Tentang Kedekatan

1358 Words
Di rumah keluarga Hendrawan, Aska dan Jasmine sedang duduk di sofa ruang tengah dan diapit oleh kedua orang tua mereka menikmati siaran televisi. Keduanya mendapatkan camilan sriping pisan buatan tangan mama mereka langsung sehingga mereka berdua kerap beradu gulat untuk bisa mendapatkan bagian terbanyak dari makanan ringan itu. “Awas tangan lo, Kak.” Aska memincingkan matanya pada Jasmine. “Elo yang awas, hormat sama yang lebih tua.” Jasmine tidak mau kalah. Dua orang tua sedang memperebutkan satu potongan terakhir dari seriping pisang yang ada di dalam toples. Tangan mereka berdua saling meblokir agar tidak bisa masuk. Tapi tiba-tiba sebuah tangan terulur masuk ke dalam toples dengan sangat mudah. Aska dan Jasmine yang menyadari itu cuma bisa melongo. “Wah nyari ribut.” Aska menyingsingkan lengan bajunya dan sudah bersiap untuk melompat dari sofa untuk mengejar kakaknya, Panji yang malah dengan santainya mengambil sriping pisang yang sedang direbutkan olehnya dan Jasmine. “Aska! Aska!” Aska yang sudah mengejar Panji hingga mereka berlarian di ruang tengah akhirnya diam ketika mendengar sang mama sudah memanggil namanya bukan sebutan ‘adek’ seperti biasa. Aska berbalik cemberut dan akhirnya duduk di tengah dihimpit oleh 4 anggota keluarganya. Di kanan ada Jamine dan sang papa, dan di kirinya ada Panji dan mamanya. “Nggak asik, mama.. aku kan sedang membela keadilan.” Aska bersungut-sungut. Dia amsih saja tidak rela potongan terakhir sriping pisang yang penuh rasa gurih itu jatuh ke tangan Panji. “Kan kamu sama kakak udah makan satu toples, abangmu ini belum lho...,” timpal Jane. Mengingatkan Aska yang sudah makan lebih banyak dari Panji. Bibir Aska sudah manyun tapi dia akhirnya sadar kalau sudah rakus tadi. Ya mau bagaimana lagi, kalau mamanya yang membuat rasa sseriping pisang lebih enakkkk, asinnya mengena sampai ke hati pokoknya. Panji menepuk-nepuk kepala Aska sebagai permintaan maaf. “Oh iya, satu minggu lagi ulang tahunnya mama Prita ya, Pa, Ma?” Aska tiba-tiba menyeltuk, bertanya pada kedua orang tuanya. Satya mengangguk, sama juga dengan Jane. “Kita akan jenguk mama Prita ke makam seperti biasa. Kamu pulang ‘kan, Jasmine?” Satya menoleh ke arah anaknya yang duduk tepat di sebelahnya. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat jadwal kerjanya seminggu ke depan. “Bisa kok, Pa.. aku bisa pulang kali ini. Aku juga kangen Mama.” Suasana di ruang tengah tiba-tiba menjadi hening dan sendu. Tangan Satya sudah merangkul tubuh putrinya yang ditinggal pergi sang mama sejak masih kecil dan sekarang seperti sekejap saja Jasmine sudah tumbuh besar dan meraih cita-citanya. Masih sangat jelas di ingatan Satya hari di mana Prita pergi meninggalkan dunia yang runtuh untuknya dan Jasmine. Tapi kemudian Jane datang dan mengubah semuanya. Setelah menenangkan putrinya, Satya menoleh pada Jane yang juga sedang memperhatikannya. Di raut wajah Jane yang sudah menginjak usia kepala 5, Satya melihat gurat senyum penuh ketulusan yang tidak pernah pudar setiap kali pembahasan tentang Prita muncul. Satya merasa beruntung sekali dia bisa mencintai dan dicintai oleh dua orang wanita hebat. Satya kemudian membalas senyum Jane seolah mereka sedang berkomunikasi tanpa suara.   ///   Panji yang meski baru masuk kerja 4 hari lalu, dia harus cepat beradaptasi dengan arus kerja di perusahaan papanya yang memang cepat. Dia sebagai Manajer Business Dvelopment memilikii tugas utama untuk membantu perusahaan mengembangkan bisnis dengan meningkatkan posisi perusahaan di pasar. Ini juga bertujuan untuk menunjang perkembangan bisnis perusahannya. Pekerjaannya juga kemudian banyak terlibat dnegan jajara tim produk, marketing, serta jajaran C-level management. Posisi C-Level adalah mereka yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan perusahaan. C-level ini terdiri dari jabatan CEO dan jabatan tinggi yang lain sehingga dia kadang bertemu dengan Satya. Jajaran C-level inilah yang akan banyak memberikan arahan dan masukan terhadap apa saja yang harus dilakukan untuk mengembangkan bisnis. Arahan dan masukan tersebut yang kemudian harus Panji kolaborasikan bersama dengan tim produk dan marketing. Beradaptasi sekaligus bekerja menjadi snagat sibuk untuk Panji dan juga Nidya yang mendampinginya sebagai asisten. Nidya yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain membantu Panji dalam mengenal jabatannya meski dia juga meminta bantuan Satya. Tapi mendapat info dari Nidya dan staff nya jelas berbeda. Apalagi ketika akhirnya buku catatan Nidya menjadi bertambah banyak karena dia harus menyatat juga tentang relasi bisnis perusahaan. Panji sama-sama menggunakan metode ini untuk dekat dengan relasi yaitu mencari tahu sampai hal yang disukai maupun yang tidak disukai. Saat mereka baru saja selesai bertemu dengan relasi bisnis di sebuah restoran, Panji menyuruh Nidya untuk tidak bangkit dari duduknya. Lalu kemudian dia berjalan menghampiri Nidya dna tiba-tiba berlutut dengan satu kaki dan memegang pergelangan kaki Nidya. “Eh.. Bapak mau apa?” Nidya segera menarik kakinya kembali tapi Panji kembali meraih kakinya. Kemudian pria itu malah melepaskan pump heels H&M berbahan Polyester berwarna pink yang digunakan oleh sedang digunakan oleh Naya dua-duanya. “Tumit kamu luka begini tapi kamu nggak obatin?” Naya tersentak ketika Panji menatapnya dengan tajam. Panji marah karena dia tidak mengobati luka di tumitnya karena pakai heels untuk moving bersama kesibukannya 3 hari ini? “Iya, Pak. Saya mau obati tapi lupa terus...,” Naya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Tapi dia sangat canggung sekarang karena Panji masih saja duduk berlutut di hadapannya dan memegangi kakinya. Nidya takut kakinya berbau.. walau dia yang hal itu tidak pernah terjadi, dia selalu menjaga kerbersihan kakinya. Tapi karena kemarin dia sangat sibuk, dia terus lupa mengobati kakinya yang terluka. Tadinya hanya sebelah kakan, tapi kemudian tumit kaki kirinya juga demikian. Nidya tidak menyangka akan terluka seperti ini karena sebelumnya dia tidak pernah moving sebanyak dia harus mengikuti Panji. Panji menghela napas. Dia kemudian bangkit dan berjalan ke arah pintu. “Tunggu di sini dulu.” Titah Panji. Setelah memberikan perintah itu, Panji keluar dari ruang privat untuk meeting di restoran Jepang yang dipilih oleh relasi mereka sebagai tempat bertemu. Nidya sendiri langsung bergerak mencium kakinya apakah berbau, tapi untungnya tidak. Dia bisa bernapas lega karena hal itu. Dia tentu tidak mau di anggap jorok hanya karena bau kaki padahal dia harus menjadi asisten untuk pria penuh pesona seperti Panji. Satu yang kemudian Nidya tahu setelah bersama Panji sampai hari ke 5 ini, bahwa Panji tidak akan menyuruhya melakukan tugas bila pria itu bisa melakukannya sendiri. Anak dari pemilik dari perusahaannya itu biasanya meminta bantuan Nidya kalau itu berhubungan dengan peritilan kecil ddari tugas tertentu. Dan untuk saat ini dia lebih banyak diberi tugas untuk memaparkan laporan divisi Business Development yang terdokumentasi selama awal tahun hingga saat sebelum manajer yang lama resign. Nidya mematikan ponselnya ketika mendengar suara pintu terbuka. Muncul lah sosok Panji yang membawa wadah yang berisi air, obat merah dan hansaplast. Tapi satu tangannya lagi kemudian menenteng juga sebuah sandal wanita. Panji kembali berlutut dengan satu kaki di depan Nidya kemudian tanpa bicara segera mengobati kaki Nidya meski perempuan itu sudah menolak dan bisa melakukannya sendiri. “Biar saya sendiri saja, Pak.” Nidya menarik kakinya lagi tapi Panji juga tidak mau kalah. Dia memegang telapak kaki Naya erat sampai tanpa sengaja rasa sakitnya menjalar pada luka di tumitnya. “Aduh...,” Nidya meringis kesakitan dan memilih diam begitu Panji, atasannya itu kembali mengobatinya. Panji memulai mengobati luka Nidya dengan membersihkan dengan air, kemudian mengeringkan dengan tisu yang tersedia di meja makan mereka lalu setelah kering memberikan obat merah di luka itu dan terakhir menempelkan hansaplast untuk mencegah debu dan kotoran menempel di luka yang masih baru itu karena Nidya masih harus berjalan di luar rumah yang artinya debu sangat berterbangan. “Sudah.” Panji melepaskan kaki Nidya dari tangannya kemudian menatakan sepasang sandal di hadapan perempuan yang menjadi asistennya itu. “Ini milik siapa, Pak? Saya bisa pakai sepatu saya sendiri, kok...,” nada suara Nidya semakin lirih ketika mendapat tatapan Panji yang memincing padanya. “Pakai saja, itu milik kakak perempuan saya.” “Tapi saya tidak enak, Pa—“ “Pakai saja, Nidya.” Nidya kemudian terdiam ketika nada suara Panji seolah mengatakan perdebatan mereka sudah final. “Baik, Pak.” Mau bagaimana lagi, Nidya memang butuh sandal ini. Lagi pula sekarang jam kantor sudah usai, dia akan langsung pulang setelah ini. “Kamu mau ke mana?” Panji bertanya pada Nidya yang berpamitan padanya saat mereka sedang ada di lobi restoran. Nidya berbalik menghadap Panji lagi dengan raut wajah bingung. Dia sudah berpamitan pulang kenapa Panji bertanya dia akan ke mana? "Saya akan pulang, Pak." Jawab Nidya. "Kita pulang sama-sama, kamu saya antar pulang." Nidya segera menggelengkan kepalanya dan tanganya juga heboh menolak tawaran Panji. "Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri." "Tidak papa, saya melakukan ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu saya sejak kemarin. Lagi pula sandal itu harus kamu kembalikan." Nidya segera menunduk menatap kakinya dengan wajah melongo. Jadi karena sandal ini Panji mau mengantarnya pulang? Wah... /// Instagram: Gorjesso Purwokerto, 8 Agustus 2020 Tertanda, . Orang yang abis pulang kondangan langsung ngetik . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD