"Tidak!"
Maksudnya apa sih? Tidak, bukan dia yang cabut? Ngomongnya irit banget sih, bikin orang gagal paham. "Maksud anda apa, dengan berkata tidak?"
"Tidak, kamu belum bertanggung jawab. Jadi, jangan salahkan saya mencabut beasiswa kamu. Lagipun, masih banyak mahasiswi berprestasi lainnya." Ada nada ejekan yang aku dengar.
Geram! "Tapi itu tidak adil!" Sentak ku kini. Urusan akhir tentang sopan santun terhadap orang lebih tua. Ya, dilihat dari wajahnya dia seperti lebih tua dariku enam atau tujuh tahunan. Entahlah, aku sedang tidak ingin membahas masalah usia.
"Tidak adil? Bagian mana yang menurut kamu tidak adil?" Tanyanya dengan wajah sinis.
"Saya mendapat beasiswa tidak mudah, tapi kenapa anda memasukkan masalah pribadi ke dalam urusan beasiswa saya!" Tumpah sudah!
Kulihat pria itu tersenyum, tangannya ia lipat di depan d**a. Matanya tak henti menatapku tajam sejak aku mengutarakan maksudku, "menikah dengan saya. Dan semuanya akan aman, termasuk profesi guru yang Ibu kamu geluti sekarang."
Hah? Ibu? Bunda maksudnya! Kenapa sampai dibawa-bawa, "kenapa anda bawa Bunda saya? Masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan Bunda!"
"Ada. Kamu anaknya, dan saya tidak akan melepaskan begitu saja orang yang sudah mengganggu saya. Termasuk keluarganya," sadis. Kejam. Aku sudah berkaca-kaca mendnegar ucapannya. Aku tidak mau Bunda kena imbas dengan semua masalahku, tapi aku juga tidak ingin menikah dengannya. Bagaimana ini?
"Ta-pi..." Aku mau ngomong apa. Buyar semua, membayangkan wajah sedih Bunda. Bunda sangat mencintai profesinya sekarang. Beliau sangat menikmati menjadi seorang guru, guru juga menjadi tumpuan kami selama ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dia mengangkat sebelah alisnya menunggu kelanjutan dari ucapanku. "Jadi, bagaimana? Ini kesempatan terakhir, kalau–"
"Iya, saya setuju!" Allah, apa yang aku ucapkan tadi?! Spontan, ucapan itu keluar dari mulutku, otakku belum memerintahkan!
Dia tersenyum penuh kemenangan, tidak! Apa yang akan terjadi setelah ini? Aku tidak bisa membayangkan, otakku buntu lagi! Tapi satu hal yang tidak aku sesali, ini semua demi Bunda. Hal ini pun belum bisa membalas semua yang Bunda berikan untukku selama ini.
"Oke, besok datang ke sini!" Titahnya menyodorkan sebuah kartu nama. Linglung aku mengambilnya. "Ke-kenapa anda minta sebuah pernikahan?" Hal ini yang menggangu pikiranku juga, kenapa orang setampan dan sekaya dia meminta sebuah pertanggungjawaban dengan sebuah pernikahan. Apa dia memiliki kelainan seksual? Atau dia penjahat? Penculik? Mafia? Ya Allah, kenapa akhir-akhir ini pikiranku tidak jauh dari hal-hal yang buruk. Tapi aku tidak bisa menghentikan pikiran itu, dia mengalir begitu saja.
Dia kerkekeh sinis, "hanya ingin."
Hanya ingin? Jadi, dia tidak serius niatnya untuk menikah? Itu tidak benar!
"Kan, anda bisa mencari gadis yang lebih dari saya." Semoga dia berbaik hati untuk melepasku.
"Tidak ada gadis lain!" Aku gugup lagi.
"Tapi menikah bukan hal yang bisa dipermainkan. Saya tidak mau mempermainkan sebuah pernikahan." Negosiasi tidak salah kan?
"Kamu pikir saya sedang main-main?" Mata abu-abunya memandang semakin tajam.
"Ti-dak. Ta–"
"Tidak ada tapi-tapian! Kamu sudah setuju, dan tidak bisa ditarik lagi! Besok datang saja ke alamat itu!" Tajamnya lagi.
Aku mengangguk, auranya menakutkan! Sama seperti waktu di rumah sakit itu. Semoga setelah ini baik-baik saja, aku menggenggam erat kartu nama yang ia berikan. Di sana tertera nama Samuel Adidaya, sang pemilik.
***
"Anak Bunda kenapa ini? Lesu gini?" Bunda mengelus-elus kepalaku penuh sayang. Saat ini kami sedang menonton tv di ruang keluarga. Bunda duduk di sofa, sedangkan aku di lantai beralaskan kasur lantai dengan tubuh bersandar di sofa.
Aku cemberut mengingat sumber tidak semangatku, "gak papa, Bun. Lagi mumet aja, besok ujian Sintaksis. Adek belum paham," aku tidak bohong. Hal itu juga sedang memenuhi otakku.
"Kalau mumet kok, gak belajar. Malah nonton tv," omel Bunda. Hehe, iya juga sih. Tapi belajar pun pasti gak akan masuk. Wong otaknya masih penuh sama obrolan tadi siang.
"Hehe, males Nda. Pengen refreshing," cengirku pada Bunda.
"Cek, dasar! Males kok, dipupuk Dek. Jangan biasain, nanti bisa kecanduan loh."
"Iya, Nda. Kalau gitu aku ke kamar dulu ya," pamitku mengecup pipi Bunda. Mending di kamar kayaknya galau-galauannya. Gak enak dilihat Bunda, malu!
"Jangan tidur, tapi. Belajar," teriak Bunda dari ruang keluarga.
"Siap, Nda."
Di kamar aku tidak belajar, tentu saja. Apakah aku sudah bilang kalau otakku lagi buntu? Ya. Seharian ini aku rasa otakku buntu terus, lagi gak pengen mikir kayaknya. Huh, tapi pikiran banyak banget. Gak banyak sih, satu aja. Tapi rasanya kayak satu tahun masalah dijadikan satu. Dan itu karena pria songong, calon suamiku? Benarkan, dia calon suamiku? Aku sih, berharap itu hanya angin lalu. Semoga.
***
Dosen pengawas ujian baru saja keluar, aku menghela napas lelah. Kali ini di ujian hari terakhir, aku sudah tidak konsentrasi lagi. Jika biasanya aku keluar lebih dahulu dari dosen, kali ini dosen yang mengambil kertas jawabanku karena waktu ujian sudah habis.
"Kamu kenapa sih, Din? Kok seharian ini gak ada semangat-semangatnya. Biasanya ujian keluar paling awal, lah ini? Sampek waktu habis jawaban itu-itu aja." Ocehan Yuna malah membuatku semakin lemes.
Aku menggeleng, tanda tidak paham dengan keadaanku sendiri. "Aku juga gak tahu. Mumet kepalaku," aduku pada Yuna. Aku meletakkan kepalaku di meja, pusing sekali.
"Kamu kebanyakan mikir, kali. Makanya kalau ujian gak usah terlalu serius." Nih anak! Namanya ujian harus semaksimal mungkin dong usahanya.
"Ck! Bukan itu, gak tau kenapa akhir-akhir ini lagi lemes. Apa mau haid ya?" Hem, kenapa baru sadar.
"Paling iya. Oh iya, kamu mau ikut gak? Aku sama keluarga mau ke pantai, itung-itung refreshing sama nyenengin keponakan." Ajak Yuna antusias, duh lagi males keluar.
"Gak ah, lagi males keluar."
Yuna mencibir, "gayaan. Yaudah deng, pulang yuk. Pengen rebahan," ajak Yuna yang juga sudah berwajah lesu.
Ujian berakhir, kelas pun libur! Dan kita akan ketemu tiga bulan lagi, hihi. Nikmatnya kuliah ya pas libur panjang, bisa santuy!
Aku dan Yuna meninggalkan kelas yang memang tinggal kami berdua, jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Setengah jam menuju waktu Dzuhur, jalanan juga sudah panas. Huh, inilah resiko rumah jauh!
"Aku duluan ya, assalamualaikum." Yuna melambaikan tangan ketika mang ojol melajukan motornya.
Sebenarnya dia bisa saja bawa motor sendiri, tapi dasarnya anaknya males. Dia milih naik ojek karena enakan dibonceng, bisa santai. Padahal itu alesan, dianya aja lagi pedekate sama mang ojeknya, hihi. Ngomong-ngomong mang ojeknya masih muda ya.
"Assalamualaikum, Dek. Kamu mau Bunda beliin apa? Ini mumpung lagi di supermarket."
"Wa'alaikumussalam, Bunda. Beliin yang renyah-renyah ya, Bun hehe. Kripik dan sejenisnya." Hem, pengen nyemil akutuh.
"Adek masih di kampus?"
"Iya, Nda." Ngomong-ngomong aku tadi gak jadi pulang. Masih nongkrong di taman sambil cari angin.
"Yaudah, Bunda pulang agak sorean." Hem, sebenarnya sekolah sudah libur, tapi Bunda ngajar anak-anak jalanan yang tidak bersekolah. Seperti sekolah darurat, biasanya memang setiap liburan Bunda dan teman-temannya akan mengajar anak jalanan.
"Iya, Bun. Bunda hati-hati, Adek juga pulangnya telat, Bun. Mau refreshing, hehe." Aku tidak bohong loh, selain mau ke alamat yang orang itu berikan. Aku terlebih dahulu mau ke perpustakaan yang di sediakan pemerintah, sekedar cari referensi untuk otak buntuku.
"Iya, jangan kesoren ya pulangnya. Bunda tutup, assalamualaikum."
"Iya, Bunda. Wa'alaikumussalam."
"_"
"Hey, kok ngelamun di sini sendiri?"
"Eh, Kak Randi, Kak Priska." Wow, kejutan. Aku ketemu sama Kak Randi dan Kak Priska.
"Iya, Dek. Habis urus administrasi, kamu udah selesai kuliahnya?" Lembutnya suara Kak Priska, mana senyumnya manis.
"Iya, Kak. Ini lagi cari angin," kupasang senyum terbaikku. Bukan untuk cari perhatian sama Kak Randi, ya.
"Ck! Bukannya cari angin malah kesambet kamu nanti." Decakan sebal datang dari pria yang hari ini memakai kemeja merah hati, tampan.
"Ayo, ikut kami makan siang aja kalau gitu." Ajak Kak Priska, ih masak jadi obat nyamuk.
"Makasih, Kak. Kakak berdua aja lah, aku nanti makan di kantin aja."
"Di kantin pasti bakso lagi, kamu selama satu minggu berapa kali makan bakso. Jangan keseringan ah," ya ampun. Kak Randi kok cerewet gini, sih. Persis emak-emak ngomel.
"Bang, jangan galak-galak. Kasian tuh, Dina." Kak Priska mencubit lengan Kak Randi. Duduh, malah pada mesra-mesraan.
"Biarin, ini anak bandel. Ayo makan bareng kami, dilarang nolak!" Wajah Kak Randi nyeremin, galak banget.
Aku mengerucutkan bibir sebal. Kak Randi ini kok semakin posesif sih, kayak Abang lagi jagain adeknya. "Gak usah manyun, ayok!" Aku bertambah sebal mendengarnya, Kak Randi pun dapat cubitan lagi dari Kak Priska.
"Aku naik motor, aja." Ucapku ketika sudah di parkiran.
"Motornya biar diambil sama, Pak Indra. Kamu bareng Kakak," mutlak sudah. Kak Randi ini juga gak bisa dibantah.
"Iya, Dek. Lagian panas ini, nanti kita mampir ke masjid dulu buat sholat Dzuhur." Ya Allah, Kak Priska ini lembut banget. Aku jadi rela kalau Kak Randi dapat Kak Priska. Cantik luar dalam.
"Yaudah, deh."
Aku pun membuntuti Kak Priska, sedangkan Kak Randi sudah mengambil mobilnya. Ih, mau naik mobil lagi aku. Maklum ya, gak punya mobil. Jadi jarang naik, pergi-pergi pun juga nggak.
Mobil Kak Randi sudah membelah padatnya jalanan, dengan Kak Randi di balik kemudi didampingi Kak Priska. Dan aku di belakang sendiri. Motorku juga sudah di ambil sama Pak Indra–sopir Kak Randi.
***
"Kamu ngapain ke Adidaya Corp, Dek?" Tanya Kak Randi heran. Kami keluar dari rumah makan pukul setengah dua siang. Saat aku mengutarakan niatku ingin pergi ke Adidaya Corp, Kak Randi langsung Keukeh untuk mengantar. Meski aku sudah menolak, Kak Randi tidak bisa dibantah.
Rencanaku untuk pergi ke perpustakaan pun juga gagal. Tapi tak apa, aku mendapat ganti makam siang gratis di restoran mahal, hihi. Kok akhir-akhir ini aku sering dapat traktiran ya. Rezeki anak Bunda, hihi.
"Em, ada teman di sana, Kak. Terus kita janjian deh, di sini." Jawabku sedikit berbohong. Gak mungkin kan, aku bilang mau ketemu sama calon suami?
Kan Randi masih belum percaya, "bener?"
Aku tersenyum untuk lebih meyakinkan, "iya Kak. Kakak tenang aja, bukan yang aneh-aneh kok."
"Iya lho, Bang. Adek kamu itu gak bakal diculik lah." Goda Kak Priska yang melihat wajah ragu Kak Randi.
"Ck! Yaudah kalau gitu, hati-hati. Kalau ada apa-apa, hubungi Kakak atau Kak Priska, paham?"
Duh, perhatian sekali Kak Randi ini, "iya Kak. Aku duluan ya, assalamualaikum."
Aku pun turun dari mobil Kak Randi, berdiri di sebelah mobil Kak Randi yang belum juga beranjak. "Hati-hati, Dek." Pesan Kak Priska untuk terakhir kalinya.
"Iya, Kak."
Langkahku memberat seiring dekatnya jarak antara aku dan gedung tinggi ini. Sungguh, aku seperti menuju ruang eliminasi. Mendebarkan, juga menakutkan. Bolehkah aku kabur, saja?
Resepsionis tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba.
Ting!
Devil
Jangan coba-coba kabur!
Atau
Astaghfirullah! Kok dia bisa tahu aku pengen kabur sih? Lemes.