Prolog

638 Words
Dalam perjalanan hidup Ada dua hal terselip dalam ingatan Pertama adalah angan Kedua adalah kenangan... *** Setahun lalu...  "Nadia! Apa kamu dengar yang Tante  katakan?" Suara wanita paruh baya itu menyusup ke dalam gendang telinga mahasiswinya. Lengkingannya tegas bergemuruh. Mungkin saja dapat mengalahkan balok nada A, yang biasa diset ekuivalen dengan 440 Hz. Untungnya ruangan tersebut kedap suara. Sehingga bisa menahan gema, tak terdengar sampai ke luar. "Katakan, Nadia? Apa kamu nggak bosan mengunjungiku hampir tiap tahun? Astaghfirullah ... kalau bukan karena  Hariyadi  adalah kakakku. Aku nggak akan sudi mengurusi mahasiswa seperti kamu, Nad. Kamu itu keponakanku. Tapi kenapa sikapmu sungguh membuatku pusing. Mau sampai kapan  kamu begini?!" Sekali lagi Widya Ariyanti mengetuk keras sudut meja dengan gulungan kertas tak berdosa. Satu tangan lainnya sudah bertengger memijat kening. Sementara gadis yang diajak bicara hanya meniup poni sepintas. Ekor matanya berputar mengisyaratkan kejenuhan yang merajalela. Sudah hampir tiga puluh menit lebih Widya mengoceh tak karuan. Hampir menyaingi panjangnya sungai Mahakam di Borneo. Dekan berkacamata itu masih menahan diri. Bosan mendapati Nadia terus terlibat baku hantam dengan mahasiswa lain. Setalah bulan lalu, Sapto patah tulang hasil pitingannya. Sekarang, Heru harus masuk rumah sakit. Kemarin Nadia melayangkan kepalan tangan ke perut dan wajah pria tersebut. Heru mimisan dan pingsan di tempat. Alasannya sangat sederhana, tak suka Heru mengintip rok temannya dengan pecahan kaca. Tapi Nadia enggan berkomentar dan membela diri. Ia tak ingin membuang kata-kata percuma. Pada akhirnya, pelaku tetap disalahkan. Penyebab kericuhan tetap jadi terdakwa. Tak peduli apapun alasannya. Terkadang banyak orang hanya melihat dari perspektif satu sisi. Mengesampingkan sisi lain yang belum tentu salah. "Kamu diskors dua minggu." "Baik, Bu." "Hanya itu? Apa nggak ada penyesalan di hatimu, Nad?" Nadia menggeleng cuek. "Apa yang harus disesali? Lagian waktu nggak bisa diputar ulang kan, Bu?" katanya tak acuh. Widya terdiam, kehabisan akal menghadapi sikap brutal keponakannya. Wanita itu bertopang dagu setelah membuang napas kuat-kuat. Ada lenguhan penat tersisa dari caranya melempar karbondioksida. "Apa saya boleh pergi, Bu?" "Bawa surat panggilan ini untuk kakakku. Semoga aja beliau nggak kena serangan jantung lagi gara-gara ulahmu." Setelah mengambil amplop putih yang disodorkan, si gadis bermata indah dengan gaya kasualnya undur diri secara sopan. Bagaimanapun juga Nadia masih punya rasa hormat pada tantenya. Begitu keluar, ia disambut oleh dua gadis dengan tatapan mengejek. "Lihat tuh pemegang rekor tertinggi di kampus. Rekor pembuat masalah! The Queen of Problematic!" racau salah satunya. "Aku rasa ya gitu, kalau nggak dapet didikan bener dari keluarganya. Kasihan banget," lanjut seorang lagi sambil memainkan rambut kemerahannya. "Oh ya, lagian aku denger orang tuanya udah lama nggak ada. Yah, mereka beruntung sih, nggak  perlu repot ngurusin anak cewek super resek kayak dia," tambah si rambut merah.  Awalnya Nadia menutup telinga saja. Tapi mendengar keluargnyaa disebut-sebut, ia tak terima. Kebetulan ada ember biru berisi air beserta kain pel di dekat pilar. Ia diam melewati dua gadis itu pura-pura masa bodoh. Hingga kemudian, diraihnya ember berisi air kotor, langsung ia lempar ke arah sasaran. Seketika teriakan dan tawa lebar berkumandang di sekitaran. "Apa-apaan sih?! Gila kamu ya!" "You creazy!Dasar cewek stres!" Pekik dua gadis bersahutan. "Nadia! Apa ini!" Widya tergopoh dengan sebuah map terpegang di tangan. Ia terpaksa ke luar melihat keadaan. Tak tahan mendengar kericuhan yang sampai ke dalam ruangan. Itu akibat sang keponakan tak menutup pintu dengan benar. Bibir tebal perempuan berkacamata itu ternganga kaget. Dilihatnya dua mahasiswi dalam keadaan basah kuyub dan berbau aneh. Kacamata Widya turun sedikit. Membiarkan dua mata mendeliknya tereskpose jelas  mengintimidasi Nadia. "Bukan apa-apa, Bu. Cuma sedikit pelajaran. Supaya mereka lebih berhati-hati saat bicara. Mulut yang kotor itu perlu sedikit sentuhan kebersihan," timpal Nadia santai. Dari jarak beberapa meter, seorang pria menonton dengan takjub. Ia bersandar di salah satu tiang bangunan berukirkan bunga tulip. Tangan kirinya menggenggam gulungan amplop persegi panjang berwarna cokelat. Sedangkan tangan kanannya, sibuk merekam aksi sang gadis superhero. Tanpa sadar, sudut bibirnya mengembangkan tawa kecil. "Manis juga itu cewek..." gumamnya lirih.  ==♡LoveGuard♡==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD