2. Mendadak Hamil

1909 Words
"Pacar yang mana, Uwa?" tanya Dirga setengah linglung. "Pakai nanya!” desis Meilan gemas sembari menyikut rusuk Dirga. “Lah itu yang lagi masak siapa?" "Oh, Noia itu ahli gizi!” Wajah Dirga langsung tampak tidak karuan. Geli melihat kelakuan keluarganya, tetapi tidak enak juga kepada Noia karena membuat perempuan itu disalahpahami. Sebelum kesalahpahaman itu tambah luas, segera saja Dirga menjelaskan, “Hari ini Noia datang buat bantu saya masak makanan khusus untuk Uwa." "Wah, hebat!” Linda bertepuk tangan penuh kekaguman. “Pacarnya Aa ternyata ahli gizi." Dirga mendelik kaget sambil menggeleng kencang. "Bukan pacar saya, Uwa!" "Ah, suka malu-malu deh kamu!" Meilan mencubit gemas lengan keponakannya. "Masa pacar secantik ini enggak diakui, malah mau disembunyikan." Linda mengangguk, lalu menimpali ucapan kakaknya, "Harusnya dipamerin, Aa!" "Coba, coba, kasih tahu!” ujar Ayunda mencoba menenangkan keriuhan kedua kakak iparnya. “Sudah berapa lama kalian saling kenal?" Sejujurnya, Ayunda khawatir Noia akan merasa ketakutan diserang pertanyaan begini. Masih untung baru mereka bertiga, belum ditambah para suami yang bisa heboh juga melihat keponakan ganteng mereka membawa pulang seorang perempuan. Pasalnya, dari pihak keluarga sang suami, hanya tinggal Dirga saja keponakan laki-laki yang belum menikah. Belum lagi, harus diakui jika di keluarga besar Handi, Dirga adalah keponakan laki-laki yang berparas paling tampan. Bisa dikatakan bibit unggul. Tubuh Dirga tinggi dan ramping, tidak sampai kekar berotot, tetapi terlihat bugar. Wajah tampannya didukung kulit putih bersih, hasil warisan dari Ayunda. Intinya, Dirga selalu berhasil menggaet hati banyak perempuan. "Sekitar setengah tahun lebih," jawab Dirga setelah mengingat-ingat pertemuan pertamanya dengan Noia saat perempuan itu mendatangi kantor pusat SleepCabin untuk menawarkan kerja sama. "Belum lama, tapi enggak baru juga." Linda mengangguk-angguk kecil menanggapi ucapan Dirga. "Cukuplah buat dikenalin ke keluarga." "Uwa, saya serius," ujar Dirga memelas. "Kami enggak ada hubungan apa-apa." "Ah, enggak masalah!" Meilan mengibaskan tangan dengan santai. "Uwa ngerti kok." "Ngerti apa, Teh?" tanya Ayunda bingung. Meilan tertawa renyah sembari berkedip jenaka. "Anak muda zaman sekarang sudah biasa itu. Saling suka, akrab, tapi enggak mau ada status." Sekeras apa pun usaha Dirga untuk menjelaskan, rupa-rupanya tidak ada yang percaya. Mereka tetap berasumsi bahwa Noia adalah kekasih Dirga. Noia sendiri tidak mengatakan apa-apa dan memilih menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang. Dia merasa tidak berhak untuk banyak bicara karena mereka baru saling mengenal. Biar Dirga saja yang mengatasi kesalahpahaman keluarganya. Selesai dengan masakan terakhir, Noia berinisiatif membersihkan dapur agar semua kembali rapi seperti sebelum dia gunakan. Setelah itu, dia menghampiri Dirga. "Mas, saya udah selesai. Saya langsung pamit pulang ya." "Kenapa bisik-bisik, hayo?" goda Linda jail. "Noia masaknya sudah selesai," ujar Dirga kepada ketiga perempuan paruh baya yang menatap mereka dengan penasaran. "Sekarang mau pamit pulang." "Eh, eh, eh, mana bisa?" protes Meilan kaget. "Iya, loh!" Linda tampak keberatan juga seperti kakaknya. "Masa habis masak langsung pulang. Memangnya koki?" "Makan sama-sama dulu ya, Neng," ujar Ayunda dengan tatapan membujuk. "Habis itu baru pulang." Melihat situasi yang membuat Noia terpojok, Dirga segera menenangkan. "Kalau kamu keberatan, tolak aja enggak apa-apa kok." Namun, Noia adalah perempuan sopan yang selalu menghargai keinginan orang tua. Dia tidak bisa menolak, tepatnya tidak tega. Pada akhirnya, Noia bersedia ikut makan bersama keluarga Dirga. "Wah, ini masakannya enak sekali!" puji Ayunda kagum. Linda menimpali ucapan adik iparnya, "Pacarnya Aa pintar masak ya." “Hebat ya!” sahut Ayunda. “Masih muda, tapi sudah jago masak.” "Sudah lama Uwa enggak makan masakan yang enak begini. Biasanya selalu kayak menu di rumah sakit, hambar," ujar Linda blak-blakan. Sejak tekanan darahnya melambung, Linda terpaksa membiasakan lidah dengan makanan yang tidak terlalu berasa. "Eh, aku juga loh!" sambung Meilan. Dia pun senasib dengan adiknya. Ditambah sang suami bermasalah dengan gula darah. Alhasil, menu di rumah mereka seringnya menyedihkan. "Mantuku itu jago masak, tapi enggak bisa bikinin aku makanan yang enak begini. Tetap aja rasanya hambar kayak buat orang sakit, sampai malas makan aku tuh." "Noia sudah berapa lama belajar masak?" tanya Ayunda lembut. "Dari kecil sudah biasa masak di rumah, Bu, terus selesai SMA ambil kuliah gizi," jawab Noia canggung. "Lulusnya sudah lama?" tanya Ayunda lagi. "Baru satu setengah tahun, Bu." "Wah, belum terlalu lama!" seru Meilan terkejut. "Berarti Noia masih muda banget ya?" ujar Linda. "Umur berapa sekarang?" imbuh Meilan. "Hush! Tanya-tanya umur," tegur Handi kepada kakaknya. Para bapak-bapak memang sejak tadi memilih untuk tidak banyak menginterogasi Noia karena ibu-ibu sudah terlalu mencecar perempuan itu. Mau menambahi, rasanya sudah keburu tidak tega. "Enggak apa-apa ya, Noia?" ujar Linda santai. Noia mengangguk kecil, kemudian menjawab, "Sekarang saya umur 23, jalan 24." "Wah, bedanya jauh juga sama Aa!" celetuk Ayunda. Tanpa sadar Handi ikut menghitung perbedaan usia Noia dengan putranya. "Sebelas tahun ya?" "Justru bagus beda jauh tuh!" ujar Meilan bersemangat. "Noia keluarganya tinggal di mana?" tanya Linda penasaran. "Orang tua di Cihanjuang, kalau kakak di Jakarta, Bu," jawab Noia sopan. "Omong-omong, jangan panggil ibu," sahut Linda ramah. "Panggil uwa aja, sama kayak Aa." Meilan mengangguk setuju, lalu menambahkan ucapan adiknya, "Kalau ke Ayunda, panggil ambu. Iya, 'kan, Yunda?" "Betul itu." Ayunda memberikan tatapan hangat seraya mengangguk. "Jangan sungkan di sini." Obrolan di meja makan masih terus berlangsung sampai hampir mendekati pukul 21.00, melihat waktu yang sudah cukup larut, Noia segera berpamitan. "Yah, sayang sekali sudah harus pulang," ujar Meilan dengan wajah kecewa. "Besok Noia datang lagi, 'kan?" tanya Linda penuh harap. Tanpa ragu Noia mengangguk. "Iya, Uwa." Lucunya, semua orang ikut berdiri, lalu mengantar Noia ke halaman depan. Ayunda mengernyit tidak suka saat melihat Noia bersiap-siap mengenakan jaket dan helm. Segera dia mencolek pundak putranya, lalu berbisik, "Aa, Noia pulang bawa motor sendiri?" "Tadi sih, datangnya begitu, Mbu." Rupa-rupanya hal itu didengar oleh Meilan dan spontan protesnya meluncur, "Masa dibiarin pulang sendiri malam-malam begini? Mana pakai motor loh!" Noia tersentak kaget mendengar ucapan lantang Meilan. Cepat-cepat dia bicara, "Saya sendiri saja, tidak apa-apa, kok." "Enggak bisa begitu." Ayunda menggeleng resah, lalu segera mendorong putranya. "Ayo, Aa, cepat antar Noia pulang!" Noia tampak kebingungan dan salah tingkah. "Tapi, motor saya?" "Biar aja di sini," sahut Handi santai. "Besok kan datang lagi." Mata Noia terlihat gelisah, lalu ragu-ragu dia berkata, "Besok pagi saya harus kerja. Susah kalau tidak ada motor." "Ya sudah, Aa antar pakai motor," putus Ayunda cepat. "Nanti Aa pulangnya pakai ojol aja." Akhirnya, Noia tidak bisa membantah lagi dan terpaksa menuruti perkataan keluarga Dirga. "Mas, maaf jadi bikin repot," ujar Noia dalam perjalanan menuju rumahnya. "Saya yang minta maaf, Noia," sahut Dirga tidak enak hati. "Bukan cuma bikin kamu repot masak, kamu juga jadi tertahan sampai malam begini. Malah keluarga saya salah sangka soal kamu. Saya benar-benar minta maaf ya, Noia." "Saya enggak masalah kok, Mas. Biasa kalau keluarga suka begitu." "Makasih buat pengertiannya ya," ujar Dirga lega. Dia sudah khawatir Noia akan tersinggung akibat keusilan keluarganya. "Besok kamu masih mau bantu saya masak?" Tanpa ragu Noia menyanggupi. "Kan udah janji satu minggu, Mas." Namun, kesalahpahaman keluarga Dirga makin tidak bisa diluruskan ketika hari demi hari Noia terus datang. Mereka benar-benar telah meyakini jika Noia adalah kekasih Dirga yang mungkin akan segera naik pangkat menjadi calon istri. "Duh, enggak terasa besok sudah harus pulang," ujar Linda sedih ketika menemani Noia memasak sore itu. "Yang paling berat itu pisah sama masakannya Noia," sahut Meilan gundah. Apalagi sejak tadi dapur rumah Dirga dipenuhi aroma masakan Noia yang membuat kepala pening saking lapar. "Uwa selama seminggu di sini, benar-benar merasa dimanjakan sama masakannya Noia," ujar Linda senang. Meilan mengangguk setuju. "Makanan yang dimasak malam, terus besoknya dihangatkan juga masih tetap enak ya." Perlahan Linda menyentuh lembut pundak Noia. "Uwa enggak akan lupa sama masakannya Noia." "Kalau main ke Bandung lagi, Uwa pasti minta dimasakin lagi sama Noia. Boleh, 'kan?" ujar Meilan penuh harap. "Tentu boleh, Uwa." Noia mengangguk tanpa ragu. "Kalau mau dikirimkan makanan ke tempat Uwa juga boleh." Noia begitu terharu mendengar Meilan dan Linda sangat menyukai masakannya. Kalau Ayunda, wanita itu bukan tidak tergila-gila dengan masakan Noia. Hanya saja Ayunda tidak memiliki masalah kesehatan, sehingga sehari-hari lidahnya tidak tersiksa seperti kedua kakak iparnya dan bisa menikmati hidangan dengan bebas. Selain apresiasi mereka terhadap masakannya, Noia juga terharu dengan kehangatan yang keluarga Dirga tunjukkan. Terlepas dari kesalahpahaman soal hubungannya dengan Dirga, Noia bisa merasakan ketulusan sikap mereka. Tawaran Noia langsung ditanggapi dengan antusias oleh Meilan. "Memangnya bisa?" "Bisa, Uwa." Noia segera menjelaskan hal yang sudah pernah dia lakukan. "Ada beberapa menu yang bisa divakum dan sudah pernah dikirim ke luar kota." "Tahan berapa lama?" tanya Linda penuh minat. "Bisa lima sampai sepuluh hari. Tergantung masakannya. Buat besok, saya juga sudah siapkan beberapa menu buat Uwa Meilan dan Uwa Linda bawa pulang," ujar Noia malu-malu. Mata Meilan tampak berbinar-binar. "Aduh, Neng Geulis, baik sekali!" Mereka masih berbincang cukup lama sampai Noia selesai memasak. Setelah itu, obrolan berlanjut ke meja makan. "Neng, masaknya sudah selesai, 'kan?" Ayunda menyentuh tangan Noia yang baru saja datang membawakan hidangan terakhir. Noia tersenyum kecil. "Sudah, Ambu." Ayunda sedikit menarik tangan Noia. "Sini duduk!" "Sebentar, Ambu, ada yang tertinggal di dapur," ujar Noia sopan. Ayunda tidak memaksa, tetapi memilih mengiringi Noia kembali ke dapur. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan meja makan, Noia tampak limbung. Linda yang pertama melihatnya dan langsung berseru, "Aduh, aduh, Noia!" Ayunda sigap bergeser dan menangkap tubuh Noia. "Neng, kenapa?" Meilan dan Linda segera berlari menghampiri untuk membantu Ayunda memapah Noia. "Yunda, aduh, ini Noia kenapa?" seru Meilan panik saat tubuh Noia terkulai lemas. "AA! A DIRGA!" teriak Ayunda ketakutan. "Si Aa ke mana sih?" gerutu Meilan gemas. Mendengar teriakan ibunya, Dirga yang sedang berada di teras bersama Handi langsung berlari masuk. "Mbu, kenapa?" "Noia tiba-tiba pingsan," ujar Ayunda dengan suara bergetar. Tanpa menunggu lama, Dirga segera mengangkat tubuh Noia dan berjalan ke luar. "Kita bawa ke rumah sakit aja!" Seluruh keluarga Dirga ikut menemani pria itu membawa Noia ke rumah sakit terdekat. Mereka tampak resah menunggu di bagian luar IGD, hanya Dirga yang menemani Noia di dalam. "Aduh!" gumam Meilan gelisah. "Noia kenapa ya?" "Kecapekan masak buat kita apa ya?" sahut Linda dengan perasaan bersalah. "Mungkin sih, hari ini Noia masak banyak banget," gumam Ayunda. Hari ini Noia memang datang lebih awal dibanding kemarin-kemarin. Mungkin karena ingin menyiapkan makanan yang bisa dibawa pulang oleh Meilan dan Linda ke kota mereka masing-masing. "Tiap hari juga pulang malam terus," imbuh Meilan resah. Linda memainkan jemarinya dengan senewen. "Aku jadi merasa bersalah loh." "Sudah, Teh, tenang dulu," ujar Ayunda berusaha bijak. "Kita tunggu aja dokter bilang apa." Setelah menunggu hampir 20 menit, Linda melihat keponakannya keluar dari salah satu tirai di IGD bersama dokter jaga. Keduanya berjalan ke dekat pintu, tidak jauh dari tempat mereka menunggu. "Nah, itu Dirga lagi bicara sama dokter. Kita datangi aja yuk!" Para ibu dan bapak itu mendekat diam-diam dan berusaha mencuri dengar pembicaraan dokter jaga dengan Dirga. "... dari hasil pemeriksaan, tidak ada masalah. Sepertinya Ibu Eunoia hanya kelelahan saja. Kondisi ini cukup sering dialami oleh wanita yang sedang menjalani kehamilan di trimester pertama." Wajah Dirga tampak cukup terkejut. "Noia sedang hamil, Dok?" "Benar, Pak. Usia kandungannya sepuluh minggu." Seketika Ayunda mendesah lemas saat mendengar berita kehamilan Noia. "Astaga Aa …!" Meilan dan Linda segera maju sembari memegangi Ayunda yang lemas. Kemudian, tanpa ragu Meilan memotong pembicaraan dokter jaga dengan Dirga. "Ini Noia beneran hamil?" Dokter jaga itu tampak terkejut ketika didatangi tiga orang ibu yang semuanya menunjukkan ekspresi wajah syok. Alhasil, dokter jaga itu hanya bisa mengangguk bingung. "Aduh, Aa!" Refleks Meilan menggebuk punggung Dirga sepenuh hati. "Kenapa atuh anak orang dihamili buru-buru begini?" Di saat yang sama, tubuh Ayunda merosot sampai bersimpuh di lantai. Kemudian, dia menengadah sambil terisak, "Aa, kenapa enggak sabar tunggu sampai menikah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD