02 - Wildan

1122 Words
Wildan benar-benar menepati ucapannya. Ia membayar sejumlah besar uang kepada Nyonya pemilik rumah bordil demi bisa membawa Jena pulang bersamanya. Dengan langkah pelan, Pria itu menuntun si gadis berjalan menuju sebuah mobil mewah yang sudah terparkir apik di depan bangunan. Seorang pria berbadan tegap dengan kulit tan sudah menunggu keduanya. Ia dengan sigap segera membuka pintu bagian penumpang dan membantu Jena untuk naik ke dalam mobil. Gadis itu sejak tadi hanya diam. Dadanya bergemuruh, degub jantung yang terdengar sama seperti langkah kaki kuda saat berada di lapangan pacu. Begitu cepat dan tidak terkendali. Tangannya yang berada dalam genggaman erat Wildan terasa berkeringat, pun dengan dahinya yang sudah ditumbuhi keringat sebesar biji jagung, membuat si pria yang duduk di sebelahnya kembali terkekeh dengan suara lirih. Tanpa mengenal kata canggung, malu ataupun risih. Wildan mengangkat sebelah tangannya, mengelap dahi Jena dengan lembut, menyapu keringat dingin gadis itu. Gerakan tangannya terhenti, tatapannya terfokus pada wajah si gadis yang tetap menatap lurus ke arah depan. Sekali lagi, Wildan terpesona dengan kecantikan Jena yang terlihat begitu luar biasa dibalik kekurangan gadis itu sendiri. “Cantik,” bisiknya lirih. Tatapan pria itu kemudian turun. Jakunnya naik turun melihat bagaimana bibir merah muda milik si gadis terlihat begitu menggoda untuk dikecup. Dan tanpa memedulikan keberadaan sang asisten yang tengah mengemudi di depan, Wildan segera melancarkan aksinya dengan mengecup bibir Jena singkat. Membuat gadis itu membulatkan mata dengan pipi yang langsung merona. “Mulai sekarang kau harus terbiasa dengan itu, sayang,” bisiknya dengan suara lirih. Mobil tersebut tiba di sebuah pelataran rumah bertingkat dua. Sebuah bangunan luas dengan nuansa klasik yang begitu kental, terletak di tengah-tengah kota. Si pria tan turun lebih dulu dan membantu Jena turun dari mobil. Sementara Wildan, pria itu sudah sibuk dengan ponselnya sejak beberapa saat lalu. “Kau mau ke mana?” Wildan yang saat itu sudah bersiap untuk masuk ke bangku kemudi menghentikan aksinya. Ia melongokkan kepalanya dan berkata dengan tenang. “Pergi sebentar. Kau antar dia ke kamarnya,” katanya sembari menunjuk Jena dengan dagu. Belum sempat si pria tan menjawab, Wildan lebih dulu menancap gas meninggalkan area halaman rumah tersebut. “Apa yang terjadi?” Jena membuka suara. Pria tan menghela napas. Tanpa menjawab pertanyaan si gadis, ia dengan segera menuntun Jena dengan lembut memasuki rumah besar nan megah tersebut. Kamar tidur Jena terletak di lantai satu. Hal itu demi memudahkan si gadis untuk beraktivitas nantinya. Tidak ada yang istimewa. Kamar luas tersebut hanya berisi sebuah ranjang berukuran queen, yang dilengkapi dengan lampu tidur di atas nakas samping ranjang, sebuah meja rias juga lemari berwarna putih yang terletak tidak jauh dari sana. Jena didudukkan pada sisi ranjang dengan hati-hati. “Di sebelah kanan dekat pintu kamar mandi ada sebuah lemari. Semua perlengkapan yang kau butuhkan ada di sana. Di dekat pintu masuk ada kaca rias. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa memanggilku, aku juga tinggal di sini,” jelasnya. “Terima kasih. Omong-omong, aku belum tahu namamu.” Seolah sadar, pria tan tersebut terlihat menggaruk tengkuk. “Malik. Namaku Malik.” “Aku Jena.” Gadis itu mengulurkan tangannya dengan semangat. Malik, pria itu terkekeh kecil begitu sadar kemana arah tangan Jena terarah. “Ya, aku tahu. Senang berkenalan denganmu,” sahutnya sembari menyambut uluran tangan Jena yang sedikit melenceng ke arah kanannya. Menyadari dirinya salah arah saat mengulurkan tangan, Jena tampak sedikit terkejut. Dan lagi-lagi hal itu membuat Malik terkekeh