Tumbal Dan Penguasa

1303 Words
Hari ketiga setelah kematian eyang uti yang menyiksa perasaanku. Sejujurnya, beberapa malam ini, aku masih bisa merasakan sentuhan lembut dan suara nyanyian yang terdengar mendayu-dayu di ujung malam. Lagu khas yang biasa eyang lantunkan untuk menemani tidur malam ku. Ada kesedihan yang teramat dalam, ketika waktu memisahkan antara diriku dengan satu-satunya sosok yang begitu perduli. Selama beberapa hari ini, aku sama sekali belum masuk ke sekolah. Rasanya, tidak ada keinginan saat ini. Selain itu, sejak kejadian Almira, tidak ada satu teman pun yang datang berkunjung. Aku semakin terpuruk di dalam kesepian dan kesendirian. Malam ini, setelah semua orang meninggalkan ku di rumah yang kata mereka sangat kuno dan misterius, aku memutuskan untuk berbaring di kamar eyang uti. Rasanya cukup nyaman berada di sini. Aku harap, malam ini bisa tertidur pulas. Pukul 23.15 WIB, ketika mataku hampir terpejam, aku mendengar suara tembang Jawa Kuno yang sangat jelas. Isinya hanya dua baris, tapi sepertinya memiliki arti dan makna yang luas. Aagh, rasanya aku tahu kalimat ini. Ucapku di dalam hati, sambil terus mendengarkan, sebab mataku tidak dapat dibuka. Tak lama, aku mendengar suara pecahan piring dan gelas yang sangat kuat. Kemudian disusul dengan suara teriakan dan tangisan. Itu seperti suara pertengkaran besar antara sepasang anak manusia yang saling mencintai. Tahu dari mana? Terkadang aku mendengarkan sang wanita menangis terguguh-guguh dan di sisi lain ada suara yang mengatakan bahwa semua ini adalah cinta, bukan sebuah dosa. Suara itu membuat aku bingung. Di sisi lain, aku yakin sekali jika pertengkaran tersebut sangat dekat. Namun di pihak lain, aku menyadari bahwa hanya ada aku saja di dalam rumah ini. Lalu, siapa yang menangis dan berteriak tanpa henti? Aku terus bertanya tanpa suara sambil mendengar setiap kalimat di dalam pertengkaran. "Aku harus apa, Mas?" "Kamu harus terima dan satu-satunya jalan hanyalah kita harus memutus rantainya. Tidak perduli dengan amarah keluargaku. Mungkin ini takdir terbaik dari Tuhan. Aku adalah anak semata wayang, begitu juga denganmu. Jika kita tidak memiliki keturunan, maka semua ini akan berakhir. Dan untuk kita, kita bisa mengangkat anak dari panti asuhan atau dari mana pun yang kita inginkan. Iya kan?" "Tidak bisa, Mas!" "Kita harus bisa, demi kebaikan semuanya!" Lalu terdengar suara tangisan yang keras. "Maafkan aku, kita harus berkorban, Sayang!" "Tapi aku tengah mengandung benih kamu, Mas." "Apa? Tidak mungkin. "Apanya yang tidak mungkin? Kita ini suami istri dan kamu sering melakukannya denganku." "Gustiii." "Jangan memintaku untuk menggugurkan calon bayiku! Lebih baik aku mati." Lalu sang wanita kembali menangis histeris dan saat itu, terdengar suara sepasang kaki berlari cepat. "Ini, ambil dan tusuk tepat di jantungku!" "Pertengkaran apa ini?" tanya seseorang yang terdengar tegas dari arah yang berbeda. "Bu, aku hamil." "Ya Tuhan," sahut wanita lain itu, kemudian suaranya menghilang. "Bagaimana sekarang, Bu?" "Kamu, sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang! Jangan kembali sebelum ibu bisa membatasi dirimu dengan anak serta cucuku." "Tapi, Bu ... ." "Pergi!" bentaknya sangat keras. "Tapi, Buuu. Aku membutuhkannya, aku butuh suamiku." "Sejak awal kalian tahu resikonya bukan? Sekarang kamu tinggal pilih, anakmu atau suamimu?" "Kenapa nasibku jadi seperti ini, Bu?" "Jangan meratap! Lebih baik kita mencari jalan keluarnya sekarang! Sejak awal kalian yang salah. Ibu sudah memperingatkan, bahwa kalian itu tidak bisa bersatu. Sekarang, lihat sendiri, kan? Anak kalian lah yang akan menjadi korbannya. Cucu Ibu, keturunan kita." Kemudian suara ribut-ribut tersebut, menghilang. Brak Jendela kamar terbuka secara tiba-tiba bersama angin yang sangat kencang. Padahal di luar sana, tidak tampak seperti akan hujan. Aku berusaha keras membuka mata agar bisa mengetahui apa yang terjadi dan kembali menutup jendelanya. Aku berjalan lambat ke arah jendela kamar tanpa teralis. Angin pun semakin terasa kencang hingga menerbangkan tirai seadanya yang hanya mampu menutupi bagian jendelanya saja. Merasa terusik, aku memilih untuk menggeser tirai berwarna coklat tua tersebut ke arah kanan. Namun ketika hendak menarik jendelanya, aku melihat seseorang berdiri di bawah batang mangga berukuran besar dan cukup rimbun, tidak jauh dari kamar eyang. Aku terus menatap tajam demi memfokuskan pandangan. Pikiranku mulai mencerna bahwa seseorang di luar sana mungkin saja membutuhkan bantuan dariku, tapi hatiku menolak seolah memahami sesuatu yang tidak aku mengerti. "Siapa?" tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar cukup keras baginya. 'Tak lama, sosok itu mengangkat wajahnya. Mataku terbelalak dan jantungku berdebar sangat kencang. "Tidak mungkin," ucapku di dalam hati karena melihat wajah eyang uti yang sangat aku sayangi dengan pakaian agak aneh dan tidak pernah aku lihat sebelumnya. Rasa takut dan cemas menjadi satu, namun aku memilih untuk menyapanya demi satu alasan yaitu kerinduan. "Tidak mungkin aku salah lihat, itu memang eyang ku." Aku berlari ke arah pintu depan, sementara alam sepertinya tampak riuh dengan angin dingin dan semakin kencang serta berhasil menerbangkan cukup banyak dedaunan kering di halaman rumahku yang agak jauh dari tetangga. "Eyaaang?" "Tolooong!" ucapnya dengan suara lirih hampir menangis. "Tolooong ... ." Eyang memohon sekali lagi dan terdengar sangat menderita. "Apa yang bisa Nora lakukan untuk menolong Eyang?" "Lepaskan pita dan cabut bambu kuningnya! Eyang ingin masuk. Di sini sangat dingin ... ." Aku langsung memperhatikan kiri dan kanan rumah yang disanggah dengan pilar dari batu berbentuk bulatan. Di bagian dalamnya, terdapat bambu kuning yang diikat dengan kain menyerupai pita berwarna hitam. "Kenapa harus dibuka, Eyang? Bukankah kedua benda itu memang sudah berada di sana sejak dulu?" Lalu terdengar suara rintihan tangis yang semakin berat dari eyang. 'Tak tega dan merasa tidak memiliki pilihan, aku pun melakukan apa yang eyang minta kepadaku. Walaupun aku sama sekali tidak mengerti maksud dan tujuannya, namun aku yakin, segala sesuatu yang beliau berikan dan minta, adalah hal yang terbaik bagiku. Tanpa pikir panjang, aku segera melepas tali pengikat antara bambu dan pilar rumah yang sangat keras. Sepertinya semua ini memang didesain hanya untuk dikunci mati, bukan dilepas. "Noraaa," ucapnya sekali lagi sambil terduduk di tanah yang basah dan kotor. "Iya, Eyang. Segera." Aku pun langsung mengambil parang di dapur dan kembali berusaha untuk melepaskan bambu serta pita hitam tersebut. Setelah 10 menit berusaha, aku belum juga mendapatkan keinginanku. Tali pengikatnya sangat kuat, ini seperti kawat, baja atau benda lainnya yang sangat sulit untuk dihancurkan. "Eyang, aku tidak bisa." "Kalau begitu, kamu saja yang kemari, Nora!" "Iya, Eyang. Baiklah." Aku tidak bisa membawa eyang masuk ke dalam rumah, tapi aku masih bisa keluar sekedar memeluknya dan menanyakan apa yang bisa aku lakukan untuknya. Namun ketika aku melangkah keluar dari teras, angin kuat seakan kembali mendorong tubuh mungilku hingga kembali mundur masuk ke dalam teras. Apa ini? Tanyaku sambil terus memperhatikan eyang yang sudah sangat lemah dan tampak kedinginan. Aku mengumpulkan tenaga dan sekuat mungkin berlari ke arah eyang untuk membantu. Kali ini aku berhasil, rasanya sangat bahagia sekali. Dengan penuh kasih sayang, aku mengangkat kedua lengan eyang yang kecil (kurus) untuk berdiri. Namun tiba-tiba tangan kiriku terasa panas. Aku memperhatikannya, ini seperti terkena api atau minyak panas ketika tengah memasak. Semakin lama, tanganku semakin menghitam seperti arang. Pada saat yang bersamaan, eyang uti mengangkat wajahnya. Dari lehernya, terdengar suara yang kuat seperti patahan tulang belulang. Wajahnya pun berubah menjadi sangat menyeramkan, aku tidak lagi dapat mengenalinya. Sosok misterius tersebut membuka mulutnya lebar-lebar. Dari mulut itu, tercium bau busuk seperti campuran antara bangkai dan air comberan. Apalagi ketika ia mengeluarkan lendir berwarna hitam yang pekat. Entah bagaimana? Tiba-tiba saja, rasanya tenangaku terserap habis. Kulitku seperti mengering, bahkan aku merasa hampir mati. Aku tidak memiliki tenaga yang sebelumnya terasa penuh. Tidak ingin menjadi korban atas apa yang tidak aku ketahui, aku mendorong sosok tersebut sangat kuat hingga terdapat celah untukku bisa berdiri dan berlari untuk meninggalkannya. Aku sudah berusaha, namun ia berhasil menangkap kaki kananku dan menariknya sangat kuat. Dia menyeret dan membawaku dengan gerakan yang sangat cepat. Aku tidak mampu mengendalikan tubuh ini. Aku hanya bisa berteriak dan memohon pertolongan dari siapa pun. "Tidaaak, tolooong!" "Ihi hi hi hi hi hi, ihi hi hi hi hi hi hi ... ." Suaranya terdengar sangat kecil, namun nyaring. Bahkan mampu memekakkan kedua telingaku. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD