Seminggu ini hariku berjalan seperti biasanya, tidak ada hal yang menguras emosi seperti hari-hari yang lalu. Tapi, tidak dengan pikiranku, aku harus ekstra untuk UAS yang mulai hari hari Senin kemarin, dan sekarang masih hari Rabu. Tiga hari lagi menuju kelegaan yang hakiki.
Hubunganku dengan Kak Randi malahlebih dekat dari sebelumnya. Aku yang mulai belajar ikhlas pun dirundung rasa senang melihat hubungan Kak Randi dengan Kak Priska. Kak Priska ternyata orangnya asik, dan sangat cantik. Wajar saja Kak Randi jatuh cinta padanya, aku saja yang wanita terpesona.
Tapi saat ini mereka sudah untuk di temui, maklum semester akhir. Pastinya banyak hal yang diurus.
Ting!
085381574xxx
Siang ini, di restoran Eilf!
13.30!
Aku terbelalak melihat pesan dari nomor asing ini. Maksudnya apa sih? Dann, siapa dia? Gayany bossy banget! Restoran Eilf? Kayak pernah denger.
Eits! Bentar-bentar, jangan bilang ini pria yang aku tabrak waktu itu?!
Astaghfirullah! Aku kira dia udah lupa.
Ting!
Awas kalau tidak datang!
Polisi menunggu!
Aku makin terbelalak dengan pesannya kali ini. Sampek bawa polisi ini, bahaya. Allah, aku gak mau dipenjara.
Oke.
Huh, tenang Dina. Istighfar. Jangan panik, oke?
Aku melihat jam di layar hpku. Pukul sebelas lebih sepuluh menit. Sekitar dua jam lagi lah.
"Woy! Diem-diem bae! Lagi ngapain sih?" Ih, Yuna mulai kepo! Ngomong-ngomong sahabatku ini baru saja keluar dari kelas. Karena bagi siapa yang sudah selesai, maka boleh meninggalkan kelas. Tentunya aku cepat selesai bukan karena pintar, lebih ke ingin cepat usai pusingnya. Kalau gak bisa dipaksain juga gak bakal nemu jawabannya.
Aku mencibir ke arahnya, "rahasia dong!"
"Ck, gayaan. Pake rahasia-rahasia segala lagi." Yuna berdecak sebal dan duduk di sebelahku. Mengambil ponselnya dan mulai berselancar di dunia maya.
"Biarin, dong!"
"Ngomong-ngomong, kok tumben ya, kantin sepi? Pada kemana yang lain?"
Aku mengamati kantin yang biasa jadi tempat tongkrongan kami selama dua tahun ini. Sepi, iyalah. Kan lagi UAS yang lainnya.
"Ya iyalah, Yun. Kan yang lain lagi pada di kelas, lagi ujian." Kataku sebal, ni anak!
Yuna manggut-manggut, tapi tetap asyik dengan dunia mayanya.
Dasar!
"Bu, mie ayam dua ya! Sama air putih anget juga dua." Pesan Yuna pada Bu Rika–penjual Mie ayam dan bakso di kantin kampus dan menjadi langganan kami setiap pergi untuk jajan di kantin. Selain rasanya yang enak dan khas, harga yang dipatok ringan untuk kantong kami yang pas-pasan.
Di kantin lantai bawah ini, makanan yang tersedia bukan makanan yang mengandung tema nasi. Kebanyakan penjual mie-miean yang bervariasi.
"Oke, Neng!" Bu Rika menyahut dari balik gerobaknya. Beliau berjualan dibantu oleh anak laki-lakinya.
"Hari ini aku traktir kamu, itung-itung syukuran ujian." Cengir Yuna melihat tatapan penuh tanyaku.
Aku berdecak melihat kelakuannya, "ujian belum kelar, Yun."
"Yaa mumpung Din. Besok-besok belum tentu aku bisa traktir, hehe."
Yah, Yunanda Tari–sahabatku sejak SMA ini juga bukan dari kalangan atas. Ayah dan Ibunya mengandalkan warung sembako untuk kehidupan sehari-hari. Dan Yuna membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan online. Lumayan, bisa untuk bayar kuliahnya dan kebutuhan sehari-hari.
"Monggo, Neng!" Bu Rika menghidangkan dua mangkok mie ayam dan air hangat di depan kami. Hemm, menggoda lidah!
"Makasih, Bu." Ucap kami bersamaan.
"Sama-sama, Neng."
Aku dan Yuna menikmati mie ayam dalam keterdiaman, belajar dari pengalaman yang lalu. Saking asyiknya makan sambil ngobrol, aku dan Yuna sampe ketelat masuk ke kelas. Mana dosennya galak, jadilah kami tidak boleh masuk. Dan sejak itu, pas makan ya makan. Ngobrolnya di dalam kelas aja!
"Aku pulang dulu ya, Dina. Udah hampir Dzuhur nih!" Ujar Yuna yang mulai memberesi perlengkapan make up nya. Anak ini gak malu make up dimana aja, salah satunya di kantin ini. Katanya, yang penting gak bikin rugi orang yang liat!
"Iya, aku juga ada janji sama temen." Ujarku kalem.
"Siapa? Emang kamu ada temen selain aku?" Tanyanya dengan wajah menyebalkan.
Aku cemberut, emangnya aku sependiam itu sih? Aku juga punya teman, "ya kali Yun
Aku juga punya temen yang lain, banyak lagi."
"Ck, makanya jadi orang jangan pendiem banget. Jadi diragukan kalau punya temen."
Plak!
"Auh! Sakit, Din." Yuna meringis sambil mengusap lengannya yang aku pukul.
"Tau ah, dah sana pulang." Usirku sebal.
"Oke, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Sepeninggalan Yuna, aku memikirkan kembali kata-katanya. Hah, aku memang suka menyendiri. Hanya Yuna yang dekat denganku, selebihnya berbicara ketika ada perlu. Introvert, maybe?
*****
Restoran Eilf.
Restoran orang kaya! Itu kesan pertamaku ketika memasuki restoran bergaya Eropa ini. Semuanya mewah, bahkan wadah tisunya pun berkilauan. Dan ini pertama kalinya aku masuk ke restoran ini, itupun aku juga baru tahu kalau di sini ada restoran ini.
Aku sudah disini sejak dua belas menit yang lalu, ruangan privat yang sudah di pesan oleh pria itu. Dan itu menandakan dia orang kaya, karena waktu aku searching tentang restoran ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memesan privat room. Harga makanannya pun bikin gigit jari, yang paling murah dengan harga 100 ribu.
Astaghfirullah! Itu mah bisa jadi uang jajan aku buat setengah bulan. Pemborosan! Baiklah, orang kaya mah bebas.
Si derap sepatu memasuki indra pendengaran ku, dari suara sepatunya aja berkelas.
Sret!
Maa syaa Allah! Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Pria di depanku ini lebih tampan dari di rumah sakit waktu itu.
Kemeja biru langit dengan lengan panjang membalut rapi tubuh atletisnya, dasi hitam, rambut yang di sisir rapi. Astaghfirullah.... Nyebut, Din. Gak boleh mikir yang aneh-aneh. Tapi sedari awal melihat wajahnya dengan jelas ketika di rumah sakit, aku gak bisa menghentikan otakku berimajinasi tentangnya.
"Kamu mau pesan, apa?"
Pertanyaan membuat lamunanku buyar, "eh? Em–saya i-kut saja." Ish, kok gugup gini sih?
Gimana gak gugup, tatapannya itu lho, tajam. Persis orang yang mau ngajak gelut.
Kulihat pria itu memesan makanan–yang aku tidak tahu itu apa. Dan Mbak-mbak pelayan yang sedari tadi mesam-mesem di samping pria itu. Pasti terpesona tuh, Mbaknya.
Ngomong-ngomong, aku belum tahu namanya. Pasti ganteng seperti wajahnya.
"Ehm," dehemnya untuk mengurangi suasana canggung di antara kami.
"Em-anu, Tuan. A-apa anda mengalami luka serius?" Tanyaku takut-takut tidak berani menantapnya yang duduk di seberang.
Dia masih diam. Tapi tatapannya tetap menghujaniku. Kenapa sih, nih orang?
Kulihat Mbak pelayan tadi membawa pesanan pria itu, ternyata sea food yang menjadi pilihan. Ditambah minuman yang–aneh menurutku. Aku belum pernah melihat minuman berwarna hitam ini. Apa ini semacam kopi? Entahlah. Salahku juga sih, gak pesan sendiri.
"Makan!" Suara dingin menusuk gendang telingaku. Sekian lama dia duduk di sana, dan hanya kata "makan" yang terucap. Mana nadanya dingin plus kaku. Bikin keki!
Aku pun mulai makan tanpa suara, hemm benar-benar luar biasa rasanya ketika potongan udang masuk ke mulutku. Perpaduan rasa yang pas, manis, pedas, gurih. Selera aku banget! Pantes aja harganya mahal, udangnya juga besar banget. Kapan-kapan kalau punya uang ajak Yuna makan di sini ah!
Ting!
Kak Randi
Assalamualaikum, Dek.
Pesan dari Kak Randi muncul di tengah aku menikmati makan siang kedua ku.
Me
Wa'alaikumussalam, Kak
Ting!
Kak Randi
Lagi, apa Dek?
Ugh! Ini nih, yang bikin hatiku lumer, dulu. Kak Randi itu pria yang perhatian dan romantis. Sampe-sampe aku salah mengartikan perhatiannya. Tapi sekarang gak boleh baper lagi, doi dah punya orang!
Lagi makan, Kak.
Kakak sendiri?
Sret!
"Eh?"
Aku terkesiap kala hp yang semula di genggaman tangan kiriku berpindah tempat. Tangan kekar itu dengan cepatnya merebut hpku.
"No Activity, exept eat!" Ucapnya dingin dengan tatapan tajam.
Aku pun reflek mengangguk kaku. Allah, serem banget. Bunda aja kalau aku makan sambil main hp gak sampek rebut hpku.
Aku sudah selesai makan sejak lima menit yang lalu, tapi tidak dengan pria itu. Ia terlihat sangat menikmati makanannya, makannya pun terlihat santai dan–elegan. Tipe-tipe orang kaya.
Hah! Pengen ambil hpku yang ada di meje sebelah kanan tubuhnya. Tapi kok ya, takut. Nanti tanganku di tabok lagi!
Tak!
Dia sudah selesai makan!
"Saya ingin kamu bertanggung jawab atas apa yang menimpa saya." Ucap tetap dingin dan datar.
"Em, apa anda mengalami gagar otak Tu-an?"
Ia mengangkat alis sebelah kirinya dan terseyum sinis, "kamu mendoakan saya?"
Eh?! Kan aku nanya. Lagian kata dokter dulu gak papa lagi. Kok ini minta tanggung jawab, apa tiba-tiba saja otaknya konslet. Aku bergidik membayangkannya, "em, bu-kan begitu." Jawabku takut-takut, suaraku jadi ikut gagap kan.
Dia diam.
10 detik.
20 detik.
30 detik.
"Kalau begitu apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan saya?" Tanyaku akhirnya mengkahiri keterdiaman ini.
"Menikah," uhuk!
Aku melotot melihatnya, apa-apaan itu? "An-da bercanda, kan?"
"No, menikah dengan saya dan kamu aman." Jawabnya santai, bahkan tangannya bersidekap di d**a, matanya tidak lepas menatapku.
Brak!
"Tidak!" Teriakku, menolak permintaan konyolnya.
Tanpa permisi aku mengambil hpku dan pergi dari ruangan menyeramkan itu. Gila!
Pasti pria itu gila. Atau jangan-jangan dia orang yang memiliki kelainan s*x, dan mengincarku untuk menjadi korbannya.
Ya Allah, pikiran buruk berputar di kepalaku. Perjalan pulang kali ini serasa lebih jauh.