"Dina! Din! Tunggu!" Teriak Kak Randi di belakangku.
Ya ampun! Aku yang baru saja keluar dari kelas buru-buru menarik Yuna untuk berlari. Ih, padahal aku berharap gak ketemu sama Kak Randi, ini malah dia nyamperin. Sia-sia perjuanganku ngumpet-ngumpet dari dia.
Aku dan Yuna berniat nonton drakor setelah kelas berakhir, mumpung masih jam setengah sebelas.
"Din, Kak Randi manggil itu lho!" Peringat Yuna mencoba menarik ku untuk berhenti.
"Ish, biarin. Aku lagi males," cuekku yang tetap mengajak Yuna lari.
"Stop!" Sentak Yuna tiba-tiba, sorot matanya mengerikan. Aduh, ada apa sama anak ini?
"Katanya mau move on? Hadepin dong! Jangan jadi pengecut! Menghindar bukan solusi," tegasnya.
Aku berkaca-kaca mendengar itu. Yuna benar, aku tidak seharusnya seperti ini. Luka ini akan terus mendekam di hati kalau tidak aku paksa keluar. Dan dengan aku ikhlas dan berdamai dengan keadaan.
Aku memeluk Yuna, "kamu bener Yun. Aku gak seharusnya kayak gini terus."
"Nah, ini baru Dina yang aku kenal, kuat."
"Dina! Hosh.... Hosh.... Ka-mu larinya kenceng banget sih." Ngos-ngosan Kak Randi berbicara. Ya Allah kasiannya. Wajahnya penuh keringat, kulit putihnya jadi merah.
"Hehe, maaf Kak. Gak denger Dina tadi, abisnya Dina sama Yuna mau nonton." Alibiku pada Kak Randi, maafkan aku Kak, hihi.
"No! Gak bisa. Kamu harus tanggung jawab bikin Kakak kayak gini!" Ucapnya tegas tak mau dibantah.
Aku mengerucutkan bibir sebal, "ih Kak Randi. Kan aku gak sengaja. Aku udah ada janji sama Yuna, ya kan Yun?" Tolehku pada Yuna minta persetujuan.
"Hehe, iya Kak. Tapi kalau Kakak ada butuh sama Dina gak papa kok. Nontonnya bisa jalan-jalan aja," putus Yuna tanpa diskusi.
Argh! Aku melotot ke arah Yuna, apa-apaan sih maksudnya. Tapi yang namanya Yuna sableng, gak mempan aku pelototi.
"Beneran? Oke deh, jadi hukumannya kamu harus traktir Kakak es di kantin. Capek tau gak ngejar kamu," celotehnya bikin sebal.
"Salah siapa ngejar aku, kan Kakak sendiri yang mau." Aku tetap kekeuh tidak mau.
"Gak ada penolakan!"
"Udah lah, Din. Gak papa, sekali-kali." Ini lagi, pasti sengaja. Biar aku sama Kak Randi bisa ngobrol dan menyelesaikan masalah hatiku.
"Udahlah, yuk." Kak Randi berjalan menuju kantin di lantai bawah. Aku dan Yuna mengikuti dari belakang.
Katanya cuma minta es, lah ini. Kak Randi pesan bakso jumbo plus es kelapa. Ya ampun, bikin bangkrut aja nih orang.
Aku yang sebel memesan es rasa jambu, kalau Yuna dia milih minuman kaleng dingin.
"Kalian gak makan sekalian?" Tanya Kak Randi yang sudah di hadapkan dengan bakso jumbo.
"Masih kenyang, Kak." Jawab Yuna mewakili ku yang masih dongkol.
"Oke, Kakak makan dulu, ya."
Sambil menunggu Kak Randi makan, aku dan Yuna sibuk berselancar dengan sosial media masing-masing. Tapi aku lebih suka main game sih, bikin stress hilang.
"Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini susah Kakak hubungi?" Oh, ternyata Kak Randi sudah selesai makannya.
Aku berpikir sejenak, " hehe, sibuk Kak. Kan sebentar lagi UAS."
"Ck, alasan."
Aku hanya tersenyum sok manis.
"Hah, Kakak sebenarnya mau curhat sedikit, boleh?"
"Boleh," banyak juga gak papa Kak.
"Kamu itu bikin aku inget sama adik comel Kakak, namanya juga sama, Delisha...."
Aku menyimak dengan seksama, Yuna pun juga beringsut mendengarkan.
"....tapi Kakak gak tau sekarang dia di mana. Terakhir ketemu sekitar 17 tahun yang lalu. Haha, Kakak masih inget kejadian itu, padahal waktu itu Kakak masih 5 tahun, dan dia dua tahun. Tapi anehnya bayangan itu gak pernah hilang dalam ingatan Kakak."
Kak Randi diam sejenak, menyeruput es kelapanya. Aku dan Yuna tidak berniat menyela.
"Matamu mirip Delisha, selama ini Kakak nganggap kamu seperti adik Kakak. Kakak sayang banget sama kamu, jadi maaf kalau perhatian Kakak bikin kamu salah paham." Tatapannya menyiratkan luka dan penyesalan.
Ugh! Kok sekarang aku jadi yang merasa bersalah sih. Malu juga, berarti Kak Randi tau kalau aku ada rasa sama dia, ya Allah!
"Eng–em, Kakak gak ada salah kok. Makasih udah anggep Dina adik," ah lega sekaligus menyakitkan.
Kak Randi tersenyum manis, "makasih."
Aku mengangguk dengan hati yang lega. Ternyata memang aku yang tidak tahu diri, mencintai orang yang salah.
*****
Pukul dua siang aku baru keluar dari area kampus. Kak Randi menyebalkan! Aku dan Yuna harus tertahan di sana untuk menunggunya yang asyik pacaran sama Kak Priska–tunangannya. Meski masih meninggalkan sedikit perih, tapi aku lega.
Yuna sudah pulang bersama mang ojol sedari tadi, dan aku baru bisa mengeluarkan motorku yang di pindah tempat jadi di bagian paling depan. Susah untuk mengeluarkannya.
Awan mendung menghiasi langit siang ini, aku yang berkendara di motor sejak sepuluh menit yang lalu menjadi was-was. Perjalanan masih panjang, 30 menit lagi. Aku gak mau kehujanan, bisa pilek!
Kupacu motor antikku dengan kecepatan hampir tujuh puluh KM/jam. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, untung jalanan sedikit sepi. Oke, fokus, aku harus segera sampai di tempat.
Tes! Tes!
Astaghfirullah! Grimis sudah turun, aku harus lebih cepat lagi. Helm ku yang buram karena tetesan grimis tak kupedulikan, saat ini yang ada di pikiranku hanya aku harus segera sampai rumah.
Brak!
Ugh! Sakitnya bokongku. Aku kanapa ini?
"Hey! Naik motor hati-hati! Jangan kebut-kebutan!" Bentak seseorang di belakangku.
Hah! Aku jatuh! Ya Allah, kenapa tidak terasa sama sekali. Apa karena saking ngebutnya aku?
Aku pun berdiri, tidak ada yang sakit kecuali bokongku. Aku mengangkat motorku yang juga jatuh, aku masih linglung dengan apa yang aku alami.
Puk!
Tepukan di pundak ku membuatku menolah. Mataku terbelalak! Pria dengan setelan jas hitam terbaring di pinggir jalan, apa aku yang menabrak tadi?
"Tanggung jawab! Kamu nabrak orang itu, kalau gak kami laporkan ke polisi!" Bentak pria dengan rambut yang habis ilias botak.
Ketakutan menyelimuti hatiku saat ini, oh no! Aku gak mau di penjara. Banyak para pengendara motor yang turun untuk melihat apa yang terjadi. Aku jadi semakin gugup.
Oke, tarik napas dan istighfar. Semua pasti ada jalannya.
"Oke, em–saya akan tanggung jawab. Tapi bisa bantu saya?" Tanyaku ragu-ragu, aku menggigit bibir tanda gugup.
"Mau apa?!" Ih, kok bentak terus sih.
"Bantuin saya bawa dia ke rumah sakit."
"Tapi jangan kabur kamu?" Tunjuknya padaku.
Aku menggeleng cepat, "ti-dak. Saya akan ikut."
"Yaudah, ayo!"
Pria-pria yang berkerumun pun membantu pria yang aku tabrak menuju rumah sakit. Tidak ada mobil, jadi mereka menggunakan motor untuk mengangkut.
Sedangkan aku mengikuti dari belakang, dengan pengawalan. Ya ampun, kok kayak buron gini!
Salahku juga, seharusnya aku hati-hati saat berkendara tadi. Apalagi di cuaca yang sedikit gerimis tadi. Syetan membisikkan ku untuk terburu-buru, padahal buru-buru bukan perbuatan yang baik. Gerimis pun tidak berubah menjadi hujan, itu hanya ketakutan ku saja.
Ah, sekarang aku jadi berurusan dengan seseorang, kalau mati gimana? Ya Allah, jangan! Aku masih pengen sama Bunda, masih pengen kuliah, lulus, terus jadi guru.