bc

Misteri Desa Sekte [TAMAT]

book_age16+
1.7K
FOLLOW
11.7K
READ
powerful
confident
mystery
scary
genius
regency
victorian
supernatural
horror
like
intro-logo
Blurb

Dua kakak beradik yang sedang menjenguk serta berlibur di desa kakeknya, keduanya harus mengalami kejadian mistis selama berada di desa tersebut.

Awalnya, kehidupan mereka baik-baik saja dan berjalan dengan aman dan nyaman, sampai suatu ketika Aris mendengar suara tabuhan gamelan ditengah malam, sejak saat itulah hidup mereka menjadi mencekam.

Usut punya usut, ternyata sebagian warga desa masih mengikuti sekte sesat yang memuja iblis untuk berbagai kepentingan, hal itu diperparah dengan adanya tumbal yang harus dikorbankan.

Ara dan Aris ingin menggagalkan ritual dan menyadarkan sebagian warga yang masih menganut sekte sesat tersebut, perjuangan mereka sangat sulit dan juga dibumbui oleh lika-liku bahaya.

Beberapa kali nyawa mereka terancam.

Apakah keduanya bisa menyelamatkan orang-orang yang tidak bersalah, atau justru turut menjadi korbannya?

Cover credits : Aminus3 - Scary Hands (Pinterest)

chap-preview
Free preview
1
Ara menatap jalanan yang terasa menyejukkan di pagi hari, embun yang jatuh dari dedaunan membuat hatinya tenang. Berbeda dengan saudaranya yang masih menggerutu dari awal perjalanan hingga akan sampai tujuan, ia adalah Aris— adik kandung Ara yang sifatnya jauh berbeda dengan sang kakak. Jika Ara cenderung diam dan hanya berbicara seperlunya saja, sedangkan Aris tipe remaja yang susah diam. Suasana mobil dari tadi hening, hanya suara deru mesin yang mengalun. Sepasang orangtua yang duduk di jok depan nampaknya sedang focus mengemudi, salah satunya masih tertidur pulas. Jalanan tanah yang becek menjadi penanda jika semalaman daerah ini terguyur hujan lebat, bahkan sisa rintikkan hujan tercetak jelas di jalanan aspal. Suara lenguhan khas bangun tidur terdengar, disana perempuan paruh baya sedang menguap untuk menghilangkan rasa kantuknya. Amina menatap putra-putrinya yang sama-sama menunjukkan raut wajah khas masing-masing, ditatapnya sang putra yang menekuk wajahnya masam. Selamat datang di Desa Pendem Asih. Begitulah kiranya tulisan di gardu untuk menyambut orang-orang yang memasuki wilayah desa itu. “Ma, kenapa kita yang harus kesini sih? Aris sarankan lebih baik kita bawa saja kakek bersama kita ke kota, lalu merawatnya disana.” Amina menatap anak bungsunya, hela napas terdengar mengalun pelan. Aris memang tipikal anak laki-laki yang sulit di atur, jarang menuruti perkataan orangtuanya. “Kita sudah membahasnya, Aris.” Anak itu mendengus malas, ia melirik kesampingnya tepat dimana Ara duduk santai sambil mendengarkan music dari earphone-nya. Aris berpikir bagaimana kakaknya yang super jutek itu bisa sukarela menerima hal ini, ia pikir tadinya Ara akan membantu dirinya untuk menolak pergi kemari. “Satu belokan lagi kita sudah sampai, bersikaplah dengan baik.” Pesan Hardi kepada dua anaknya. Kendaraan beroda empat itu melaju pelan melewati jalanan gang yang hanya muat untuk satu mobil, ada sekitar empat rumah di gang kecil itu. Rumah yang mereka tuju berada di urutan kedua dari rumah-rumah yang ada disana, terlihat mencolok karena arsitekturnya masih mempertahankan gaya kuno. Mobil itu berhenti tepat di halaman luas yang di tanami oleh pohon mangga, keempatnya mulai beranjak turun untuk menemui seseorang yang sudah menantinya disana sedari tadi. “Ugh sial, sepatuku jadi kotor.” Gerutu Aris saat kakinya menapaki tanah dengan kubangan air, membuat wajahnya semakin di tekuk berkali-kali lipat. Amina menyenggol pelan bahu anaknya, meminta agar Aris segera mendekati kakeknya. “Salam, pak. Mina sangat merindukan bapak, bagaimana dengan keadaan bapak akhir-akhir ini?” Amina langsung mencium tangan bapaknya, orangtua Mina yang tersisa satu-satunya itu memilih hidup di desa tanpa mau pindah mengikuti anaknya. Kakek Utomo ikut terenyuh saat bertemu putri semata wayangnya, dirinya ikut terbuai hingga meneteskan air mata. “Bapak mulai membaik, apalagi saat bertemu kalian.” Amina bangkit dari bersimpuhnya, ia sedih melihat orangtuanya yang kini sedang duduk di kursi roda. Bapaknya yang gagah kini terlihat lemah dengan kursi roda sebagai penopangnya, ia saudah berkali-kali meminta agar Utomo mau pindah bersama dirinya, akan tetapi orangtua itu kekeuh dengan tetap tinggal di desa kecil kelahirannya ini. “Bapak.” Kini giliran Hardi yang menyalami tangan mertuanya, yang juga ia anggap sebagai orangtua sendiri. Karena orangtua Hardi keduanya sudah lama meninggal, Utomo pun sudah menganggap menantunya seperti anak sendiri. “Kamu sehat kan nak? Bapak selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.” “Hardi sehat pak.” Jawab Hardi, ia memberi kode pada anak-anaknya untuk menyapa sang kakek. Dimulai dari Aris, anak laki-laki itu memasang tampang senyum yang dipaksakan. Ia masih kesal dengan sepatu barunya yang terkena tanah basah, apalagi warna sepatu itu putih. “Cucu kakek, Aris. Sekarang sudah besar, sudah lulus SMA kan ya?” Aris hanya menanggapi dengan anggukan. Amina memelototi anaknya dengan kesal, heran dengan anak satu itu. Kini giliran Ara, gadis itu tak terduga karena ia memasang raut ceria. Sejak mulai memasuki desa ini dirinya merasa sensasi sejuk, ia menyukai tempat sejuk nan indah. Pemandangan desa ini mampu membiusnya, sejak kecil ketika pertama kali menapaki desa ini Ara sudah jatuh cinta. “Selamat pagi kakek, Ara saaaangat merindukan kakek.” Ara berlari kecil untuk memeluk Utomo, membuat laki-laki tua itu terkekeh. Cucu perempuannya memang tidak berubah, walaupun mereka jarang bertemu—akan tetapi keduanya memiliki ikatan batin yang kuat, dibanding dengan yang lainnya. “Kakek juga merindukan Ara, cucu kecil kakek yang ketika kecil selalu meminta gendong.” Mereka tertawa kecil, Ara meringis malu karena dirinya kecil dulu menjadi anak yang cukup manja, agak berbeda dengan dirinya yang sekarang. Utomo menoleh singkat pada pria paruh baya yang berada di balik kursi rodanya, pria itu sedari tadi diam memperhatikan cengkrama antar keluarga itu. Sesekali ia melirik perempuan yang kini berdiri disampingnya, tapi seketika ia tahu diri dengan menahan semua perasaannya. “Nak Soleh yang menjaga selama bapak sakit, dia selalu datang ketika pagi dan sore. Soleh, perkenalkan mereka berdua adalah cucu ku, Ara dan Aris.” “Saya Ara, terimakasih sudah menjaga kakek selama ini.” Ara berjabat tangan dengan pria itu, keduanya tersenyum sebagai awal perkenalan. “Saya Aris.” Singkat dan jelas, tentu saja sudah bisa ditebak. Amina bersitatap dengan Soleh, buru-buru perempuan itu mengedarkan pandangan karena canggung. “Ayo kita masuk.” Pak Soleh dengan sigap membantu kakek Utomo mendorong kursi rodanya, sementara Aris sudah terlebih dulu menyelonong masuk. Di ruang tamu ada kursi jati yang ukirannya terlihat rumit, mereka memilih duduk disana. Ara mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, tidak ada yang berubah dari rumah kakeknya. Sudah lama sekali dirinya tidak kesini, terakhir kali ia mengunjungi rumah ini ketika usianya 5 tahun. Tak jarang Amina dan Hardi mengunjungi orangtua itu disaat memiliki banyak waktu luang, tapi baik dari Ara maupun Aris sama-sama tidak bisa ikut. Jika Ara karena kesibukan pendidikan yang mengharuskannya tinggal di Asrama lebih lama walaupun itu adalah hari libur, berbeda dengan Aris yang beralasan malas. Saat Smp dan Sma, Ara lebih memilih tinggal di Asrama sekolah. Kedua sekolah itu masih satu yayasan, sehingga Ara tidak perlu repot berpindah tempat terlalu jauh. Kini karena liburan semester kuliahnya serta untuk menjenguk Utomo yang sakit, Ara dan Aris di haruskan ikut bersama orangtuanya. Sedangkan Amina dan Hardi sendiri tidak bisa lama-lama menemani mereka, ada urusan bisnis yang mengharuskan mereka terbang ke Negara tetangga. “Kalian akan tinggal disini lama ‘kan?” Tanya Utomo, orangtua itu terlihat gembira ketika keluarganya kumpul bersama. Amina dan Hardi sama-sama menunjukkan raut tidak enak. “Maaf sebelumnya pak, aku dan Mas Hardi tidak bisa berlama-lama. Lusa kita berdua harus ke Singapura masalah pekerjaan, hanya Ara dan Aris yang akan tinggal lebih lama disini.” Utomo Nampak sedih, tapi mengingat ada kedua cucunya yang bisa tinggal bersama menemaninya—membuat orangtua itu bahagia. “Ya sudah tidak apa, yang penting cucu-cucuku bisa menemani kakeknya ini. Oh ya, kalian tidur disini kan malam ini?” Amina menggeleng, lagi-lagi ia tidak bisa menemani bapaknya itu. “Kita langsung pulang hari ini, besok kita harus bersiap.” Utomo tersenyum sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. “Dimana kamar Aris, kek?” remaja laki-laki itu terlihat bosan mendengar basa-basi khas orangtua, ia sudah tidak sabar merehatkan punggungnya di kasur karena semalaman ia harus menahan pegal akibat terlalu lama menyandarkan diri di jok. “Kakek akan mengantarkanmu.” Ujar Utomo, ia menolak tawaran Soleh yang akan mendorong kursi rodanya. Orangtua itu sekali-kali ingin mandiri, tidak enak pada Soleh yang selalu membantunya kapan pun. “Kalau begitu Soleh mohon undur pak, nanti sore Soleh akan meminta Andi untuk datang kesini.” Utomo mengangguk senang, karena Andi yang sudah ia anggap sebagai cucu sendiri akan datang. “Terimakasih, nak Soleh.” Ujar Utomo, Soleh beranjak dari duduknya. Pria paruh baya itu mengangguk singkat pada Amina dan Hardi, berniat untuk pamit. Selepas kepergian Soleh, mereka kembali berbincang-bincang mengenai pekerjaan. Sedangkan Aris dan Utomo pergi untuk menunjukkan kamarnya. Merasa tak ada kerjaan, akhirnya Ara memilih mengikuti kakeknya. Gadis itu mengejar Aris dan kakeknya yang sudah berbelok tertutup dinding. Ara juga ingin mengenang masa kecilnya dulu, ia akan meminta kamar yang sama seperti yang ditempatinya semasa kecil. Awas saja jika kamar itu di tempati Aris—gumamnya dalam hati. Ara membuntuti kakeknya, diam-diam dari belakang ia mendorong pelan kursi roda kakeknya. Utomo sedikit tersentak, menoleh ke belakang mendapati cucunya yang tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. “Ini kamar untuk Aris. Barang-barang kamu ambil dulu gih, nanti di susun ke lemari kayu itu.” Mereka tiba di ruangan sederhana, ada sebuah ranjang sedang disana. Satu buah jendela yang menghadap ke samping rumah, serta lemari besar yang terbuat dari kayu jati. Aris memeriksa ranjangnya, memastikan benda itu nyaman untuk punggungnya. “Hm.. Lumayan.” Gumamnya sambil rebahan disana. Utomo tersenyum simpul, ia tahu bahwa cucu lelakinya itu tipe pemilih dalam hal apapun. “Ini ranjang yang empuk dari semua kamar, kakek meminta Pak Soleh meletakkannya disini khusus untukmu.” Aris hanya menjawab dengan anggukan kepala, matanya terpejam seiring dengan angin sejuk yang berhembus dari jendela. “Ck, dasar anak manja.” Decak Ara. Utomo memegang bahu cucunya pelan. “Adikmu memang seperti itu, tak apa biarkan dia beristirahat. Oh ya Ara, kamu mau kamar yang dulu atau kamar lainnya?” “Kamar yang dulu saja, kek.” Keduanya beranjak pergi dari kamar Aris, menutup pintu itu agar sang pangeran tidur tidak terganggu. Ara dan kakeknya berjalan ke ruang lainnya, disanalah kamar Ara semasa kecil. Barang-barangnya yang tertinggal dulu masih berada di tempatnya, hanya saja sedikit berdebu karena tentu saja Utomo tidak bisa banyak bekerja membersihkan rumah. Ara maju melangkah memasuki kamarnya, ruangan itu sedikit lebih kecil daripada milik adiknya. Tapi Ara sangat suka karena di kamar itu sudah di cat sesuai warna kesukaannya, yah walaupun cat nya sudah terlihat usang. Hanya satu yang Ara sesalkan.. kenapa kamar Aris berada tepat di sampingnya, adiknya itu memiliki sifat buruk dengan membunyikan music keras-keras yang tentunya akan merusak waktu tidurnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Dependencia

read
186.9K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.4K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook