Menghindari Masalah

1357 Words
“Mangsa baru kayaknya.” Arav, teman Panji sejak SMA menyeletuk dengan wajah menggoda. Tapi panji cuma diam tidak menanggapi. “Mirip kaya mantan elo bodynya.” Ian, teman Panji dari SMA juga ikut menambah. “Jangan ngaco!” Panji melemparkan popcorn pada Ian yang memandangi body Nidya sejak tadi. “Kagak ngaco gue. Udah hapal juga sama tipe cewek elu yang nggak jauh-jauh dari body yahud sama rambut panjang terus diwarnai coklat terang.” Ian memberikan pembelaan. Panji cuma mengedikkan bahunya sebagai balasan tapi teman-temannya yang lain masih membahas hal ini. Dia sadar kalau perempuan yang menjadi pacarnya selalu memiliki hal-hal yang disebutkan oleh Ian tadi. Nyatanya ada seseorang yang menjadi patokan ‘wanita idaman’ untuk Panji tapi tidak bisa dia miliki. Maka setiap wanita yang berhasil dekat dengannya tidak jauh dari tipe ‘wanita idaman’ tadi. Dan Nidya termasuk di dalamnya. /// Aska melirik berkali-kali pada seorang yang duduk di sebelahnya. Dia sedang mendengarkan Presiden Mahasiswa yang memparkan tentang Ospek untuk mahasiswa baru yang masih di godok walau sudah sampai presentasi tujuh puluh persen sekarang ini. Berada di aula besar yang biasanya digunakan untuk wisuda, bagian-bagian organisasi duduk bersama anggotanya kecuali para ketua yang duduk di depan menunggu giliran untuk menyampaikan pencapaian mereka dalam menyiapkan Ospek fakultas. Dna kebetulan seorang yang duduk di sebelahnya Aska adalah Fania. Bukan benar-benar bersebelahan, tapi ada seorang lagi yang duduk di sebelah Aska sehingga dia harus menghela nafas kecewa karena lagi-lagi Fania menghindarinya. Dia juga kesusahan untuk mendapatkan view langsung pada Fania karena seorang yang duduk di sebelahnya ini. Aska bisa saja meminta orang itu untuk bertukar tempat duduk dengannya, tapi yang ada nanti kehebohan yang terjadi. “Yaelah dilirik mulu, Ka. Ditembak kapan?” orang yang duduk di antara Aska dan Fania malah menyindir Aska sambil berbisik. “Brisik lu, Paijo!” Aska menggeplak kepala Jonathan yang lebih sering dipanggil Paijo karena meski wajahnya bule tapi ngomongnya medhok dialek Jawa Timuran. Dia sih senang-senang saja karena jadi terkenal. Jonathan teman sekelas Aska juga, satu organisasi dengan Fania dan tahu tentang perasaan Aska pada Fania karena saking seringnya Aska memantau Fania melaluinya. Seperti misal ketika rapat hingga malam hari, Aska akan terus bertanya pada Jonathan apakah Fania sudah dijemput atau belum, siapa yang menemani dan apa Fania sudah makan melalui w******p. Hal yang bisa membuat perempuan mana saja luluh, tapi tidak dengan Fania. Makanan yang dibelikan Aska saja akhirnya dimakan bersama teman-teman. Level ketidak pekaan Fania memang sudah separah itu. “Sakit, b**o! Gue mengundurkan diri jadi perantara kalian baru tahu rasa!” Jonathan membalas geplakan Aska. “Amjink, baperan kek cewek!” cibir Aska gantian. Mereka berdua ribut saling berdebat sampai Presiden Mahasiswa yang masih berbicara menegur Aska dan Jonathan. “Aska sama Paijo mesra banget, tapi pacarannya nanti aja, ya!” Afzam, si Presma (Presiden Mahasiswa) menegur sekaligus menyindir keributan yang ditimbulkan anggota rapat kali ini dan disambut tawa oleh seluruh peserta rapat tidak terkecuali Fania. Baik Aska maupun Jonatha langsung menatap datar pada Afzam yang sama-sama mereka kenal dekat karena satu circle. “Nanti gue siram pake kopi kalo nongkrong di kantin.” Gumam Aska merencanakan balas dendam yang kemudian menutupi wajahnya dengan kertas. “Gue jejelin cabe 10 biji punya mbak Sari yang jual gorengan, awas aja si anak mama.” Jonathan juga ikut-ikutan mengancam Afzam. Fania yang duduk di sebelah Jonathan cuma geleng-geleng kepala mendengar ancaman kekanak-kanakan dari Jonathan dan Aska. Dia sudah terbiasa mendengar keributan yang ditimbulkan oleh geng aneh dan abusrd di kampus mereka tapi anggota geng itu sebagian masuk dalam organisasi dan berwajah ganteng. Yeah... Fania mengakui wajah Aska memang ganteng. Walau kelakuannya sering sekali membuat dia ingin menghindari Aska, dia tidak mau terlibat masalah. Apalagi banyak sekali adik maupun kakak tingkat yang menyukai adik dari orang yang disukainya itu. Sebab itu Fania sebiasa mungkin tidak berada dalam jarak dekat dengan Aska meski mereka saling mengenal.   ///   Panji mendesah lelah setelah melakukan briefing dengan tim nya pagi ini. Dia bukan lelah secara fisik tapi pikirannya, karena hari ini untuk pertama kalinya dia memimpin tim ntuk briefing tapi fedback yang dia dapat dari anggotanya sangat jauh dari ekspektasinya. Benar kata papanya kalau dia pasti akan menghadapi konflik di dalam divisinya di masa awal dia menjabat menajdi manajer karena dianggap masuk dengan jalan nepotisme meski dia ini anak dari yang memiliki perusahaan sekali pun. Lalu masalah pengalaman dan umurnya yang diaggap remeh oleh sebagian rekan kerja yang sudah memiliki banyak pengalaman di bidang ini. TOK TOK Panji tebangun dari lamunannya ketika pintu ruangannya diketuk. “Masuk.” Saat pintu terbuka, sosok Nidya yang menjadi asistennya muncul membawa nampan dengan cangkir di tengahnya. Panji bangkit dari duduknya ketika Nidya menghampiri meja kerjanya. “Kopinya, Pak.” Kata Nidya sambil menghidangkan secangkir kopi hitam dengan satu setengah sendok gula. Ini adalah minuman kesukaan Panji di pagi hari bahkan kopi adalah salah satu hal favorit bagi Panji sampai dia punya sertifikat sebagai barista profesional. Nidya mencari tahu hal ini dari Galuh, asisten ayah Panji sekaligus pemilik perusaan tempatnya bekerja. “Apakah asisten biasanya membuatkan kopi untuk manajer?” tanya Panji karena dia tidak tahu dengan kebiasaan di kantor papanya. “Tidak, Pak. Biasanya OB akan membuatkan, tapi kalau bapak meminta itu saya bisa melakukannya.” Jawab Nidya. Panji segera menggeleng setelah meneguk sedikit kopi yang dibuatkan Nidya, “tidak usah, biar saya lakukan sendiri. Tapi terima kasih, rasa manisnya pas.” Ujarnya kemudian dengan senyum kecil. Panji tidak sedingin yang dibayangkan untuk mengucapkan terima kasih. Pikir Nidya dalam hati. Karena selain mendapatkan info tentang apa saja yang disukai oleh Panji, Nidya juga mendapatkan semua hal tentang sosok manajer barunya itu dari Galuh bahkan soal Panji yang seorang pemain wanita juga dia ketahui. “Tapi wajarlah kalau dia main cewek. Wajah sama duitnya mendukung.” Nidya menanggapi begitu ketika ditanyai pendapat soal sifat playboy bosnya ini. “Kalau begitu saya permisi, Pak.” Belum Nidya berbalik sepenuhnya, Panji kemudian memanggil namanya. “Tunggu, Nidya!” “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Ini untuk pertama kalinya Nidya menjadi asisten. Dia tidak tahu banyak soal hal ini karena semasa kuliah juga dia bergelut dengan manajemen bisnis. Lalu tiba-tiba ditunjuk menjadi asisten dari anak pemilik perusahaan yang baru saja lulus kuliah. Panji jelas lebih muda sekitar 3 tahun darinya. Tapi sejak kemarin Panji memanggil nama saja, Nidya sih santai saja karena itu tidak penting meski dia lebih tua toh tetap Panji yang menjadi atasannya. “Kamu bisa membuat mm.... semacam catatan yang disukai atau yang tidak disukai begitu?” “Oh iya bisa, Pak. Tapi tentang siapa ya, Pak?” kalau hal ini Nidya pernah membuatnya juga. “Tentang anggota divisi kita.” Kata Panji. Nidya segera mengangguk-anggukan kepala. Nidya tahu sekali bagaimana tadi penolakan dari yang halus sampai yang kasar atau terang-terangan saat Panji memperkenalkan diri dan mengungkapkan bagaimana visi dan misinya untuk divisi Bidi. Satu langkah pendekatan yang menurut Nidya bagus karena Panji ingin mengenal anggota Bidi lebih jauh. Dan kebetulan dia punya data tentang hal ini. “Oh.. kalau untuk anggota divisi kita saya punya catatannya, Pak.” Mata Panji membulat, dia terkejut karena Nidya ternyata membuat hal catatan seperti ini. Panji kira selama ini dia yang terlalu perfeksionis karena setiap ingin mendekati seseorang maka dia melakukan pendekatan dengan cara seperti ini. “Kamu punya?” Nidya mengangguk. “Iya, Pak. Tapi ada di kost tempat saya tinggal.” Panji menganggukan kepalanya mengerti. “Boleh saya pinjam catatan kamu?” “Boleh, Pak. Tapi nanti biar saya perbaharui dulu karena ada beberapa yang berubah dan bertambah soal anggota Bidi.” Panji menarik sudut bibirnya. “Tidak apa-apa. Saya justru berterima kasih karena sudah terbantu dengan hal itu.” “Sama-sama, Pak.” Nidya tersenyum lebar dan itu menarik perhatian Panji dingga dia terdiam. Tangannya tiba-tiba saja sudah berada di sudut bibir Nidya tanpa bisa dia kontrol dan itu mengejutkan Nidya tentu saja yang langsung menjauh. Panji segera menarik tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celana yang dia kenakan. “Maaf. Tadi ada remahan di sudut bibir kamu.” Dan itu hanya kebohongan. Nyatanya wajah Nidya bersih dari apapun kecuali make up minimalis yang dipalikasikan sangat cocok dengan wajah cantinkya. Nidya mengusap sudut bibinya. Dia tidak tahu remahan macam apa yang ada di bibirnya padahal dia belum memakan apa pun selain minum lemon tea hangat tadi. Tapi dari pada suasana menjadi canggung, dia berpura-pura saja. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.” Menghindari suasana canggung berkelanjutan, Nidya segera pergi dari ruangan Panji bahkan saat pria itu belum mengatakan apa pun. Panji merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menyentuh wajah rekan kerjanya. Padahal dia sudah menetapkan peraturan untuk tidak mengecani satu pun karyawan di perusahaan papanya karena dia tidak ingin terjadi hal-hal seperti gosip tidak enak tentang dirinya atau pun drama yang bisa saja timbul. Dia tidak suka itu. . /// Instagram: Gorjesso Purwokerto, 7 Juli 2020 Tertanda, . Orang yang lagi dengerin lagu I Knew I Love dari Jeon Mi Do, OST Hospital Playlist . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD