Part 2

2136 Words
Tak Tak Tak Agri dibantu dua pengawal berjalan mendekat ke arah meja tempat dimana dia dan istrinya duduk. Tak Tak Sret Agri berhenti, dia melihat ke arah kursi di depannya. Kursi itu adalah tempat dimana sang istri duduk tadi. "Lia..." panggil Agri. Sret sret Agri menoleh kiri dan kanan, pikirnya mungkin saja anak mereka atau menantu mereka sedang berbicara dengan istrinya. Agri melihat di sekelilingnya, dia melihat ke arah Farel yang merupakan anak sulung, tidak ada sosok sang istri disitu. Lalu Agri melihat ke arah lain, dimana ada cucu-cucunya. Tidak ada Lia disitu. Agri mengerutkan keningnya bingung. Setelah satu menit, Agri melihat ke arah pengawalnya. "Dimana istriku?" "..." Ketika suara dingin Agri terdengar. Seisi restoran itu sunyi seketika. Sret sret Farel, Busran dan Rafi menoleh ke ayah mereka. Agri melihat ke arah mereka. "Dimana istriku?" °°° "Kurang ajar kalian!" suara Agri menggelegar di seisi ruangan restoran itu. Tangannya yang tua itu dia layangkan ke arah anak dan cucunya. Sang nenek hilang. Para pria Nabhan tidak berani menyentuh pipi mereka yang sekarang telah berubah merah bekas lima jari tanda tamparan tangan yang kuat. "Cari istriku sampai dapat!" Agri berteriak histeris. Setelah Agri tahu bahwa sang istri tidak ada lagi di restoran, Agri mulai panik dan berteriak di atas para-paru. Sang istri hilang. Selama mencari beberapa jam, tidak juga ditemukan oleh siapapun. Pihak kepolisian bahkan turun tangan untuk pencarian Lia. Pencarian besar-besaranpun dilakukan. Namun hingga jam lima sore, lima jam Lia hilang, mereka tidak menemukan keberadaan dari Lia. Jihan dan menantu Nabhan menangis ketakutan. Ibu mertua mereka itu tidak seperti orang tua pada umumnya. Pada umur 40 tahun, ibu mertua mereka sudah mulai pikun dan lupa akan apapun. Farel, Busran, Rafi, Gaishan, Ghifan, Nibras dan Ahsan menjadi lampiasan kemarahan dari Agri. Wajah mereka memerah karena tamparan keras dari Agri. °°° "Bagaimana?" Farel berbicara dengan adiknya Busran via ponsel. "Tidak ada kak," jawab Busran. "Sial! Bagaimana sampai ibu bisa hilang? Pengawal banyak ini buat apa saja?" Rafi dongkol di sebelah kakak sulungnya, Farel.  "Aku akan cari di bagian Jakarta Selatan, kau di bagian Ancol," ujar Farel. "Baik," sahut Busran dari seberang telepon. Klik Panggilan diputuskan oleh Busran. Sret Farel menjambak kasar rambutnya. "Arrg! Kenapa sampai ibu bisa hilang?!" Farel merasa frustasi. °°° "Tidak ada di seluruh tempat sampah di kota Jakarta ini." Gaishan, orang yang selalu bercanda itu menghilangkan rasa humornya. Keadaan darurat. Nenek mereka hilang. Glik glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi Gaishan bergesekan. Broom broom Pria 24 tahun itu melajukan mobilnya dan mendekat ke sebuah bak sampah yang dia lihat di pinggir jalan. Sret Brak Gaishan turun dari mobil dan memperhatikan bak sampah didepannya. Dia tahu bahwa ini yang ke tiga kalinya dia datang ke bak sampah itu, namun dia berharap mungkin saja dia bisa menemukan petunjuk tentang sang nenek. Tidak ada apapun. °°° "Cctv menunjukan bahwa nenek pergi ke arah barat, namun cctv di seberang jalan barat tidak menangkap bayangan nenek." Ujar Nibras. Dia sedang melihat lagi rekaman cctv untuk yang ke empat kalinya. Mungkin saja dia bisa menemukan petunjuk atas kepergian sang nenek. "Di jalan selatan apakah ada cctv lain selain rekaman cctv yang kita dapatkan ini?" tanya Nibras ke arah dua orang pengawal. "Ada tuan muda, namun tidak terlihat bahwa nyonya besar melewati jalan selatan, kami sudah melihat beberapa kali rekamannya." Jawab salah seorang pengawal. Sret Nibras menjambak rambutnya kesal. Hari bahagia yang seharusnya terjadi menjadi hari buruk dalam keluarga mereka. Di hari pernikahan kakek dan nenek mereka, sang nenek hilang. Itu semua karena keteledoran mereka. Mereka terlalu sibuk memperhatikan orang lain, terlalu sibuk meladeni orang lain hingga lupa bahwa sang nenek mereka berjalan melewati belakang mereka tanpa mereka sadari. Drrt drrt Ponselnya bergetar. "Halo, Ahsan, bagaimana disana?" Nibras mengangkat panggilan telepon dari adik sepupunya. "Tidak ada di tempat sampah seluruh restoran di Jakarta barat." Jawab Ahsan, pemuda 21 tahun itu. "Ck! Sial" Nibras terlihat kesal. "Bagaimana rekaman cctv di setiap restoran?" tanya Nibras. "Tidak menangkap bayangan nenek," jawab Ahsan. Nibras merasa bahwa kepalanya akan segera diledakan lagi oleh sang kakek. Bekas tamparan dua jam yang lalu masih saja ada. Itu mengingatkannya bahwa sadar akan hilangnya nenek mereka. °°° Sret Ghifan duduk di pinggir trotoar jalan. Sudah banyak kali dia bertanya kepada pengemis dan pemulung yang dia temua di sisi-sisi jalan. Namun mereka semua tidak pernah melihat nenek dengan jaket bulu warna abu-abu berjalan di sekitar tempat mereka. "Bagaimana ini...tidak ada yang melihat nenek Lia..." ujar Ghifan. Suaranya terdengar putus asa. Dia sangat takut dengan kondisi keselamatan dari sang nenek. Jika sang nenek hilang seperti hilang pada umumnya, melupakan arah jalan atau sebagainya, mungkin dia masih punya harapan untuk menemukan sang nenek, tapi jika ada yang sengaja membawa sang nenek atau melakukan sesuatu atau berniat jahat dengan sang nenek. Ghifan tidak berani memikirkan itu. Bisa habis mereka ditebas oleh sang kakek. °°° "Kak," Rafi, putra bungsu dari Agri dan Lia memanggil kakaknya. "Hm?" Farel sedang melihat-lihat ke depan mobil, siapa tahu saja pengemis di sana ada sang ibu yang duduk atau beristirahat. "Ibu tidak bisa ditemukan dalam pencarian kita, bahkan pencarian ini adalah pencarian besar-besaran, satu kota mungkin saja tahu bahwa yang sedang hilang sekarang ini adalah nyonya besar Nabhan. Menurutku, ibu...ada orang yang membawa ibu dengan sengaja meninggalkan kota atau...sengaja menyembunyikan keberadaan ibu..." Sret Farel, sang kakak sulung melihat ke arah adik bungsunya. Pria 55 tahun itu tidak mampu berbicara lagi. Jika benar apa yang dikatakan oleh sang adik, maka mereka telah dikerjai oleh orang yang sengaja membawa ibu mereka. Dag Dag Dug Bunyi detakan jantung Farel tak rata. Tangannya tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. "Tidak, jangan sampai hal itu terjadi," ujar Farel. Dia menolak keras bahwa sang ibu di bawa oleh orang lain. °°° "Lia...istriku..." suara tua dari pria 86 tahun itu bergetar ketakutan. Sret "Ayah, ayo makan malam dulu, dari siang ayah belum makan," ujar Jihan Kamala, istri dari Farel. Gleng gleng "Aku tidak lapar." Suara dingin yang terdengar. Jihan berdiri kaku. Dia tidak berani mendekatkan lagi nampan berisi makanan untuk sang ayah mertua. "Aku...aku hanya pergi beberapa menit saja ke kamar mandi...kalian...kalian tidak bisa melihat istriku...apa gunanya aku punya banyak anak dan menantu? Apa gunanya aku punya banyak cucu? Tidak bisa diharapkan." Ujar Agri dingin. "..." Ruang restoran itu sunyi. Ya restoran. Agri menolak meninggalkan restoran tempat dimana sang istrinya hilang. Dia berharap sang istri kembali ke restoran itu lagi. Gea melihat sekelilingnya, ada beberapa vas bunga mahal dari restoran itu yang pecah. Agri memecahkan lagi barang-barang yang dia lihat ketika setiap mendapat jawaban bahwa sang istri belum juga ditemukan. "Kalian semuanya buta." Ujar Agri dingin. Para menantu Nabhan terlihat menundukkan kepala mereka. °°° "Mas, ayah menolak makan, bagaimana ini? Ini sudah jam makan malam, ayah tidak makan tadi siang," Jihan berbicara dengan telepon kepada suaminya. "Ayah tidak mau makan kalau tidak ada ibu," sambung Jihan. "Ya ampun...bagaimana ini? Ibu belum juga kita temukan..." ujar Farel dengan nada frustasi. "Lala, bujuk ayah lagi," ujar Farel kepada istrinya. "Sudah, tapi aku akan mencoba membujuk ayah lagi." Balas Jihan. Klik Jihan memutuskan panggilan telepon lalu dia melihat ke arah ayah mertuanya lagi yang sedang berdiri di depan pintu kaca restoran. Agri berharap bahwa dia bisa melihat istrinya kembali. Wajah Agri tidak baik, dari siang tadi wajahnya memerah karena marah. Tak Tak Tak Jihan berjalan ke arah ayah mertuanya, di belakangnya ada dua pelayan di restoran itu. "Jangan membujuk aku untuk makan makanan itu, aku tidak lapar sekarang." Suara dingin yang didengar oleh Jihan. Sret Jihan berhenti berjalan, dia tidak melanjutkan lagi langkahnya. Sang ayah mertua sudah mengingatkannya. "Ayah, ibu...pasti baik-baik saja..." ujar Jihan. "Aku tidak bisa tenang, istriku sedang diluar sana dan aku tidak tahu dimana dia berada sekarang, aku tidak tahu apakah orang lain akan memperlakukan istriku dengan baik," suara Agri bergetar takut. Jihan terdiam. Ya, dia tidak tahu apakah orang yang nanti ditemui oleh ibu mertuanya itu akan memperlakukan ibu mertuanya dengan baik. "Istriku...dia sudah mulai hilang ingatan ketika umur empat puluh tahun...aku takut sesuatu terjadi padanya..." ujar Agri dengan suara bergetar takut. Gaishan dan Ahsan yang baru saja memasuki restoran, mereka berhenti melangkah. Pencarian mereka sia-sia. Entah apa yang terjadi, mereka tidak bisa menemukan nenek mereka setelah tujuh jam pasca hilangnya sang nenek. Gaishan makin khawatir, karena umur tua dan pikunnya sang nenek. Dia khawatir jangan sampai ada orang yang memanfaatkan neneknya. °°° Flashback "Astaga!" "Manusia!" kaget perempuan pemulung itu. Sret Sret Dia melihat kiri dan kanan, tempat ini lumayan sunyi. Dan tidak ada orang terlalu banyak yang berlalu lalang. Sret Sret Bruk Cepat-cepat dia membuang tas kresek yang berisi botol bekas yang telah dia ambil di tempat sampah sebelumnya. Gerobak yang tadi dia bawa bersamanya, dia parkirkan baik-baik di pinggir jalan. Sret Sret Perempuan itu cepat-cepat menjauhkan kardus atau karton, tas kresek dan sampah-sampah yang menutupi tubuh yang dia dapat. "Pembunuhan?" wajah perempuan itu pucat pasi. Tangannya bergetar ketika dia mencoba menyentuh pipi dari orang yang dia temukan. Sut Sut "Tidak kaku..." ujar perempuan itu. Sret Sshh Lalu dia mendekatkan punggung tangannya ke arah lubang hidung dari nenek yang dia temukan itu. "Ssh...huuh...shhh...huuh...shhh...huuh..." Terdengar napas teratur dari nenek itu. "Hum? Masih hidup," ujar perempuan itu berkesimpulan. Sret Sret "Uh? Badannya masih hangat...eh? Tidak ada tanda-tanda kekerasan atau apapun..." ujar perempuan itu. "Kalau pembunuhan atau kekerasan, seharusnya ada darah atau tanda memar di tubuh korban...tapi ini...tidak ada..." gumam perempuan itu. "Apa jangan-jangan nenek ini--" "Uuhh...pinggangku..." terdengar suara serak baru bangun tidur dari nenek tersebut. "Hik!" Sret Perempuan itu berjingkat kaget. "Nenek masih hidup?" "Uh?" sang nenek itu melihat bingung ke arah perempuan muda di depannya ini. "Siapakah engkau wahai gadis manis?" tanya nenek itu dengan tatapan bingung. Sret Perempuan itu mendekat. "Nenek, apakah nenek tidak merasakan sakit apapun? Ataukah nenek ini punya penyakit? Dimana keluarga nenek? Apakah nenek dibuang? Kenapa nenek tidur bak sampah ini?" "???" Pertanyaan bertubi-tubi dia ajukan ke arah nenek tua itu yang terlihat linglung. "Uh...aku...aku...tersesat rupanya..." gumam nenek itu. "Hah? Nenek tersesat?" tanya perempuan itu. Sret Nenek itu mendongak ke arah perempuan itu. "Oh ya ampun... pinggangku...sakit..." ujar nenek itu sedih. "Pinggang nenek sakit?" tanya perempuan itu. Glung glung Nenek itu mengangguk pelan. "Pinggangku sakit...oh...sungguh sakit..." "Nama saya Atika," ujar perempuan itu memperkenalkan diri. "Apakah nenek tahu dimana rumah nenek?" tanya Atika. "Uh...rumah?" tanya nenek yang bernama Lia itu. Ya, nenek yang ditemukan oleh Atika si pemulung itu adalah Lia. Nenek yang berumur 76 tahun dan pikun itu. "Ya, rumah. Apakah nenek tahu arah rumah nenek?" tanya Atika. Lia terlihat berpikir keras. Satu menit kemudian dia melihat sedih ke arah Atika. "Oh ya ampun...aku melupakannya lagi...bagaimana ini..." ujar Lia sedih. "Heh?? Nenek tidak ingat rumah nenek?" beo Atika. Dia melihat di sekelilingnya, orang yang berlalu lalang jarang ditempat ini. Padahal kita Jakarta itu adalah kota metropolitan, banyak orang dan masyarakat yang tinggal di kota Jakarta. Atika bingung, dia membawa gerobak berisi tiga buah karung beras 50 kg yang didalamnya sudah terisi dengan botol bekas yang dia pungut sudah satu minggu ini. "Bagaimana ini...aku ingin menjual botol bekas ini di tempat daur ulang sampah...tapi nenek ini...aduhh sshhhh!" Atika menggaruk kepalanya pusing. "Oh, apa aku bawa saja dulu ke tempat daur ulang sampah, sekaligus kan mau jual botol bekas ini, nanti baru aku ke kantor polisi untuk melapor saja kalau nenek ini kehilangan dan lupa arah pulang." Pikir Atika. Atika manggut-manggut. "Nenek, ayo ikut denganku!!" Ketika di perjalanan. Lia, nenek 76 tahun itu duduk di dalam gerobak kayu lalu seorang perempuan muda menariknya. Jaket mahal yang tadi dipakai oleh Lia, disampirkan di atas kepala agar sinar matahari tidak mengenai wajahnya. Lia memandangi dan menikmati sisi-sisi jalan ibu kota. Panas, matahari sangat ganas hari ini. Lia tersenyum ceria ketika dia melihat banyaknya mobil dan kendaraan lain yang melewatinya, dia juga tersenyum riang ketika gerobak yang ditarik oleh perempuan muda didepan maju melewati orang-orang yang sedang berjalan kaki. "Wah...hebat sekali..." ujar Lia takjub. "Wah...indah sekali gedung itu..." ujar Lia, dia mendongak memandang ke arah sebuah gedung pencakar langit yang bertuliskan 'Nabhan's Corporation and Resort'. "Gedung yang indah...ah...ada pohon di atas gedung itu..." Lia tersenyum riang. Sret Sret Lia melambai-lambaikan tangannya ke arah gedung itu, karena ada beberapa burung yang terbang dan singgah di pohon yang berada di atas gedung itu. "Oh burung...banyak sekali engkau..." ujar Lia sambil tersenyum takjub. Wush "Tidak ada, tempat sampah ini juga tidak ada nenek!" Glik "Aaahh! Kenapa begini?" terdengar suara kesal dan frustasi dari seorang pemuda. Gerobak baru saja melewati belakang pemuda itu, Lia memandang ke arah pemuda itu. Dia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Namun kepalanya yang sudah tua itu tidak dapat mengingat. "Oh ya ampun...aku melupakan dia..." ujar Lia. Gerobak yang dia naiki telah menghilang. Terlihat seorang pemuda mendatangi pemuda yang tadi. "Ahsan, bagaimana?" tanya pemuda itu. "Kak Gaishan, tidak ada disini." Jawab Ahsan. "Ck!" Gaishan, pemuda itu terlihat kesal. Gerobak yang dinaiki oleh Lia yang melewati belakangnya. "Oh...sepertinya aku pernah melihatnya..." ujar Lia bingung. "Tapi dimana?" "Oh ya ampun...aku melupakan dia lagi...bagaimana ini..." Flashback end "Kenapa kau membawa orang tua kesini? Itu nenek-nenek, menyusahkan kita saja!" terdengar suara kesal seorang perempuan. "Kania, nenek ini tidak tahu jalan pulang, jadi aku bawa disini, nanti aku akan membawanya ke kantor polisi, tapi pas selesai aku menjual botol bekas, nenek ini tertidur, jadi aku tidak berani membangunkannya, aku bawa saja kesini," ujar Atika. "Masa bodoh! Bawa kembali nenek tua ini ke tempat semula." Ujar Kania galak. "Aku tidak mau kasih makan nenek tua ini!" "Aku sendiri akan membawa nenek ini ke kantor polisi nanti. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak mengharapkanmu untuk memberi makan nenek itu, aku yang akan memberi makan nenek itu sendiri, kau sendiri saja makan dengan uangku." Ujar Atika. "Heh! Adik-adik itu jangan banyak bicara." Tak Tak Tak Kania berjalan masuk ke rumah kumuh mereka. Atika mencibirkan bibirnya kesal. "Harap gampang saja." Atika melihat ke arah Lia yang baru saja bangun tidur. Hari telah menunjukan malam. "Uh?" "Dimanakah aku?" "Em...di rumah saya nek." Jawab Atika. "Apakah nenek lapar--" Kyruukk kryuuukk "..." Beberapa detik kemudian. "Ya..." suara tua Lia terdengar "Saya akan ambilkan makanan," "Bisakah saya mendapatkan makanan dari tempat sampah di depan rumahmu?" "What?!" °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD