Rahasia dan Misteri

1357 Words
Papa sudah berada di depanku. Saat itu, aku hanya mampu untuk menatap. Sebenarnya, banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan, tapi tidak mampu. Aku sangat terluka, namun papa tampaknya jauh lebih menderita dibandingkan denganku. "Apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan langkah itu?" "Tidak ada," jawab papa kaku, seperti biasanya. "Aku sangat ingin tahu, Pa. Tolong jawab aku!?" "Maaf!" "Apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan langkah itu, Paaa?" teriakku semakin histeris, bersama runtuhnya air mata. Mungkin Tuhan marah kepadaku saat ini, karena ketika aku bertanya dengan nada suara yang kasar dan tinggi. Tiba-tiba saja, langit menjadi gelap dan banyak kilat petir yang membayangi wajahku. Hatiku bergetar hebat, aku seperti berada di tengah-tengah hutan belantara asing. Tidak punya apa pun, tidak memiliki siapa pun. Seluruh tubuhku gemetaran dan bibirku kembali tidak dapat kuatur dengan baik. "Kenapa kamu tidak membunuhku sejak lahir? Di sini, hujan jantungku!" ucapku sembari menunjuk ke arah dadaa. "Jangan diam saja!" teriakku sekali lagi sambil berlari mengejar papa yang sudah semakin menjauh. "Apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan langkah, Papa?" tanyaku sangat memaksanya. Lalu beliau membalik tubuh dan menatapku dengan pandangan iba. "Hanya dengan cara membunuh saya. Apa kamu mampu?" "Tidak mungkin." Aku menggelengkan kepala karena tidak percaya. Menurutku, semua hanya kebohongan belaka. Papa hanya mengada-ada. Papa tidak ingin mengajakku, pasti hanya karena satu alasan, yaitu ingin bersenang-senang sendirian, tanpa beban di luar sana. "Masuklah dan bersihkan dirimu! Papa sudah memasakkan menu favorit untukmu." Papa berkata dengan suara yang semakin lemah. "Aku bersedia menjadi pembantu seumur hidupku untuk Papa. Tapi aku mohon, Pa! Jangan tinggalkan aku sendirian!" "Suatu saat nanti, kamu akan mengerti. Papa dan mamamu itu sama." "Tidak, kalian berbeda." "Selamat sore." Papa menaiki mobilnya yang berwarna hitam. Tak lama, beliau membuka kaca mobil dan mengatakan sesuatu yang membuat aku semakin bingung. "Papa sangat menyayangi kamu, Annora." Lalu beliau pergi dengan meninggalkan luka yang besar di dalam hatiku. Aku terdiam menunduk, tanpa ekspresi. Kalimat terakhir dari bibir papa, terus saja terdengar di telingaku. Di dalam hati aku terus berkata, apakah ini arti dari kasih sayang yang sebenarnya? Sayang, lalu pergi untuk meninggalkan. Langkahku melemah, namun aku terus berjalan ke arah rumah demi mempersiapkan acara untuk eyang nanti malam. 'Ya Tuhan, aku melakukannya sendiri. Apa aku mampu?' Bulir-bulir air mata kembali menetes. Tampaknya, ia adalah teman setiaku saat ini. Pukul 17.00 WIB. Aku masih duduk dan merenung di ruang televisi sambil menatap foto eyang uti, mama dan juga papa. Ada satu hal yang mencuri perhatianku, yaitu buku tebal berwarna coklat klasik yang eyang pegang erat di tangan kanannya. Rasanya, buku itu tidak asing bagiku. Tapi dimana? Aku terus memikirkannya, namun tidak juga mendapat gambaran jawaban. Sedang berpikir keras, aku mendengar suara ketukan dan seseorang memanggil namaku sangat jelas. "Ya?" sahutku sembari membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam dengan lukisan wayang kulit di tengahnya. "Nora, kamu baik-baik aja kan?" "Adam?" "Iya." "Kamu datang?" tanyaku yang selama ini selalu menepi dan tidak memiliki teman spesial, baik di sekolah maupun di sekeliling rumah. "Iya, Nora. Saya mengajak beberapa teman. Kamu nggak marah, kan?" Aku menggelengkan kepala hampir menangis. Rasanya, kehadiran Adam dan tiga teman lainnya sangat berharga bagiku. "Kami ingin membantu untuk acara malam ini." Ardy memperlihatkan beberapa box air mineral. "Iya, kami juga sudah membawa beberapa jenis kue," sambung Almira sambil tersenyum. "Makasih banyak ya. Aku pikir, kalian tidak ingin datang dan berteman denganku." "Itu hanya perasaan kamu saja, Nora." Adam memegang pundak kananku. "Lain waktu, cobalah untuk tersenyum dan duduk bersama kami!" "Iya. Makasih." Aku menunduk demi menyembunyikan air mata dan wajah berantakan ini. "Apa kami boleh masuk sekarang?" "Silahkan, maaf aku lupa." Dengan sigap, teman-teman membantu menata makanan dan minuman. Mereka juga mengajakku bercerita tentang apa saja, sebelum para tamu datang untuk membacakan do'a bagi eyang uti. Sekitar pukul 19.30 WIB. Pak ustadz dan beberapa tetangga datang bersamaan. Mereka mulai membacakan do'a dan mengatur waktu untuk tujuh hari ke depan agar acara seperti ini bisa terus berlangsung. Saat semuanya mulai berangsur-angsur pulang, Pak ustadz mendekatiku dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak pernah aku sangka. "Nora, kemarilah!" "Iya, Pak. Ada apa?" "Saya tidak melihat papamu. Kemana beliau?" "Nora juga tidak tahu, Pak," sahutku sembari menundukkan kepala. Rasanya, sangat sulit untuk mengangkatnya kembali. "Jika kamu membutuhkan saya, kamu bisa datang ke rumah kapan pun kamu mau. Atau, kamu bisa tinggal di pesantren bersama teman-temanmu yang lainnya." "Makasih, Pak Ustadz. Saya akan memikirkannya. Sekali lagi, terima kasih karena sudah menawarkan dan memperhatikan Nora." "Selama ini, saya lihat, kamu adalah anak yang baik, rajin, santun dan pendiam. Kamu juga sering ke mesjid yang ada di pesantren, kan?" Aku mengangukkan kepala. "Iya, Pak." "Jadi, tidak ada salahnya jika kamu ingin bersama dengan yang lainnya. Saya yakin, mereka juga akan senang memiliki teman seperti kamu." "Iya, Pak." "Satu lagi, jika kamu merindukan beliau, kamu bisa mengirimkan do'a dan membacakan surat yang ada di dalam Al-quran! Surat apa saja karena semua itu, sangat berguna bagi beliau." "Terima kasih, Pak. Nora mengerti." "Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Assalamu'alaikum." "Waalaikum salam," sahutku sambil tersenyum dan menundukkan kepala sebagai rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan baik hati. Sesaat setelah Pak ustadz meninggalkan rumah, Adam dan yang lainnya berkumpul. Mereka mengatakan bahwa apa yang beliau utarakan itu, ada benarnya juga. Apalagi jika aku hanya sendirian saja di rumah yang kuno dan luas ini. "Nora, maaf ya. Bukan maksud menyinggung perasaan kamu, tapi kalau aku yang tinggal di sini, apalagi sendirian, kayaknya aku ogah banget deh," ucap Almira seraya mengusap kedua tangannya secara bergantian. Kemudian ia menunduk dan memeluk tubuhnya sendiri. Almira seperti seseorang yang sedang kedinginan, padahal ia sudah menggunakan sweater tebal dan celana panjang. Selain itu, di rumah ini sama sekali tidak menggunakan alat pendingin ruangan. "Lagipula, pak ustadz juga nggak minta kamu sekolah di pesantren, kan? Beliau hanya menawarkan tempat tinggal saja." "Baiklah, aku akan memikirkannya." "Kita nggak ada maksud apa-apa ya, Nora. Hanya khawatir saja. Zaman sekarang banyak orang jahat, gimana kalau rumah ini dimasuki maling dan sebagainya? Iya, kan?" "Lalu bagaimana dengan biaya kebutuhan sehari-hari?" tanya Adam yang baru berbicara setelah teman-teman yang lainnya bungkam. "Kalau soal itu, aku punya." "Syukurlah kalau begitu." Sedang asik mengobrol, Almira memutar tubuhnya ke belakang dan ia bergerak seperti seseorang yang sedang duduk di kursi goyang. "Almira, kamu kenapa?" tanya Adam yang kebetulan duduk di samping Almira. "Jangan pergi dari sini!" bisik Almira dengan suara yang asing dan terdengar basah. Kami yakin sekali, itu bukan suara Almira. Kami saling menatap dan rasanya, atmosfer di rumah ini terasa sangat berbeda dari sebelumnya. "Jangan pergi! Jangan! Jangan! Jangan!" ucap Almira tanpa henti sembari menggigit kuku-kukunya yang panjang dan bersih. "Almira, kamu kenapa?" tanyaku dan saat aku mengangkat wajah Almira, aku melihat bagian hitam matanya sudah pada posisi paling atas, hingga tidak lagi terlihat. "Astaga, Almira kerasukan setan. Ayo kita cari bantuan!" kata Ardy yang tampak terkejut. "Adam, ayo!" "Iya." "Kalian berdua hati-hati ya!" "Baik," sahut adam dan Ardy hampir bersamaan. "Almira, kamu kenapa?" tanyaku sambil mendekap tubuh Almira. Saat ini, sama sekali tidak ada rasa takut di dalam diriku. Meskipun aku tahu, bahwa Almira dalam keadaan yang tidak normal. "Ra, jangan pergi dari sini!" kata Almira sekali lagi, tapi kali ini aku dapat mengenali suaranya. "Eyang Uti?" sahutku sambil memegang kedua pipi Almira untuk memastikan pendengaranku. "Jangan pergi dari sini!" ujarnya sekali lagi. "Baiklah, aku akan tetap di sini, Eyang. Tapi tolong, jangan ganggu temanku! Aku mohon." Aku memeluk Almira sangat erat dan tiba-tiba saja, aku dapat melihat bayangan seperti memori masa lalu. Aku melihat sosok mama, papa, dan banyak lagi orang berkumpul di sebuah ruangan yang tidak aku kenali. Mereka tampak berdebat hebat, hingga aku tidak tahu mana air mata dan pukulan meja besar yang berada di tengah-tengah mereka. Tak lama, eyang uti memeluk mama sambil menangis hebat dan papa bersujud di hadapan eyang, sambil menciumi kedua kaki beliau. Sayang, aku tidak dapat mendengarkan percakapan diantara mereka. "Aku tidak akan pergi dari sini, apa pun yang terjadi," ucapku jelas dan tegas. Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Almira kembali lemas dan kedua matanya tertutup seperti sedang tertidur pulas. 'Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku dan keluargaku?' Tanyaku tanpa suara, sambil terus memperhatikan Almira yang sudah terlihat lebih tenang. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD