketus Tara membuat Stevan tertawa. "Gadis menarik." Tara memutar matanya malas, hingga serangan Stevan mulai terlancar dan Tara dengan cepat menghindar. Lalu dengan gerakan memutar ia meninju tengkuk Stevan dengan keras. Stevan berjongkok, kepalanya seperti berputar dan matanya berkunang-kunang. Tinjuan Tara bukan main-main, hanya sekali pukulan Stevan sudah merasa hampir kehilangan kesadarannya. Kedua teman Stevan berlari kearah Stevan dengan melepaskan kedua sisi lengan Ihsan, menolong pria yang kini meringis dan memegangi tengkuknya itu. Ihsan masih melongo, cowok berkacamata itu meneguk ludahnya susah payah saat matanya bertemu dengan mata Tara, yang mendadak berubah menakutkan saat Ihsan yang menatapnya. *** Chandra menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya di Perusahaan AlNaTa inc. Chandra sangat merasa ada yang kosong, setidaknya untuk seharian ini. Chandra akan merasakan itu tanpa ia melakukan kegiatannya setiap harinya. Mulai dari pagi tadi, Chandra sudah tidak bisa mengantarkan Nonanya ke sekolah, dan nanti juga Chandra tidak bisa menjemput Tara karena memang Tara tidak sekolah. Entah apa yang dilakukan Tara saat ini bersama Nando, yang jelas Chandra berharap jika Nando tidak mengiyakan segala keinginan Tara. Terlebih hal yang sangat ia larang untuk gadis itu lakukan, makan makanan dingin dan pedas. Chandra sudah selesai dengan pertemuannya, semua sangat cepat untuk Chandra tangani. Chandra akan menemui klien yang bisa membuat Perusahaan yang ia pimpin mendapat keuntungan dengan jasanya, Chandra juga pintar dalam hal bernegosiasi. "Lo kenapa, Chan?" Tanya Fariz yang masuk ke ruang kerja Direktur, dengan setumpuk berkas yang siap untuk ditanda tangani oleh Chandra. Chandra menatap kearah sumber suara lalu membuang nafas, Fariz meletakkan semua berkas di atas meja kerja Chandra, lalu mengambil tempat duduk di depan Chandra. "Enggak kenapa-napa." jawab Chandra seperti ogah-ogahan, Chandra mulai menarik berkas paling atas untuk ia baca. Fariz tentu tahu segala gelagat sahabatnya, Fariz menunggu Chandra yang menandatangani berkas. "Oh ya, PT. Melico hubungi Kita. Dia butuh setidaknya dua puluh lima tenaga Kita untuk menjaga tamu kehormatan dari Filipina ke Perusahaan mereka." lapor Fariz akan hubungan kerja sama yang akan Perusahaan mereka lakukan. Chandra membubuhkan tanda tangannya, lalu menatap Fariz sebentar sebelum kembali menarik berkas yang menumpuk di hadapannya. "Apa yang mereka butuhkan selain keamanan?" tanya Chandra ingin tahu lebih detail, Chandra sangat tahu jika PT. Melico bukanlah PT kecil di Jakarta. PT itu bekerja dibidang pengembangan teknologi mesin, tentu sangat ketat dalam menjaga kerahasian Perusahaan. Terlebih sekarang ini mereka tengah menjalin kerja sama dengan negara tetangga. "Tidak banyak sih, mereka mau dalam seminggu ini. Semua bodyguard yang mereka miliki mendapatkan pelatihan khusus di sini, dan juga menambahkan keamanan dengan tekhnologi Kita pada saat pertemuan itu." jelas Fariz, Chandra mengangguk. "Bagaimana negosiasinya?" tanya Chandra, Chandra yakin jika Fariz sudah membuka lebih dulu pembicaraan ini. "Pertemuan dan juga kerja sama ini sangat penting untuk mereka, tentu apapun yang Kita inginkan akan dipenuhi." Chandra tersenyum tipis mendengar jawaban memuaskan dari Fariz. "Lo harus turun tangan sendiri, ini kali pertama mereka ingin mengundang dan menggunakan jasa Kita dengan tiga point penting." Fariz mengangguk dengan ucapan Chandra. "Kapan mereka akan memulai latihan?" tanya Chandra, Fariz mengambil tabnya yang selalu ia bawa. Melihat ke dalam datanya yang sudah ia susun dengan rapi, setiap pertemuan dan juga kerja sama yang akan mereka hadiri, terutama harus hadirnya Chandra atau tidak. "Pertemuan besok jam 09:00 pagi dengan pihak mereka, setelah mereka menyetujui point-point Kita maka mereka bisa memulai latihan." jelas Fariz lagi dengan membacakan schedule Chandra, Fariz juga merupakan sekertaris pribadi Chandra. Fariz akan membagikan waktu Chandra dengan pekerjaannya di Kantor dengan menjaga Tara. Jelas menjaga Tara adalah prioritas utamanya, namun untuk diluar jam jaganya, Chandra akan menghadiri segala pertemuan yang sudah disiapkan Fariz untuknya. "Baiklah, untuk point penting dalam pelatihan itu adalah. Anjurkan untuk mereka yang ikut pelatihan adalah mereka yang mampu bela diri setidaknya pada tingkatan sabuk mereka keempat." Fariz mengangguk, mulai mencatat dalam tabnya. “Mereka yang memenuhi syarat itu, ikutkan latihannya bersama bodyguard senior milik Kita.” Fariz kembali mengangguk dengan ucapan Chandra. "Untuk dua puluh lima orang yang akan dipilih, ikutkan latihan bersama mereka selama seminggu. Setidaknya ada sepuluh senior yang Kamu bawa dalam kelompok team itu." Fariz lagi-lagi mengangguk dengan interupsi Chandra yang harus ia ingat betul, tentu untuk disampaikan pada para bodyguard yang mereka miliki. "Cari latar belakang Perusahaan dari Filipina itu, tidak boleh sedikitpun terlewatkan." Fariz mengangguk lagi, point penting dari ini semua adalah mencari latar belakang musuh yang mengincar Perusahaan itu. Sebisa mungkin tidak memberikan celah sedikitpun pada mereka yang berada diluar sana untuk mengacau, fokus mereka adalah dua Perusahaan yang menjadi kliennya. Terlebih itu, mereka hanya menghindarkan dari segala kemungkinan. "Lainnya Lo sendiri sudah mampu bekerja, jika misi ini sukses. Mereka yang ikut dalam kerja sama ini akan mendapatkan cuti sehari." Fariz tersenyum kecut. "Gue termasuk?" tanyanya, Chandra memutar matanya. "Apa Lo perlu cuti?" tanya Chandra lebih ke mengolok Fariz, Fariz bahkan tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki keluar dari Perusahaan. Tentu selain pertemuan yang harus ada Fariz di samping Chandra, kantornya seperti rumah bagi pria yang usianya sama dengan Chandra itu. "Gue akan kasih Lo cuti selama seminggu, asalkan Lo penuhi permintaan Tante." Fariz membuang nafas, ketika Chandra mengingatkannya akan kelakuan Mamanya. "Gue akan jaga acara pernikahan Lo dulu sebelum Gue nikah, jangan buang-buang waktu dengan hal enggak penting itu." Chandra terkekeh kecil, lalu kembali menatap layar ponselnya. "Nona ke mana hari ini?" tanya Fariz tahu gelagat Chandra yang tidak seperti biasanya, Chandra menampilkan layar ponselnya yang gelap gulita. "Bersenang-senang." jawaban Chandra mengundang tanya dibenak Fariz. "Lo kehilangan jejak lagi?" tanya Fariz, tidak habis pikir dengan kelakuan Nona mereka yang selalu memiliki ide untuk lepas dari pengawasan Chandra. Chandra adalah pemimpin dari pusat keamanan dan juga ketua asosiasi dari bodyguard seluruh Indonesia, namun masih kalah dengan ide yang dikeluarkan Nona mereka untuk mengelabuhi nya. Benar-benar Nona yang cerdas, Chandra sendiri malah memutar mata malas. "Bukan kehilangan jejak, tapi Nona sedang berjalan-jalan." Fariz semakin tidak mengerti dengan ucapan Chandra, terlebih sikap Chandra yang terlihat kesal saat mengucapkan kata jalan-jalan. "Bolos?" Chandra mengangguk. "Tanpa pengawalan, Lo?" Chandra kembali mengangguk. "Kok tumben Lo lepaskan begitu saja?" kembali Fariz masih tidak mempercayai apa yang ia dengar, biasanya Chandra akan sangat ketat pada Tara. "Nando." Fariz melebarkan matanya. "Gila! Kenapa Lo enggak bilang?" Fariz segera membereskan tabnya lalu begitu saja lari keluar ruangan Chandra, Chandra membuang nafas. "Lo harus tanda tangani itu dulu, Gue ada urusan." Chandra melihat Fariz yang kepalanya menyembul dari balik pintu. "Awas kena surat peringatan, Lo." peringat Chandra, Chandra tahu jika pekerjaan tahunan Fariz belum selesai pria itu kerjakan. Dan Nando jelas akan membawanya ke Tuan besarnya nanti saat kembali, Chandra kembali menatap layar ponselnya yang masih saja gelap gulita. Ponsel yang di dalamnya hanya terdapat nomor ponsel Tara, ponsel khusus Chandra yang tidak boleh ia lupakan untuk dibawa ke mana-mana. "Hah!" Chandra membuang nafas panjang, lalu kembali berkutat pada berkasnya. “Gue kaya menunggu kekasih yang menghubungi lebih dulu.”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD