"Mau kemana?" Kania bertanya ke arah Atika yang sedang memakai sepatu tali. Perempuan 25 tahun itu melipat tangannya sambil melihat ke arah adiknya.
"Nggak lihat? Mau kerja." Jawab Atika.
Kania menaikan sebelah alisnya.
"Pulang jam berapa?"
"Ck! Kakak hari ini kenapa sih? Nanya-nanya hal yang udah kakak tahu." Ujar Atika dongkol.
"Aku hanya tanya aja, emang nggak boleh?" Kania melirik kesal ke tampat lain.
"Lah kakak sendiri kau kemana? Pake baju bagus begitu? Itu hak tinggi juga dipake," tanya Atika ketika memperhatikan penampilan kakaknya.
"Nggak punya hak tanya-tanya." Jawab Kania ketus.
"Heum!"
Tak
Tak
Tak
Kania mendengus lalu pergi keluar rumah mereka, tas kulit imitasi jelas sekali terlihat.
"Ck! Ck! Ck!"
"Nggak nyadar diri." Atika berdecak.
"Makan aku yang tanggung, beli baju baru sering nyolong uangku."
Dia mengambil topinya lalu mengunci pintu rumah. Seperti biasa dia akan memulung botol bekas lagi.
°°°
"Hah? Kok bapak nggak tahu sih?" wajah Kania memerah karena kesal.
"Memang saya tidak tahu Bu." Ujar seorang polisi.
"Kemarin itu adik perempuan saya bawa seorang nenek kesini, nenek itu nyonya besar Nabhan. Saya hanya mau tanya dimana alamat nenek itu?" Kania menjelaskan lagi maksud dia datang ke kantor polisi terdekat.
"Maaf Bu, memang kemarin tidak ada laporan orang hilang, mungkin di kantor polisi yang lain." Jawab bapak polisi itu.
"Kemarin malam juga ada baku tembak di tempat ini, jadi memang tidak melayani aduan apa-apa untuk beberapa jam terakhir." Lanjut bapak polisi itu.
Wajah Kania terlihat jelek.
"Salah kantor polisi."
"Ya udah deh pak, saya pergi dulu."
Sret
Kania berdiri dari kursi dan keluar dari kantor polisi dengan wajah kesal.
"Di kantor polisi mana Atika bawa nenek itu?" Kania bertanya-tanya.
"Apa di tempat lain?"
"Ck! Atika nggak bilang lagi dimana kantor polisinya."
"Dasar bodoh! Kesempatan emas malah dibuang sia-sia." Jengkel Kania.
Sepeninggal Kania, anggota polisi saling bertanya.
"Itu mbaknya datang buat apaan?" tanya seorang anggota polisi muda.
"Nyari alamat rumah utama Nabhan, itu mbak mungkin tidak waras, masa kita tahu alamat rumah utama Nabhan? Kalaupun tahu kita tidak akan kasih tahu, ini keluarga Nabhan loh, jangan main-main. Jentikan jari aja hidup kita kelar." Jawab salah seorang polisi.
Polisi muda itu manggut-manggut.
"Pantesan pas keluar dari sini wajahnya hijau merah kayak emosi gitu."
"Saya kira datang kesini mau lapor atau adu sesuatu, eh malah dia nanya alamat keluarga Nabhan, aneh." Ujar salah seorang polisi tua.
°°°
"Huh! Atika sialan!" Kania baru saja mengumpat sang adik.
Wajahnya penuh dengan keringat. Kaki yang memakai hak tinggi murahan itu lecet.
"Kalau aja dia kasih tahu dimana kantor polisi yang dia bawa nenek itu, nggak mungkin aku kayak gini, panas-panas gini di bawah matahari." Sartika merutuk.
"Huh! Sudah sepuluh kantor polisi, tapi tidak ada yang tahu, mereka bilang tidak pernah ada aduan atau laporan orang hilang." Ujar Kania kesal.
Tak
Tak
Tak
Kania pergi meninggalkan kantor polisi yang dia datangi.
"Nyonya Nabhan telah ditemukan, dan tidak ada yang lapor bahwa mereka menemukan keberadaan nyonya Nabhan, jadi jika ada yang tanya mengenai informasi dari keluarga Nabhan, jangan dijawab, bilang saja pihak kepolisian tidak tahu mengenai itu, paham?"
Seorang perwira polisi melihat kepada para anak buahnya.
"Siap, pak."
°°°
"Huh! Capek!"
Sret
Atika duduk di pinggir trotoar.
"Mana panas lagi, bisa hangus terbakar nih,"
Sre
Sh
Sh
Sh
Atika mengipas wajahnya dengan topi yang dia pakai.
"Huh! Lapar banget, cari makan ah."
"Sekali-sekali makan bakso buat nambah tenaga kan bisa, nggak apa uang keluar dikit."
Sret
Atika berdiri dari trotoar lalu menarik gerobaknya. Dari pagi hingga siang ini, sudah ada satu karung lebih botol bekas yang dia pungut.
Sret
Sret
"Bang, bakso satu bang."
"Siap neng," abang tukang bakso menyahut.
"Bang, kuahnya dilebihin dikit yah?" Atika melihat ke arah mangkuk bakso.
"Siap! Siap!" abang tukang bakso menyahut semangat.
"Misi mbak, ini jam berapa yah?" Atika menoleh ke arah seorang pelanggan bakso yang sedang makan bakso.
Perempuan itu melihat jam di ponselnya.
"Jam satu mbak."
Jawab perempuan itu.
"Oh sudah jam satu, makasih yah mbak." Ujar Atika.
"Iya." Sahut perempuan itu.
"Pantesan lapar, udah jam satu." Ujar Atika.
Kryuuukk kryuuukk
"..."
"Hahahaha, maklum lapar mbak." Atika tertawa geli.
Mbak yang di samping Atika tersenyum geli, dia memaklumi.
°°°
"Kemarin aku dengar dari kak Alam, nenek Lia hilang?" Ariansyah bertanya serius ke arah Gaishan.
"Itu tanda merah apa?" tanya Ariansyah lagi ketika dia melihat pipi kiri dari sepupunya memerah.
Piw
Wajah Gaishan berubah masam.
Mendengar pertanyaan dari sepupunya, membuat dia mengingat lagi tamparan kuat dari sang kakek kemarin.
"Lah aku tanya kak Shan. Dicuekin." Ariansyah memutar bola matanya.
"Ini adalah luka perih yang tidak boleh diingat lagi." Ujar Gaishan.
Sret
Gaishan menatap serius ke arah Ariansyah.
"Ari, ini mengenai harga diri seorang lelaki."
"Heh???" tanda tanya memenuhi wajah Ardiansyah.
"Bekas tamparan kakek."
"Hiihhh Ghifan! Dasar mulut ember!" Gaishan melotot ke arah adik kembarnya.
Ghifan yang baru datang ke restoran itu menjawab pertanyaan dari Ariansyah.
"Semua dapat, aku juga dapat." Dongkol Ghifan.
"Hahahahahahaha!" Ariansyah memegang perut nya karena sakit menahan tawa.
"Hahahahahaha!"
"Oh! Itu yang dinamakan dengan luka perih yang tidak boleh diingat lagi? Ck! Ck! Ck!"
Ariansyah menghapus air matanya menetes karena tawa.
Sret
Nibras duduk di samping Alamsyah.
Sret
Ariansyah dan Alamsyah menoleh ke arah Nibras. Tepatnya melihat ke arah pipi kiri Nibras yang masih ada bekas tamparan.
Sret
Kakak beradik itu saling melirik.
"Hahahahahahaha!" Ariansyah dan Alamsyah tertawa terbahak.
Wajah ketiga pemuda Nabhan itu masam.
°°°
"Lagian memangnya mata kak Gaishan dan yang lainnya nggak lihat sama sekali atau nggak tahu sama sekali kalau nenek Lia keluar dari restoran?" Ariansyah bertanya.
"Nggak tahu, banyak orang yang bicara sama kita, mereka semua orang-orang besar, ada juga bodyguard yang banyak itu tapi aku sendiri heran sebagai cucu nenek Lia, kok mereka nggak lihat yah?" Gaishan dongkol ketika mengingat para pengawal Nabhan.
"Nenek Lia pake ajian apa sampe kita nggak lihat?" Gaishan terlihat berpikir keras.
Plak
"Auh! Ghifan apa-apaan sih jitak kepala aku!" Gaishan dongkol ke arah adiknya.
"Ajian apa, sudah tidak waras kamu Shan." Ujar Ghifan.
"Aku kan hanya asal bicara aja, lagian juga nggak mungkinlah nenek Lia pake ilmu ajian hilang-hilang." Ujar Gaishan.
"Sembarangan saja, aku kasih tahu kakek Agri yah." Ghifan melotot.
"!!!"
Wajah Gaishan masam.
"Hahahahaha!" Ariansyah tertawa geli.
"Tapi untung aja ada yang berbaik hati membawa nenek Lia kembali ke rumah, tapi yang tidak habis aku pikir, kok bisa yah aku tidak lihat sama sekali nenek Lia waktu mobil aku keluar dari gerbang perumahan?" Nibras menggelengkan kepalanya.
"Ck! Pas aku lihat rekaman cctv lagi, nyesal banget." Ujar Nibras.
"Hehehehe..." Alamsyah terkekeh.
"Dimasa depan, kalian harus memperhatikan baik-baik nenek Lia, kalau sampai ini terjadi lagi, aku tidak bisa bayangkan bagaimana murka kakek Agri kepada kalian, seperti yang kalian tahu bahwa kakek Agri itu sangat mencintai nenek kalian." Ujar Alamsyah.
Glung glung
Tiga orang pemuda Nabhan itu mengangguk bersamaan.
"Cukup satu kali ini saja." Ujar mereka bertiga.
°°°
"Huh!"
Kania menghembuskan napas kesal dan lelah, sudah seharian dia keluar masuk kantor polisi hanya untuk menanyakan alamat rumah dari kediaman Nabhan. Namun jawaban dari setiap kantor polisi sama, tidak tahu.
"Kenapa aku nggak tanya aja ke Atika yah?" Kania tiba-tiba berpikir.
"Ck! Benar juga! Kalau dia kasih tahu kantor polisi dimana yang dia bawa nenek itu, pasti aku juga tahu."
"Tapi gimana caranya aku buat Atika kasih tahu? Kasih alamat rumah kediaman Nabhan aja dia pelit amat." Jengkel Kania.
Sret
Kania membuka tas kulit imitasi ya, terlihat uang pecahan dua puluh ribuan ada dua.
"Ck! Sisa empat puluh ribu lagi! Ini mana cukup buat makan di Lafate restoran? Palingan hanya bisa makan di warung mama Dede." Ujar Kania kesal.
"Ck! Atika terlalu pelit, masa saudara sendiri saja perhitungan."
Sret
Greet
Kania menutup resleting tasnya dengan kasar.
"Mana udah lapar lagi, uang kurang, adik pelit!"
°°°
"Nama Atika Fitrhiya, dua puluh tiga tahun, ayah tidak diketahui, dan ibu mereka meninggalkan mereka empat belas tahun yang lalu, dua tahun lalu nenek mereka meninggal, dia tinggal bersama dengan kakak perempuannya." Ujar seorang wanita.
Agri mengangguk mengerti.
"Tuan," panggil wanita itu.
Agri melihat ke arah wanita itu.
Wanita bermata sipit itu terlihat mendekat ke arah telinga Agri dan membisikan sesuatu.
Wajah Agri berubah serius seketika.
Sret
Wanita itu adalah Miki, ketua keamanan Nabhan dan Farikin.
Agri melihat ke arah Miki.
"Sepuluh tahun lalu?"
"Ya, sepuluh tahun lalu."
Tuk
Tuk
Tuk
Agri mengetuk-ngetuk gagang kursi dengan jari telunjuknya, dia sedang memikirkan sesuatu.
"Atika Fitrhiya..." gumam Agri.
Beberapa saat kemudian Agri bertanya.
"Aku ingin melihat video pengawasan seluruh jalur gerobaknya ketika dia membawa istriku."
"Baik tuan."
°°°
"Suamiku..." Lia memanggil suaminya.
"Aku disini Lia," Agri menyahut.
Lia memandang ke arah suaminya.
"Sepertinya aku....melupakan sesuatu." Ujar Lia sambil mengingat sesuatu.
Agri tersenyum lembut.
"Tidak apa-apa jika kau tidak ingat, Lia sayang, jangan dipaksakan."
Hap
Agri memeluk istrinya. Pelayan yang membantu Lia berjalan itu minggir ke samping. Nyonya mereka sakit pinggang dan Lia tidak suka menggunakan kursi roda. Jadi, ada pelayan yang akan membantu Lia dalam berjalan.
"Apa yang aku lupakan..." Lia terlihat masih berpikir.
Agri tersenyum.
"Jangan dipaksakan kalau aku tidak ingat sayang." Ujar Agri.
Lia manggut-manggut.
"Oh ya ampun...aku melupakannya...bagaimana ini?" ujar Lia sedih, dia gagal mengingat apa yang dia rasa ada sesuatu yang dia lupa.
"Tidak apa-apa Lia, asalkan jangan melupakan aku," ujar Agri lembut.
"Ah...kau benar suamiku...jangan melupakanmu..." ujar Lia.
"Suamiku..." panggil Lia.
"Aku disini Lia," sahut Agri yang sedang memeluk Lia.
"Beruntungnya aku memilikimu..." ujar Lia dengan suara bergetar.
"Aku yang beruntung memilikimu, sayang." Balas Agri.
Cup
Kecupan ringan Agri berikan di kening istrinya.
Pasangan tua itu berpelukan dan menunjukan cinta mereka lagi.
Pelayan dan bodyguard yang bertugas menjaga tuan besar dan nyonya besar mereka hanya bisa menutup mata. Anggap saja mereka tidak melihat adegan Agri dan Lia. Ada yang jomblo dari pengawal Nabhan, dan yang jomblo itu terpaksa menelan ludah kering.
"Ah...aku mengingatnya...oh temanku..." Lia mengingat apa yang dia lupa selama beberapa saat.
Agri mengangguk.
"Ya, temanmu? Ada apa dengan dia?" tanya Agri lembut.
"Apakah temanku hari ini tidak datang?" tanya Lia dengan tatapan penuh harap.
Agri terdiam untuk sesaat. Dia melirik jam dinding, jarum jam menunjukan pukul empat lewat lima belas menit. Sore hari. Menurut ucapan dari gadis yang membawa pulang istrinya bahwa dia bekerja dari pagi sampai sore, setelah itu dia akan datang, jadi butuh beberapa jam lagi baru gadis itu datang.
Agri tersenyum lembut.
"Tentu saja temanmu datang sayang..." Agri menjawab istrinya.
"Oh...lalu apakah dia sudah datang?" tanya Lia, dia melihat ke arah pintu, berharap bahwa teman yang dia tanya itu terlihat dan masuk lewat pintu yang dia lihat. Meskipun pintu itu adalah pintu ruang keluarga.
Agri tersenyum lembut sambil memeluk Lia.
"Sebentar lagi temanmu akan datang sayang, benar kan?"
Agri melihat tajam ke arah seorang pelayan dan bodyguard.
"Ya, nyonya besar, teman anda akan segera datang, saya akan menjemputnya." Jawab salah seorang bodyguard.
Bodyguard itu menunduk hormat dan dengan cepat melangkah keluar dari ruang itu. Dia sudah tahu maksud dari tatapan tuan besarnya. 'Akan segera datang', artinya dia harus segera menemukan nona yang membawa pulang nyonya besarnya tadi malam. Dan nona itu adalah teman dari nyonya besarnya. Tidak ada yang bisa menolak permintaan dari nyonya besar, bahwa suaminya juga tidak bisa. Nyonya besar adalah wanita nomor satu yang harus diutamakan di kediaman Nabhan. Berani menyinggung nyonya besar, sama saja mengantar nyawa. Lebih baik menyinggung tuan besar daripada menyinggung nyonya besar. Itu mengerikan.
°°°
"Huh! Biar sudah sore mau tidur saja masih panas."
Wush
Wush
Wush
Atika mengipasi wajahnya dengan topi yang dia pakai. Sebentar lagi malam. Dia memandangi gerobak nya.
"Lumayan hari ini, dapat tiga karung lagi botol bekas, bisa nutupin harga bakso yang aku beli tadi siang." Atika melihat ke arah tiga karung ukuran 50 kg yang semuanya berisi botol bekas minuman air mineral.
"Mau jual hari ini apa besok yah?" Atika berpikir.
"Tapi udah mau malam, besok ajalah baru jual, siapa tahu pas di jalan dapet satu karung botol bekas lagi, hahahaha!" Atika tertawa senang.
"Hidup dibawa simpel saja, jangan dibawa baper, entar susah sendiri, lama-lama stres, lalu stroke."
"Hahahaha!" Atika tertawa.
Selama hidupnya, dia tidak pernah menyesali apapun, termasuk masa lalu yang dia alami. Tidak adanya figur ayah selama 23 tahun dia hidup, sudah biasa bagi dirinya. Tidak ada sosok ibu sejak 14 tahun yang lalu, sudah biasa baginya. Satu-satunya yang membuat dia sedih adalah kepergian sang nenek menghadap Ilahi dua tahun lalu. Sang nenek adalah orang yang mencintainya, sangat baik hingga merawat dirinya tanpa pamrih. Sang nenek menerima dia apa adanya.
"Huh! Sebentar lagi pulang ah-akh!"
"Sudah selesai kerja?"
Atika terkaget ketika mendengar suara seorang pria dari belakangnya.
Sret
Wush
"Siapa?" Atika melihat waspada ke arah pria itu.
Pria itu tersenyum tipis ke arah Atika.
"Maaf, mau apa? Kenapa tanya saya sudah selesai kerja?" Atika bertanya.
Pria itu tersenyum. "Saya datang atas permintaan nenek saya, nenek saya ingin temannya datang berkunjung ke rumah dan menemaninya hari ini, katanya beliau kesepian." Jawab pria itu.
"Hah?" beo Atika.
Dia mangap-mangap ke arah pemuda itu.
Untuk beberapa saat, Atika tersadar.
"Teman?"
"Ya, teman." Jawab pria itu.
Atika mengingat apakah dia punya teman.
Atika menggaruk kepalanya.
"Perasaan saya tidak punya teman...ah! Nenek?" Atika melototkan matanya ke arah pemuda itu.
Glung glung
Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum.
"Ya benar, nenek Lia." Jawab pemuda itu.
Atika memandangi wajah pemuda yang tersenyum di depannya ini baik-baik.
"Anda ini adalah...."
"Saya adalah Nibras Arelian Nabhan, cucu dari nenek Lia. Salam kenal nona Atika."
°°°