Part 3

2089 Words
Atika hanya bisa menganga ke arah Lia yang sedang makan di pinggir tempat sampah. Untung saja Lia tidak makanan makanan basi yang ada di tempat sampah itu. Atika dengan cepat berlari ke dapur kumuhnya dan mengambil nasi putih yang telah dia hancurkan menjadi halus agar sang nenek yang dia temukan itu bisa mengunyahnya. "Oh temanku...terima kasih karena telah memberiku makanan ini...kau sungguh baik..." ujar Lia ke arah Atika. Atika tersenyum kikuk. Dia masih belum ngeh dengan sifat nenek yang dia temui di bak sampah tadi siang. "Sama-sama nek." Balas Atika. Sret Sret Atika maju dan membersihkan sisa makanan, piring dan gelas yang dipakai oleh Lia. Setelah selesai makan, Lia kecil sedang duduk di dalam rumah beralaskan karpet plastik. Atika memperhatikan penampilan dari Lia. Nenek 76 tahun itu sedang mencoba mengingat sesuatu. "Nenek, ayo mandi, Atika sudah memasak air panas," ujar Atika. Sret Lia mendongak ke arah Atika. "Oh ya ampun...aku melupakan jaket yang dipakaikan oleh suamiku...bagaimana ini..." "!!!" °°° Drrt drrt "Halo-" "Ke tempat daur ulang sampah di jalan x, ada jaket ibu disana!" Klik Panggilan itu diputuskan dari seberang. Sret Brroom broom! Farel menginjak pedal gas mobil dan pergi ke tempat yang dikatakan oleh Busran. "Tempat daur ulang sampah...ibu kesana?" Farel mengemudikan mobilnya. Drrt drrtt 'Ibas calling' "Halo Ibas," "Papa di tempat daur ulang sampah di jalan X!" "Papa dalam perjalanan ke sana," ujar Farel. "Baik, pa." Klik Nibras memutuskan panggilan teleponnya. °°° "Oh temanku...terima kasih atas pakaian ini...aku menyukainya..." ujar Lia riang ke arah Atika. Atika mengangguk dan tersenyum. "Baguslah kalau nenek suka, baju ini dulu baju Atika, tapi sekarang tidak muat di badan Atika lagi, kalau di nenek pas." Ujar Atika. "Oh...begitu rupanya..." Lia manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu, aku akan membawa nenek ke kantor polisi untuk melaporkan orang hilang, mungkin saja keluarga nenek bisa mengetahui keberadaan nenek." Ujar Atika. "Ah benar...suamiku...aku mencari suamiku..." ujar Lia, dia mengingat suaminya lagi. "Baik. Ayo kita pergi." Ajak Atika. "Ck! Kenapa harus ditolongin? Heh Atika, kamu nggak mikir yah kalau kita ini udah miskin, nggak punya makanan tapi kamu malah ngambil persediaan makan malam kita, punya otak nggak?" Kania Sartika terlihat kesal dengan adiknya. Atika memandang ke arah kakak perempuannya. "Siapa yang cari uang buat makanan di rumah ini?" Kania terdiam. Dia hanya mencibirkan bibirnya. "Aku yang cari uang buat beli makanan, jadi kakak nggak usah marah-marah, toh aku nggak pakai uang kakak buat beli berasnya," ujar Atika lagi. Kania melirik adiknya dengan ekor mata. "Heum!" "Cepat bawa nenek bau itu ke kantor polisi, bau sekali badannya," Kania mendengus. Dia melirik sinis ke arah Lia yang sedang mengagumi baju yang sedang dia pakai. "Kita kalau tolong orang itu yah lihat ciri-cirinya, orang kaya yang kamu tolong," ujar Kania memandang Lia sinis. "Ini orang gila yang kamu tolong! Udah pikun, hilang ingatan, tua, miskin lagi kayak kita." "Bau busuk lagi!" sambung Kania jengkel. "Kak, sadar diri, jangan hina orang lain, biar nenek ini tua, tapi nenek ini juga manusia sama kayak kita, nolong orang itu baik, dapat pahala, siapa tahu nanti kita dibalas Allah dapat rejeki di masa depan." Balas Atika ke arah kakaknya. "Heh, tahu apa kamu kalau nolong orang itu dapat pahala? Lihat! Hari ini kami nolong nenek ini, itu! Nasi dan telur untuk kita makan malam ini habis dimakan sama nenek rakus itu!" ujar Kania berapi-api. Dia masih dongkol karena Lia makan dua piring nasi yang dihaluskan dan dua telur ceplok miliknya. Sret "Ini, beli telor buat kakak dan nasi, makan saja di warung malam ini," ujar Atika. Dia sudah bosan beradu mulut dengan kakak perempuannya. Sret Kania mengambil uang dua puluh ribuan dari tangan Atika, lalu dia melirik ke arah Lia yang masih mengagumi rok lama dari Atika. "Dasar nenek gila," "Heum!" Tak Tak Tak Kania mendengus sinis lalu berjalan keluar rumahnya, dia pergi menuju ke warung terdekat di pinggir rumah mereka. "Ada-ada aja, masalah nasi dan telur saja sampe kayak gitu," ujar Atika. "Um...temanku..." panggil Lia. "Ya nenek?" "Apakah perempuan tadi tidak menyukaiku?" tanya Lia dengan tatapan sedih. Atika tersenyum kikuk, dia tidak enak hati jujur kepada Lia bahwa benar sang kakaknya tidak menyukai Lia berada di rumah mereka karena menghabiskan nasi dan telur. "Apakah dia marah karena aku makan banyak?" tanya Lia lagi. Gleng gleng Atika menggeleng kuat, dia menyangkal. "Tidak nenek! Nenek makannya sedikit kok!" "Benarkah?" tanya Lia. Glung glung "Benar nek." Atika mengangguk. °°° Sret sret sret "Oh indahnya pemandangan di malam hari..." suara Lia terdengar senang, dia sedang memandangi jalanan yang ramai. Atika, sang teman barunya itu sedang menarik gerobak yang tadi siang. Dikarenakan tubuh Lia yang sudah tua dan sakit pinggang, akhirnya Atika berbaik hati mau menarik gerobaknya lagi dengan Lia duduk di atas gerobak. "Oh temanku...apakah kau lelah?" tanya Lia, sudah setengah jam baru Lia menanyakan kabar Atika yang sedang menarik gerobak yang dia naiki. "Hehehe," Atika yang mendengar pertanyaan dari Lia terkekeh geli. "Tidak nek, aku kuat, sudah biasa!" ujar Atika dengan nada bersemangat. "Oh temanku...sungguh kuat engkau..." ujar Lia takjub memandang ke depan, Atika sedang menarik gagang gerobak. "!!!" Atika tersenyum. "Sabar Atika, menolong orang itu baik, apalagi nenek yang sudah tua." Gumam Atika. Mereka akan ke kantor polisi terdekat. "Oh temanku..." panggil Lia. "Ya nek?" "Aku rasa aku ingat jalan itu," unjuk Lia ke arah sebuah jalan yang dia rasa itu familiar. Sret Atika menghentikan tarikan gerobak. Lalu dia melihat ke arah sebuah jalan yang di tunjuk oleh Lia. "Perumahan?" Atika mengerutkan keningnya. "Ada apa nek? Kita sedikit lagi akan ke kantor polisi," tanya Atika ke Lia. "Oh temanku...aku mengenali mobil yang itu...ah...sepertinya..." ujar Lia ketika dia menunjuk ke arah sebuah mobil silver berkaca tembus. Sret Atika melihat ke arah mobil silver itu, terlihat seorang pemuda yang menurutnya lumayan tampan mengendarai mobil itu. "Oh? Apakah itu Ibas cucuku?" Lia memandang bingung ke arah mobil sliver yang telah menjauh itu. "Oh ya ampun...apakah aku punya anak?" gumam Lia lagi. "Sssh...huuh..." Atika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku pikir nenek kenal orang yang ada di dalam mobil, padahal nenek tidak tahu," ujar Atika. Sret Sret Dia kembali menarik gerobaknya  menjauh dari gerbang perumahan elit itu. Atika memaklumi ingatan dari Lia. Pikun. °°° Drrt drrt "Gaishan, aku sudah menelepon semua orang kalau di tempat sampah daur ulang ada jejak nenek disana," ujar Nibras mengangkat panggilan dari sepupunya. "Kau dimana sekarang?" tanya Gaishan dari seberang telepon. "Di dalam mobil menuju ke tempat daur ulang sampah, aku dari rumah. Kakek menolak makan jadi aku mengambil beberapa pakaian nenek Lia untuk menghibur dan membujuk kakek agar makan." Jawab Nibras. "Ok, baik. Hati-hati, papaku sudah ada di sana, aku sebentar lagi sampai." Ujar Gaishan. "Baik. Kau hati-hati." Balas Nibras. °°° "Huh! Akhirnya! Kantor polisi juga-heh?!" Sret Sret Sret Bugh Bagh Brak "Akh!" Kretak "Akh!" Dor Dor Dor "Senjata!" Atika melotot kaget, ketika melihat kantor polisi yang hendak dia masuki ternyata ada tawuran. "Tangkap! Jangan sampai lari! Minggir! Minggir! Ini polisi! Tersangka pembunuhan kabur!" "Minggir! Minggir! Semua menunduk! Tersangka ada senjata api!" Dor Dor Dor Polisi itu menunduk ketika tembakannya di balas oleh tersangka pembunuhan yang kabur melarikan diri. Sret Brak Hap "Nenek! Tunduk! Jangan mengintip!" Atika dengan cepat menarik gerobak menjauh dari arah kantor polisi, dia berusaha menjauh sejauh mungkin dari baku tembak yang terjadi antara polisi dan pembunuh. "Yuhuu...ada petasan! Hore..." Lia tertawa bahagia ketika mendengar tembakan pistol yang saling balas antara polisi dan tersangka pembunuhan yang berusaha kabur. Sret Sret Sret Tak Tak Tak Atika lari sambil berusaha menarik gerobak menjauh, apapun yang terjadi, dia harus menjauh dari tempat itu, tadinya dia ingin pergi untuk melaporkan bahwa nenek yang dia temukan tidak tahu jalan pulang, alias orang hilang. Namun, buyar sudah niat itu ketika melihat langsung baku tembak antara polisi dan pembunuh. Lebih baik mencari aman saja dari pada mati sia-sia. Masa bodoh dengan melaporkan nenek hilang, yang penting nyawa tidak hilang. "Lapornya besok saja kalau sudah aman!" "Oh ya ampun...pria baju hitam itu memegang petasan ke arah kita...ah...hahaha hei...disini..." ujar Lia senang. "Apa?!" bola mata Atika hampir lompat ingin berlari menyelamatkan dirinya sendiri. Dor Dor Tak Tak Atika berlari. "Menunduk! Menunduk!" teriakan seorang polisi menggema. "Aaaahh! Lari! Lari!" "Lari woy! Lari!" "Pistol! Pistol!" Tak Tak Tak Masyarakat berlarian, bahkan ada yang saling injak karena ingin menyelamatkan diri. Atika lari sekuat tenaga, cengkraman di gagang gerobak dia pegang erat. "Huh! Huh! Huh!" Atika ngos-ngosan. Sementara Atika ngos-ngosan karena lari, Lia tertawa gembira karena senang. Selama sepuluh menit dia menarik gerobak itu berlari-lari, berlomba dengan warga yang panik berlari. Untung saja Atika ingat bahwa dia sedang membawa nenek di dalam gerobak jadi dia membatalkan membuang gerobaknya. Pasalnya, jika dia ingin turun dan merangkul sang nenek untuk berlari, akan lama, sama saja dengan kasih nyawa gratis untuk ditembak. Nenek yang dia bawa itu sudah tua dan sakit pinggang. Tidak mungkin Atika menyeret nenek itu di sepanjang jalanan. Jadi, dia terpaksa menarik gerobak itu sambil berlari. Mau buang gerobak juga sayang sang nenek, mau tidak buang gerobak juga dia sayang nyawanya. Tak Tak Tak Atika kembali berlari sambil menarik kuat gerobak itu. "Huhu...hore...ah...laju sekali..." Lia berjingkrak kesenangan ketika gerobak yang ditarik oleh Atika melaju bagaikan laju mobil. "Hahaha...oh temanku...bunyi petasan sudah hilang..." ujar Lia. "Kembali lagi di tempat tadi..." ujar Lia kesenangan. "Aduh nenek, jangan tertawa, kesana antar nyawa." Atika berusaha untuk tidak menggertakkan giginya. "Sabar-sabar Atika, ini nenek-nenek," ujar Atika. "Hahaha...oh...mereka tertinggal jauh...kita menang..." ujar Lia senang. Piw! Wajah Atika memerah karena susah menarik napas. Mau marah juga takut dosa, mau tidak marah juga tidak bisa. Nenek, jadi dia memaksakan untuk memaklumi saja. Sret Sret Tak Tak "Huh! Huh! Huh!" Atika berhenti di pinggir gerbang perumahan elit yang tadi dia dan Lia singgahi. "Masuk saja kesana, ini kan darurat." Ujar Atika. Sret Sret Tak Tak Dia menarik gerobak itu lalu mendekat ke arah gerbang, ada tiga orang satpam yang berjaga diluar, sementara itu ada tiga di pos jaga. "Pak, pak! Tolongin kita, ada baku tembak pak di kantor polisi, kita mau sembunyi sebentar, itu ada pembunuh yang kabur dari kantor polisi lalu saling tembak!" ujar Atika. "Oh, ternyata itu bunyi senjata yah?" ujar salah satu satpam yang jaga. "Masuk neng! Masuk! Ayo masuk aja! Yono! Buka gerbang! Ini darurat ada baku tembak, jadi biarin mereka masuk ke sini dulu!" satpam yang satunya berteriak ke arah temannya yang di dalam gerbang. "Ok! Ok!" Yono, sang satpam yang menjaga gerbang itu membuka gerbang agar Atika bisa menarik gerobaknya masuk ke dalam kawasan perumahan elit itu untuk berlindung. Sret Sret Sret Tak Tak Tak "Bapak-bapak! Ibu-ibu! Semuanya! Masuk dulu disini!" ujar seorang satpam bernama Tarno. "Woy! Mereka kesini! Lari! Lari! Polisi dan pembunuhnya lari ke sini lagi!" "Lari! Lari!" "Awas! Tersangka pembunuhan kabur! Senjata api!" polisi berteriak. Tak Tak Tak Beberapa warga berteriak lari masuk ke dalam gerbang perumahan itu. °°° "Huuuh! Apes hari ini," ujar Atika sambil duduk di pinggir jalan. Gerobaknya di parkirkan di sampingnya, masih ada Lia yang duduk sambil tersenyum riang karena mendengar bunyi tembakan pistol yang dia selalu kita selama hidupnya adalah petasan. "Ah...senangnya ada petasan lagi..." ujar Lia senang. Sret Atika memandang ke arah gerobaknya. Beberapa orang juga ikut memandang ke arah nenek tua yang sedang duduk sambil tertawa riang di dalam gerobak itu. Mungkin hanya nenek itu saja yang tertawa disaat situasi tegang seperti ini. Dilihat dari ekspresi wajah sang nenek, tidak ada tanda-tanda ketakutan sedikitpun. Sret Semua mata memandang ke arah Atika. "Ehem!" Atika terbatuk. "Ehm...nenek saya sudah sangat tua...sudah pikun, jadi mohon abaikan saja, hehehehe..." ujar Atika menjelaskan sambil terkekeh. Glung glung Warga yang ada mengangguk mengerti. "Pantas saja nenek itu tidak histeris, rupanya dia sudah pikun," ujar warga A. "Ya, sudah tua," warga B mengangguk membenarkan. Sret Atika menutupi wajahnya dengan topi yang dia pakai. "Haiihhss! Apes sekali hari ini..." Sret Atika berdiri dan meraih gagang gerobak. Lalu dia menariknya. Atika agak kurang nyaman dengan tatapan para warga yang sedang membicarakan kewarasan dari Lia. "Sepertinya gila, lihat itu," ujar warga C. "Iya, aku lihat juga begitu," warga D menginyakan. Sret Sret Tak Tak Tak Atika menarik gerobak itu menjauh dari gerbang perumahan. Dia masuk ke dalam. Sret Sret Tak Tak Atika beserta gerobak yang dinaiki Lia itu menyusuri jalanan yang di depan mereka adalah rumah-rumah mewah. "Wah...bagus sekali rumah ini..." ujar Atika ketika melihat rumah-rumah yang mewah di tempat itu. "Ah...indah sekali..." ujar Lia. "Kapan aku bisa beli rumah kayak begitu?" tanya Atika pada diri sendiri. "Halah Atika! Mimpi tingkat dewa kamu! Mana mungkin bisa beli?" "Ck! Ck! Ck!" Atika berdecak. Menggelengkan kepalanya, pikirannya itu mustahil. "Ah, tapi ada mimpi baru bisa berusaha dan terwujud, siapa tahu aja dalam satu hari kedepan aku bisa dapat dua gerobak botol bekas untuk dijual, nah! Nabung, terus beli rumah deh! Hahahaha!" Atika tertawa terbahak. "Oh...sepertinya aku mengenal tempat sampah di dalam gerbang itu..." ujar Lia ketika dia melewati sebuah gerbang rumah berisi tempat sampah. "Oh? Apakah itu rumahku?" Lia memandang linglung ke arah gerbang rumah itu. Tertulis 'Kediaman Nabhan' di bagian tulisan. Ada beberapa pohon kecil dan bunga yang terlihat. Lia juga bisa melihat ada tempat duduk santai dan ada tempat sampah berbentuk anggur di sana. "Oh ya ampun...tempat sampahku disana..." ujar Lia sambil menunjuk gerbang belakang rumah yang merupakan tempat tinggalnya. Atika hanya menggelengkan kepalanya saja, dia memaklumi bahwa sang nenek itu hanya berkata sesuka hati saja. Atika terus menarik gerobaknya. °°° "Apa? Tidak ada lagi?" Farel ingin sekali membongkar tempat daur ulang sampah yang dia datangi. Seorang pemuda menggigil ketakutan. Tiba-tiba dia didatangi oleh belasan mobil mewah dan puluhan orang berpakaian hitam. Mereka menanyakan pemilik dari jaket bulu berwarna abu-abu yang ada di pinggir pagarnya. "Saya bersumpah tuan-tuan! Saya tidak tahu apa-apa! Saya juga tidak nyolong atau mencuri jaket itu!" ujar pemuda itu. "Lalu kau tahu ke mana pemilik jaket ini pergi?" tanya Farel. Gleng gleng Pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu tuan." "Aarrrggh! Ini jaket ibu! Aku tahu ini! Tadi siang ayah yang memakaikan sendiri jaket ini kepada ibu!" Farel terlihat kesal. Tak Tak Tak Seorang anak buah Nabhan berlari cepat dan berseru. "Tuan, segera pulang ke kediaman utama!" °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD