"Em...itu gerobak saya bagaimana nasibnya?" Atika bertanya gugup. Dia sedang duduk di samping jok kemudi.
Nibras yang sedang menyetir tersenyum menangkan.
"Pengawal Nabhan akan membawa gerobak kamu ke rumah Nabhan, nanti akan diantar lagi ketika kamu pulang." Jawab Nibras.
"Oh...begitu yah..." Atika manggut-manggut.
Suasana di dalam mobil itu sunyi. Atika merasa kurang nyaman dengan sunyi di dalam mobil. Dia memutuskan untuk mencairkan suasana.
"Em...lalu bagaimana kabar nenek?" Atika bertanya, setelah pertanyaan itu, Atika mengigit bibirnya.
"Bodoh, kenapa tanya kabar nenek? Tentu saja nenek baik, lah ada keluarganya yang baik dan sayang sama nenek. Atika...Atika..." batin Atika.
Nibras tersenyum.
"Saya pikir kamu harus datang ke rumah saya dan melihat sendiri kondisi atau kabar dari nenek saya, agar dapat menjawab pertanyaan kamu." Ujar Nibras.
"Hehehe...iya juga yah..." Atika terkekeh kikuk.
Nibras menahan senyum lebar.
Sang nenek selalu menanyakan kapan temannya datang berkunjung ke rumah untuk bermain bersamanya. Sang kakek menelepon dia dan mengatakan bahwa dia harus segera membawa pulang nona yang mengantarkan istrinya pulang tadi malam. Nibras yang kebetulan akan pulang dari kantor itu mengiyakan perintah kakeknya.
Setengah jam anak buah Nabhan mengatakan bahwa mereka melihat nona Atika duduk singgah di pinggir jalan. Nibras datang dan menjemput Atika. Sekaligus dia ingin melihat lagi secara jelas wajah teman baru neneknya itu.
°°°
"Oh temanku...kau datang menjengukku..." Lia menoleh riang ke arah Atika yang baru saja masuk ke rumah Nabhan.
"Hehehe...nenek, bagaimana kabar nenek?" tanya Atika setelah dia terkekeh geli.
"Ah...kabarku baik...bagaimana kabarmu temanku?" tanya Lia.
"Aku tentu saja baik nenek. Masih kuat dan sehat! Hap!" Atika menjawab dengan nada bersemangat.
"Oh... rupanya kamu juga sehat temanku...syukurlah..." Lia manggut-manggut.
"Ah...sepertinya aku melupakan sesuatu..." ujar Lia sambil mengingat.
Atika yang sedang berdiri sambil memegang tangan Lia itu mengerutkan keningnya.
"Apa yang nenek lupakan?" tanya Atika.
"Oh...aku sudah melupakannya temanku..." jawab Lia.
Piw
"Pfft!"
Nibras yang baru masuk menahan tawa. Percakapan sang nenek dan temannya ini sungguh lucu. Atika bertanya apa yang dilupakan oleh Lia, sedangkan Lia memang lupa, tidak ingat.
"Ah...hehehe...tidak apa-apa kalau nenek lupa, nanti saja baru ingat." Ujar Atika, dia terkekeh. Maklumi sajalah orang di depannya ini adalah nenek yang sudah pikun.
Glung glung
"Oh ya...kau benar temanku...nanti saja baru mengingatnya..." ujar Lia sambil manggut-manggut.
"Oh temanku...duduklah..." pinta Lia.
"Baik nek."
Sret
Atika menyahut dan duduk di sebelah Lia.
Atika tersenyum ke arah Lia.
"Apakah nenek sudah makan-"
"Ah! Aku mengingatnya wahai temanku..." Lia melihat antusias ke arah Atika.
Ucapan Atika terpotong oleh seruan Lia yang tiba-tiba.
"Ahm..." Atika menelan lagi pertanyaannya tadi.
Lalu dia mengubah pertanyaannya.
"Apa itu yang nenek ingat?" tanya Atika bersemangat.
"Ah! Rupanya aku sudah menyiapkan roti sisa yang ada di tempat sampah di depan rumah untukmu, sudah aku pindahkan ke tempat sampah di taman belakang agar kita bisa bersantai mencicipi roti sisa itu." Ujar Lia girang.
"Hah?!"
°°°
Atika hanya mengikuti saja apa yang dikatakan oleh 'temannya' itu.
"Ah...ini roti sisa yang aku temukan di tempat sampah di depan, sangat enak sekali rasanya. Aku sengaja menyimpannya untukmu agar kita dapat menikmatinya bersama." Ujar Lia, dia memberikan roti sisa itu kepada Atika.
Sret
"Terima kasih nenek." Atika mengambil roti itu lalu tersenyum. Batinnya masih merasa masam.
Ini adalah tempat sampah.
"Ayo makan, roti sisa itu enak sekali..." ujar Lia menatap ke arah Atika, Lia menunggu agar Atika memakan roti sisa yang sudah dia kumpulkan tadi di tempat sampah di depan rumahnya.
Glek
Atika menelan ludahnya. Dia menatap roti sisa yang ada di tangannya. Roti sisa itu terlihat bersih, kalau dia perhatikan lagi, tidak ada kotoran atau bau yang menyengat di roti sisa itu.
Sret
Gut.
Atika menutup matanya dan memberanikan diri untuk mengigit roti sisa itu.
"Eh?"
Sret
Atika membuka matanya.
"Hm...rotinya enak!" Atika menyeru kaget.
Gut
Gut
Dia mengigit lagi roti sisa itu.
"Oh temanku...benar yang aku katakan bahwa roti sisa itu enak kan?" ujar Lia tersenyum riang.
Glung glung
"Hu'um! Enak!"
Hap
Roti itu masuk sepenuhnya ke dalam mulut Atika.
Lia tersenyum senang.
Jihan menahan tawa, tentu saja roti sisa itu enak, sebab itu bukan roti sisa. Itu adalah roti yang baru saja koki keluarga Nabhan buat dan sengaja di taruh di tempat sampah, roti itu di sobek agar Lia melihatnya seperti rupa roti sisa. Para pengawal dan pelayan di rumah Nabhan ini sudah tahu itu. Dari sejak 56 tahun yang lalu, seluruh tempat sampah di rumah Nabhan ini milik nyonya besar Nabhan.
Sret
"Ini temanku, makan lagi...aku lihat kau sangat lapar..." ujar Lia.
Glung glung
Atika mengangguk kuat.
"Iya nek, aku sangat lapar." Atika mengucapkan kata lapar dengan bersemangat.
"Oh temanku yang malang..." Lia memberikan lagi roti sisa itu kepada Atika.
Sret
"Terima kasih nenek, aku suka roti ini, ini roti terenak yang pernah aku makan!"
Atika menggigit roti itu.
Para pelayan yang melihat Atika menelan roti itu, mereka menelan kasar ludah mereka.
Mereka juga ingin mencicipi rasa dari roti itu, namun sayang, tidak bisa terjangkau. Berani menyolong makanan yang ada di tempat sampah, kepala mereka taruhannya.
Itu adalah makanan dari nyonya besar mereka. Kadang para pelayan akan menangis sedih karena hanya bisa melihat saja roti 'sisa' itu duduk manis melambai ke arah mereka di tempat sampah, mengisyaratkan bahwa, 'makan aku! Makan aku!'. Namun mereka tidak berdaya sama sekali.
"Ini roti sisa lagi," Lia menyodorkan roti sisa ke arah Atika lagi.
Sret
Hap
Roti itu langsung dilempar masuk ke dalam mulut Atika, gigi-gigi Atika sudah tidak sabar lagi ingin memotong-motong roti itu. Gigi-gigi Atika sedang bergoyang ria mengigit roti yang masuk kedalam mulut Atika.
Atika dan Lia duduk di pinggir tempat sampah, ada kursi empuk yang mereka duduki, sebab itu memang sengaja dipersiapkan oleh pelayan karena Lia dan Agri senang duduk makan di pinggir tempat sampah itu.
"Hahaha...makan lagi temanku...roti sisa ini banyak sekali...orang-orang disini tidak menghargai makanan, mereka membuangnya begitu saja..."
Piw
"Pft!"
Jihan menahan tawa, ibu mertuanya memang benar-benar hebat membuat para pelayan dan pengawal yang ada di situ menahan sakit perut karena menahan tawa.
Agri yang melihat tawa riang sang istri itu, dia ikut tersenyum. Ini yang dia inginkan, hidup sampai tua dengan istrinya penuh dengan canda dan tawa. Dia menerima apapun kondisi istrinya. Bahkan Agri tidak keberatan jika sang istri melupakan semuanya, asalkan jangan melupakan dirinya. Karena setiap saat, Agri selalu mengingatkan Lia bahwa dia adalah suaminya.
°°°
"Oh temanku...kau akan pulang...besok bisakah kau datang lagi menjengukku?" Lia memandang penuh harap ke arah Atika.
Glung glung
Atika mengangguk kuat.
"Tentu nek, tapi seperti biasa, aku selesai kerja dan setelah itu aku akan langsung kemari, nanti tidak perlu di jemput oleh siapapun," jawab Lia.
"Oh baiklah...datang kesini, aku menunggumu, setelah kau datang, aku akan mengajakmu untuk berkeliling rumah ini, ah...aku akan...aku akan...oh...aku melupakannya lagi...bagaimana ini?" ujar Lia sedih ketika maksud yang ingin dia bicarakan, dia lupa.
Atika tersenyum, "tidak apa-apa nenek tidak ingat, nanti saja baru nenek ingat."
Glung glung
Lia mengangguk.
"Baiklah..."
"Aku akan mengantarmu sampai diluar...ayo..." Lia menggandeng tangan Atika, lalu Atika dan Lia berjalan saling merangkul sampai di pintu rumah Nabhan. Sepanjang perjalanan mereka tadi taman belakang rumah Nabhan, Agri berada di sebelah istrinya. Kemanapun Lia pergi, Agri akan mengikuti.
"Nenek, sampai disini saja, nanti aku akan pulang sendiri, nenek masuk ke dalam, sudah malam, dingin, nanti nenek masuk angin." Atika tersenyum ke arah Lia.
Glung glung
"Baiklah kalau begitu...aku akan masuk...hati-hati temanku..." Lia mengangguk.
"Baik nek." Sahut Atika.
Atika berjalan menuju mobil yang akan mengantarnya, di belakang mobil itu, ada mobil truk kecil, ada gerobaknya sudah duduk manis disana.
"Ah! Aku mengingatnya temanku..." Lia yang akan masuk bersama suaminya itu, tiba-tiba berbalik lagi sambil tersenyum sumringah
"Eh?? Nenek sudah ingat rupanya?" Atika memandang ke arah Lia.
Glung glung
Lia mengangguk senang.
"Apa itu nek?" Atika yang ingin masuk ke mobil, tidak jadi. Karena menghormati Lia yang lebih tua, Atika berbalik dan menutup pintu mobil lagi.
Lia tersenyum riang.
"Oh temanku...datanglah kesini...karena sudah malam kau pulanglah...besok aku akan menemanimu untuk berkeliling rumahku...ah...aku akan mengajakmu untuk memilih roti sisa dan anggur sisa di tempat sampah di pinggir kolam renang, disana banyak sekali roti sisa dan anggur sisa..."
Piw
"..."
Atika tidak mampu berbicara lagi. Ternyata ini adalah apa yang dilupakan oleh 'temannya' tadi.
"Bagaimana? Asik kan?" Lia bertanya senang.
Glung glung
Untuk menghormati Lia yang lebih tua, Atika mengangguk saja.
°°°
Brak
Pintu mobil kemudi di tutup oleh seseorang.
"Duduk di depan saja." Nibras yang ternyata adalah supir itu meminta Atika yang duduk di jok penumpang belakang untuk pindah tempat duduk.
"Eh? Anda kan cucu dari nenek Lia? Kenapa naik mobil ini? Apa saya saja yang salah naik tumpangan?" Atika bertanya heran.
Nibras tersenyum tipis.
"Tidak, kau tidak salah tumpangan, kebetulan aku ingin bertemu dengan saudara sepupuku di luar, kakek memberitahu agar kita semua berkumpul." Jawab Nibras
Atika mengangguk mengerti.
Brak
Atika keluar dari mobil dan pindah ke jok penumpang depan.
Sret
Atika duduk.
"Pasang sabuk pengamannya," ujar Nibras.
Sret
Atika dengan cepat melaksanakan perintah Nibras.
Nibras menginjak gas, dua mobil keluar dari kediaman utama Nabhan. Satu adalah mobil mewah Nibras uang ditumpangi oleh Atika sedangkan di belakang adalah mobil truk kecil dimana ada gerobak Atika yang menumpang.
Sepanjang perjalanan Nibras dan Atika terlibat percakapan ringan.
"Maaf yah kalau badan saya bau, Anda tahu sendiri kan kalau profesi saya itu pemulung," ucap Atika tidak enak hati. Memang benar bahwa baju dan bau tubuh Atika itu bau. Sebab, setiap hari pekerjaan Atika adalah mencari botol bekas air mineral di tempat atau bak sampah untuk dijual. Jadi itu wajar.
Nibras tersenyum tipis sambil menggeleng tidak keberatan.
"Dari saya lahir, bau tempat sampah adalah hal yang wajar bagi saya," ujar Nibras.
Atika mendengarkan saja.
"Kamu pasti sudah bisa menebak kan?"
Atika terlihat berpikir, "nenek?"
"Ya, nenek saya." Nibras menyahut.
"Kakek saya tidak pernah marah atau jengkel jika nenek saya tidak mandi saru atau dua hari, bagi keluarga Nabhan, bau sampah itu adalah hal yang lumrah, tidak perlu bingung. Semua rumah keluarga anggota Nabhan harus ada setidaknya empat sampai lima tempat sampah gadungan untuk nenek kami, itu di luar rumah utama." Ujar Nibras.
Arika mengangguk mengerti.
"Lalu...saya...saya ingin tanya sesuatu tapi tidak enak jika didengar ditelinga anda..." ujar Atika ragu-ragu.
"Tentang kenapa nenek saya suka tempat sampah?" Nibras yang sedang menyetir melirik sekilas ke arah kirinya.
"Ya..." Atika menyahut sambil menggaruk kepalanya, tanda dia kikuk.
"Saya tidak punya maksud apa-apa ingin menanyakan ini, jangan tersinggung, saya tahu bahwa anda dan anggota keluarga nenek Lia yang lainnya sangat menghormati nenek Lia, cuma hanya saya agak bingung saja...karena kemarin ketika saya menemukan nenek Lia, seperti yang sudah saya ceritakan bahwa saya menemukan nenek Lia tidur di dalam bak sampah, dan bak sampah itu berisi banyak sampah, nenek Lia tidur di dalam bak sampah tanpa terganggu oleh bau sampah yang busuk sedikitpun...jadi...apakah nenek Lia punya penyakit dengan hidungnya ataukah..." Atika ragu untuk melanjutkan lagi pertanyaannya.
Nibras mengangguk mengerti, Atika pasti tidak enak hati bertanya mengenai kondisi spesifik dari sang nenek. Nibras memutuskan untuk memberitahu Atika. Karena dia tahu dari bodyguard nya bahwa Atika adalah orang yang jujur.
"Nenek sudah tidur dan mencari makan di tempat sampah sejak beliau kecil," jawab Nibras.
"Apa?" Atika melotot.
"Serius?" Atika melihat ke arah Nibras sambil melotot terkejut.
Nibras tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Tapi bukan berarti kakek buyutku tidak punya uang untuk memberi makan nenekku," ujar Nibras.
Lampu merah, mobil mereka berhenti, Nibras melirik ke arah Atika.
"Kau tahu Farikin's Food dan Farikin's Seafood kan?"
Atika berpikir, lalu dia mengangguk. "Tentu saja, perusahaan makanan raksasa di Indonesia, dimana-mana ada nama Farikin tertulis di gedung restoran, kalaupun itu bukan milik Farikin, pasti itu bekerja sama dengan Farikin," jawab Atika.
"Kau tahu banyak rupanya," ujar Nibras.
"Ada berita setiap hari di papan iklan gedung, jadi aku tahu dari situ hehehe..." Atika terkekeh geli.
Nibras mengangguk mengerti.
"Jadi apakah nenek Lia itu adalah dari Farikin? Atau saudara dari keluarga Farikin?" tanya Atika.
"Ya, lebih tepatnya putri bungsu Farikin." Jawab Nibras.
"Oh...seperti itu... tunggu! Farikin kan punya banyak restoran, lalu kenapa mereka membiarkan nenek Lia makan di tempat sampah?" Atika baru menyadarinya.
Nibras sudah menduga, pasti Atika terkejut.
"Aku tahu dari ayah bahwa memang dari kecil nenek sudah tertarik dengan tempat sampah, sejak umur lima tahun, banyak bodyguard yang menjaga nenek Lia, pemulung atau pengemis beberapa puluh tahun lalu adalah bodyguard dari Farikin yang menyamar untuk melindungi nenek Lia dari orang jahat." Jawab Nibras.
"Namun sekarang jangan salah pengertian, pemulung dan pengemis di disini bukan lagi bodyguard Farikin yang menyamar, sebab semenjak nenek Lia menikah dengan kakek Agri lima puluh enam tahun yang lalu, semua tanggung jawab untuk melindungi nenek Lia berpindah ke tangan kakekku." Nibras menjelaskan.
Atika manggut-manggut.
"Oh begitu..."
"Lalu nenek Lia tidak di jalan lagi kan mencari makan? Tapi kemarin nenek Lia di bak sampah itu." Ujar Atika.
"Seperti yang sudah kamu tahu bahwa kemarin itu adalah keteledoran kami semua, kami kita memperhatikan nenek Lia, baru kali ini terjadi." Jawab Nibras.
"Semenjak menikah, seluruh tempat sampah adalah milik nenek Lia, itu perintah kakek Agri." Ujar Nibras.
Atika manggut-manggut.
"Lalu jika seluruh tempat sampah milik nenek Lia, makanan dan minumannya bagaimana? Bukankah pasti ada tempat limbah untuk pembuangan sampah makanan dan sebagainya?" tanya Atika bingung.
Nibras tersenyum.
"Ada sistem sendiri, di kediaman Nabhan. Di belakang rumah, kami punya sistem daur ulang sampah menjadi air, pembakaran sampah menjadi air dan airnya akan dibuang lewat saluran pembuangan." Jawab Nibras.
Atika manggut-manggut.
"Hebat! Janggih!" ujar Atika takjub.
Cicit
Mobil Nibras berhenti.
"Disini rumahmu kan?" tanya Nibras.
"Eh, Anda tahu darimana?" tanya Atika.
Sret
Nibras menunjuk ke arah gps yang terpasang di mobilnya.
"Hehehehe, lupa kalau mobil ini canggih." Atika terkekeh.
Brak
Nibras dan Atika turun dari mobil.
"Terima kasih telah mengantarkan saya," ucap terima kasih Atika.
"Besok jangan lagi, saya bisa pulang sendiri."
Nibras mengangguk.
Seseorang mendekat ke arah Atika.
"Atika!"
°°°