Bapak-bapak yang membantuku pergi setelah mengantar pria itu ke rumah sakit. Mereka mengancam ku untuk tidak kabur dan bertanggung jawab. Tentu aku mengiyakan, aku juga tidak ingin dilaporkan ke polisi.
Tidak bisa dibayangkan kalau sampai aku di penjara, pasti Bunda kecewa dan sedih.
Saat ini aku sedang duduk di kursi tunggu IGD, sesekali menengok ke arah pintu yang belum terbuka. Padahal sudah sekitar sepuluh menit berlalu, sejak pintu itu ditutup. Apa keadaannya parah? Mengingat pria itu pingsan tadi.
Pusing aku memikirkan, tubuhku baru terasa sakitnya. Mungkin akan lebam-lebam di beberapa bagian. Mengingat tadi aku jatuh dengan posisi duduk agak miring.
"Dok, gimana keadaannya?" Cercaku menghampiri dokter laki-laki paruh baya yang baru saja keluar dari IGD.
Dokter tersenyum, "anda tidak perlu khawatir. Pasien hanya lecet sedikit di bagian kaki dan tangan kirinya."
Penjelasannya membuatku terkejut sekaligus lega, tapi kok tadi pingsan sih? "Tapi Dok, tadi dia pingsan. Apa tidak apa-apa dengan otaknya?" Aku meringis dengan pertanyaanku sendiri.
Dokter tersenyum lagi, "tidak ada, pasien pingsan karena belum makan. Mungkin efek shock juga, jadi tidak perlu khawatir. Pasien akan di pindahkan di ruang rawat," jelasnya lagi.
Oh, jadi kelaperan toh! "Baik, Dok. Terima kasih."
Huh! Pakaiannya aja bagus, kok yaa sampek kelaparan! Apa jangan-jangan dia orang jahat! Aku bergidik ngeri membayangkan dia orang jahat dan menyamar menjadi orang kaya.
"Sama-sama, saya permisi."
"Iya, silahkan Dok."
Seorang suster memintaku untuk melunasi administrasi terlebih dahulu. Akupun mengikutinya dari belakang, pria itu akan dipindahkan ke ruang rawat.
Untung aku masih punya tabungan, aku juga ambil kamar biasa saja. VIP? Ngimpi di siang bolong! Uangku hanya cukup di ruang rawat biasa.
Di kamar ini berisi empat ranjang pasien, tapi hanya ada pria itu yang mengisi salah satu ranjang.
Hmm, kalau di lihat-lihat, pria ini ganteng, sangat malah. Hidungnya mancung, alis tebal, bulu mata lentik, bibir merah tipis bergelombang, rahang kokoh.... astaghfirullah!
Kok aku malah ganjen bangen sih, pake merhatiin wajahnya. Dosa Dina! Dosa! Astaghfirullah!
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga kurang lima menit. Aku sudah mengabari Bunda kalau aku pulang telat. Tentu minus masalah kecelakaannya, aku takut Bunda khawatir dan cemas.
Aku juga bingung bagaimana dengan pria itu, aku tidak bisa menghubungi keluarganya. Karena hp mahalnya menggunakan sandi. Jadi aku harus menunggunya hingga sadar.
Saat kesadaranku mulai menipis, aku mendengar suara lenguhan pria di ranjang pesakitan. Oh! Dia sudah sadar. Aku buru-buru berdiri dari kursi dan menghampirinya.
Pria itu diam, matanya nyalang menatap sekitar ruangan. Mungkin dia membatin, di mana dia sekarang.
"Em-apa yang anda rasakan?" Tanyaku takut-takut.
Pria itu menoleh ke arahku, mata abu-abunya menatapku tajam. Meneliti dari atas sampai bawah.
Aku yang ditatap seperti itu menjadi gugup, tanganku ssaling meremas, peluh sebesar biji jagung mulai bermunculan di dahiku.
"Siapa kamu?" Tanyanya datar.
"Sa-saya Dina." Nyerimin orangnya! Kesan ganteng tadi aku ambil lagi, gak cocok buat dia.
"Kamu yang menabrak saya?!" Tanyanya lagi, suaranya bertambah datar, sedatar wajahnya.
"I-iya. Sa-"
"Kamu harus tanggung jawab!" Bentaknya kali ini.
Aku berjengkit kaget mendengar bentakannya. Perasaan takut menyelimuti hatiku, "i-ya. Saya akan tanggung jawab."
"Mana handphone saya?"
"Saya mohon, jangan telpon polisi. Saya akan bertanggung jawab," pintaku melas. Pasti dia mau telpon polisi, aku gak mau.
"Ka-"
"Please! Jangan Tuan, saya masih kuliah." Mataku sudah berkaca-kaca.
Dahinya berkerut, matanya memincing memandangku jengah. "Siapa yang mau telpon polisi, saya mau telpon sekretaris saya. Cepat ambilkan!"
Aku tergagap dan buru-buru mengambil hpnya di laci lemari rumah sakit. Bodoh! Saking takutnya aku malah berpikir buruk.
Pria itu menelpon seseorang di seberang sana, memerintahnya untuk datang menjemput. Selebihnya aku tidak paham, dia berbica dengan bahasa asing.
"Mana nomormu?"
Aku diam tidak maksud.
"Nomor hpmu, masukkan ke sini!" Perintahnya menyodorkan hpnya ke arahku.
Eh, jadi maksudnya nomor hp.
"Buat apa?"
"Tidak usah banyak tanya! Masukkan saja!"
Dengan gugup aku menerimanya, mengetik nomor hpku meski ragu. Pria itu masih dalam posisi tiduran, tapi kenapa bisa sedatar dan sekejam itu sih?
"Nama kamu sekalian!" Perintahnya lagi.
Aku semakin takut dan gugup saja, pria ini pemarah. Menyeramkan!
"Kamu jangan lari dari tanggung jawab!" Datarnya lagi, aku hanya mengangguk.
Aku pegal berdiri terus, pengen duduk. Dia mah enak tiduran di kasur!
Kulihat sesekali ia meringis sambil memijit pelipisnya, matanya terpejam. Ganteng sih, tapi kalau galak gak jadi ganteng.
Ceklek!
Pintu ruangan di buka, pria berkemeja biru muda masuk dengan kantong plastik di tangannya.
"Tuan, saya sudah datang."
Oh, ini yang ditelpon tadi. Ganteng juga, tapi lebih ganteng bossnya. Plak! Sadar Dina, kamu hari ini sudah banyak zina mata.
"Apa kamu bawa pesanan ku?" Tanyanya masih dengan mata terpejam.
"Iya, Tuan."
"Suruh perempuan itu pergi, tapi jangan sampai lari dari tanggung jawab."
Ngomong sendiri ke aku kenapa sih? Tadi juga ngomong langsung, dasar belagu!
"Nona, terima kasih sudah menunggu Tuan Samuel. Anda boleh kembali, tapi seperti yang Tuan perintahkan, anda tidak boleh lari dari tanggung jawab." Tuturnya sopan, nah gini. Pria idaman!
Aku mengiyakan dan langsung pergi meninggalkan dua orang itu di ruang rawat. Huh, melelahkan!
Mau minta tanggung jawab apa lagi sih? Kan gak parah juga, cuma lecet. Rumah sakit udah dibayar juga, nyebelin!
Hah, sayangnya aku gak punya keberanian seperti itu untuk membantah. Aku takut dilaporkan ke polisi, melihat dari pakaiannya sepertinya orang kaya.
Dan aku gak mau berurusan sama orang kaya, yang bisa mendapatkan segalanya dengan uang!
Kali ini aku mengendarai motor dengan hati-hati, tidak ingin mengulang hal yang baru saja terjadi.
*****
"Assalamualaikum, Bunda." Salam ku ketika memasuki rumah. Sudah hampir ashar, dan aku lelah sekali.
Penampilanku acak-acakan, jilbab miring kemana-mana. Gamis lusuh kayak di kunyah sapi, muka lecek. Ok fix! Aku kayak gembel!
"Wa'alaikumussalam, udah pulang anak gadis Bunda. Udah selesai urusannya?"
Aku hanya mengangguk saja, tidak ingin berbohong lagi.
"Kok lemes, sih?" Aku nempel di badan sebelah kanan Bunda. Saat ini kami sedang berada di sofa ruang keluarga, Bunda sedang menggarap tugas kantor.
"Iya nih, Nda. Belum sempat makan siang tadi," jawabku lesu.
"Nah, kan. Kebiasaan, sana makan dulu! Kamu ini, udah Bunda bilang berkali-kali, kalau ada urusan di luar harus tetap makan. Bandel banget sih," omel Bunda menjewer telingaku.
"Aduh Bunda! Maaf, tadi terlalu serius." Gimana sempat mikir makan Nda, wong aku ketakutan tadi. Udah gitu di marahin lagi.
"Sana makan! Bunda udah masak buat malam sekalian tadi," usir Bunda mendorong bahuku.
"Iya Nda, cup."
Aku mengecup pipi kanan Bunda, dan berlalu menuju dapur untuk makan. Nyesel aku, seharusnya tadi mau-mau aja waktu Kak Randi suruh pesen bakso.
Mana tau kalau mau ditraktir, kan tadi niatnya aku yang harus traktir. Penyesalan memang datang terakhir, mungkin juga gara-gara lapar tadi aku tidak fokus berkendara.
"Jangan lupa mandi terus sholat sekalian, Dek!" Teriak Bunda dari ruang keluarga.
"Iya, Nda!"
Nah, kebiasaan burukku. Kalau sudah lelah pasti langsung tidur, dan sudah di bangunkan. Makanya kalau sudah waktu sholat harus sholat dulu, biar gak bolong sholatnya.