kecil, ia merasa lucu dengan ekspresi Jena. “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakan mu. Hanya saja, ekspresimu tadi benar-benar menggemaskan,” ujar Malik kemudian. Jena menggeleng, ia tidak merasa keberatan karena hal itu sudah terbiasa dirinya dapatkan. “Tidak masalah. Omong-omong apa aku boleh bertanya satu hal?” “Tentu. Apa?” “Sebenarnya…. Siapa pria itu? Maksudku, siapa orang yang sudah mau membuang uang untuk membeli seorang gadis buta seperti ku?” Suasana hening sejenak. Jena diam menunggu jawaban, sementara Malik terlihat kebingungan dengan apa yang harus ia katakan. “Aku tidak tahu jawaban yang ku katakan ini akan membuatmu puas atau tidak. Yang jelas, namanya adalah Wildan. Dia adalah atasan sekaligus sahabatku. Dan soal mengapa ia mau membayar mahal untuk membawamu pulang…..” Ucapan Malik menggantung, pria itu sempat menatap lekat ke arah Jena yang masih setia menunggu. “Aku tidak bisa mengatakannya. Kau bisa tanyakan hal itu sendiri padanya nanti. Yang jelas, dia pasti punya alasan khusus untuk itu. Sekarang sebaiknya kau istirahat saja, jika butuh sesuatu kau bisa memanggilku.” Setelah mengatakan hal tersebut, Malik memilih unndur diri. Pria itu menutup pintu dengan hati-hati, ia juga sempat mengamati sejenak ke arah Jena sebelum pintu kayu berwarna putih itu tertutup sempurna. *** Pukul tiga pagi saat pintu kamar Jena terbuka, setengah terbanting keras. Jena yang kala itu sudah terlelap nyaman sontak terlonjak. Belum selesai dengan keterkejutan nya, gadis itu sudah kembali dikejutkan dengan ciuman mendadak yang menyerang bibirnya secara tiba-tiba. Bau alkohol membuatnya merasa mual. Ia meronta, namun dua tangannya sudah berada dalam genggaman erat di atas kepala. Gerakan bibir itu terasa begitu agresif dan kasar, bahkan sesekali pria itu mengigit bibir bawah Jena dan membuat gadis itu membuka mulut demi bisa mengeksplorasi lebih dalam. Tidak berhenti di sana. Ciuman panas itu mulai turun ke area leher. Bekas kemerahan sudah tercetak di area sekitar rahang. Tubuh Jena menggelinjang tatkala bagian telinga miliknya terasa digigit kecil. Setetes air mata jatuh dari pelupuk gadis itu diiringi dengan suara lirih meminta pengampunan. “Tolong…. Berhenti. Lepaskan…” Suaranya lirih. Dan hal itu sekiranya mampu menghentikan aksi Wildan malam itu. Pria dengan penampilan acak-acakan itu seolah tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya. Ia segera melepaskan tubuh Jena yang masih terengah. Perasaan bersalah sontak menguasai hatinya begitu suara isak kecil terdengar. Ia segera memeluk tubuh mungil itu dengan erat, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher si gadis. Tangis Jena masih terdengar saat Wildan melepaskan pelukan mereka. Pria itu dengan lembut mengusap air mata yang menetes di sekitar pipi. Ia kembali mengecup bibir Jena sekilas, kali ini ia melakukannya dengan lembut. “Maaf,” katanya lirih. Ia sempat memeluk, juga mengecup kedua mata Jena sebelum beranjak dari sana. Menepuk bahu Malik yang sejak tadi menyaksikan keduanya dari ambang pintu masuk. “Tolong tenangkan dia,” katanya sembari berlalu. Malik tidak menyahut. Ia hanya menghela napas dan mendekati Jena yang saat ini terduduk dengan memeluk lututnya sendiri. “Hei,” sapa Malik tenang. “Malik?” “Ya. Tenang saja, semuanya sudah aman.” “Sebenarnya siapa itu Wildan? Kenapa dia melakukan semua ini padaku? Dia… dia hampir saja memperkosa ku!” ucap Jena kembali menangis. Tanpa mengatakan apapun, Malik segera merengkuh Jena dalam pelukannya. Pria itu menenangkan si gadis yang kembali menangis dalam pelukannya. “Tidak. Wildan tidak akan melakukannya. Ia hanya sedang terbawa suasana. Dia… tidak mungkin melakukan hal itu padamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD