Tertekan

1090 Words
Pagi buta, Melodi memasukkan buku-bukunya ke dalam tas punggung yang biasa ia gunakan sekolah. Memang, hari ini dia tidak ada jadwal piket ataupun mengaji di sekolah, tapi Melodi melakukannya dengan sengaja karena ia ingin datang lebih awal dari pada anggota ARION yang lain. Melodi kenal betul bagaimana sikap ayahnya saat ia akan berangkat sekolah. Bagi Melodi, kesempatan menjauh dari masalah yang tepat adalah saat pagi seperti ini karena tidak mungkin ayahnya bangun hanya untuk memarahinya. Buku Melodi yang kemarin sempat basah karena hujan, ia masukkan asal ke dalam tas. Bukan waktunya untuk mengeringkan sekarang. Tidak lupa Melodi juga memasukkan seragam olahraga agar tidak dihukum pak Hasim lagi. Melodi menguncir cepol rambutnya dan menorehkan bedak tipis pada wajah cerah alaminya. Dia meraih gelang berwarna ungu yang bertuliskan namanya. Gelang itu sebagai keanggotaan ARION. Melodi mematut diri sekali lagi di kaca besar yang tertempel di tembok. Sudah cukup. Setelah bersiap dan tanpa sarapan, Melodi menggendong tasnya dipunggung dan hendak keluar dari kamarnya menuju luar rumah. Tangan Melodi memegang kenop pintu, kemudian dia menarik pintu itu. "Mau kemana, hah!" Seru Ayah Melodi. "Sekolah." "Apa sekolah-sekolah. Nggak ada yang namanya sekolah! Siapa suruh kamu bolos kerja kemarin hah?" Ayah Melodi mengambil vas bunga di meja dan membantingnya ke lantai. Seketika vas tersebut hancur berkeping-keping. "Memangnya saya terus yang bekerja? Anda itu Ayah saya, yang menafkai keluarga ini. Bahkan sekarang Ibu sudah tidak ada anda masih seperti ini? Seharusnya anda malu sama Ibu. Karena anda juga Ibu meninggal!" Suara Melodi meninggi diikuti dengan rasa perih dimatanya karena menahan tangis. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan ayahnya. Plak. Satu tamparan mendarat telak di pipi Melodi. Ada bekas jari ayahnya di sana. Ini kedua kalinya Melodi ditampar karena membela sang ibu. "Apa salah saya? Apa saya harus memohon kepada Tuhan agar tidak dilahirkan di keluarga seperti ini?" Plak. Lengkap sudah jalar kemerahan di pipi Melodi. Sekarang gadis itu bahkan sudah tidak sanggup lagi membendung air matanya yang berdesakan ingin keluar. "Dasar anak tidak tau diri!" sang Ayah menyeret Melodi ke dalam kamar dan menguncinya di sana. "Buka pintunya! Saya mau sekolah! Saya berhak untuk itu! Anda tidak bisa melarangnya!" Melodi berteriak keras dengan tenaga yang ia punya. Tapi percuma, ayahnya sudah pergi keluar rumah. "Apa nasib orang yang lemah harus di bawah terus Tuhan? Kapan waktunya saya bahagia?" Melodi menenggelamkan kepalanya di bantal. Ia tengkurap di kasur dan menangis sesenggukan. ***** Sudah hampir setengah jam ARION menunggu Melodi di studio musik sekolah. Memang rencananya hari ini mereka akan latihan untuk menyongsong promnight 4 bulan ke depan. Tapi, sampai pukul 7 Melodi belum juga datang. Hal ini justru menjadi kecemasan tersendiri bagi ARION. "Telepon Medi dong Ser!" "Lo lupa Medy nggak punya hp?" geram Serenata. "Hehe iya juga sih. Terus kita ngehubungi pakai apa? Teleportasi?" Leron menggaruk kepalanya. "Telepati mungkin? Usul Gema yang bermain piano. "Receh banget usul kalian semua." Rey berdiri menyandang tas ranselnya. "Mau kemana lo Rey?" "Ke kelas. Kita nggak mungkin nungguin Melodi di sini sampai pulang sekolah kan? Kali aja dia lupa terus ketiduran ke kelas? Positive thinking aja. Pulang sekolah kalau nggak ada di kelas kita ke rumahnya aja." "Iya pak Rey," jawab ketiganya bersamaan. "Sekalian sport jantung denger bokap Melodi ngomel," kekeh Leron. ***** "Hussst Gin, Gina?" Bian memanggil Gina dari jendela kelas. Tapi gadis itu tidak mendengarnya dan masih bergosip dengan temannya. "Heh Gin!" Kali ini Gina menoleh, tapi diikuti dengan teman cowok yang bergosip dengannya. "Cari Gina?" tanya salah satu diantaranya. "Gue pinjem sebentar ya." "Emang gue barang lo apa?" Sungut Gina. Bian duduk di kursi depan kelas bersama Gina. Sebenarnya kalau bukan karena kedekatannya dengan Melodi, Bian tidak pernah mau ke kelas Gina. Selain terkenal kelas rock&roll, kelas Gina juga rusuh. Selalu berisik, bahkan saat jam pelajaran efektif masih ada yang memutar musik di sound. Maka dari itu dia juga tidak ingin berlama-lama di sini. "Kenapa lo ke sini?" "Melodi nggak masuk Gin. Lo tau nggak kemana?" Gina malah tertawa dan memegangi perutnya. "Kalian itu lucu ya. Pacaran tapi nggak tau kabar masing-masing. Punya hubungan tapi malu-malu. Emangnya nggak lo hubungin kenapa sih? Gitu aja susah Bi." "Lo lupa Melodi nggak punya hape?" Gina menggelangkan kepalanya. "Nah terus gue gimana?" "Kalau lo sayang Melodi, ke rumahnya. Cari dia kemana pun, kalau perlu ke ujung dunia. Eh tapi dunia nggak ada ujungnya sih, lagian ongkosnya juga mahal ya." "Apaan sih lo Gin, gue lagi serius." "Gue juga serius kampret." "Oke." Bian kembali ke kelasnya, namun setengah perjalanan dia berbalik lagi. "Thanks Gin sarannya, ntar pulang sekolah anterin gue ya." "Mie ayam satu mangkok plus es teh depan sekolah." Bian hanya mengangguk dan melanjutkan jalannya menuju kelas. Senyumnnya terus mengembang karena sebentar lagi pasti dia bisa bertemu Melodi dan mengetahui keadaannya. ***** Bian sampai di rumah Melodi setelah tadi mentraktir Gina mie ayam satu mangkok dengan es teh di warung depan sekolah. Maka, sesuai janjinya Gina mengantar Bian ke rumah Melodi. Tapi, entah kebetulan atau apa, ARION juga ada di sana. Mereka berada di depan rumah Melodi. Rumah itu terlihat sepi, seperti tidak ada penghuninya. Leron mengintip jendela depan yang terhubung langsung dengan ruang tamu, tapi nihil tidak ada orang. Padahal biasanya ayah Melodi selalu tidur di sana jika sore hari. Rey mencoba membuka pintu dengan kunci yang ia buat sendiri, yakni dari ranting pohon. Namun usahanya sia-sia karena rantingnya sudah lapuk. Gina dan Serenata melihat ada bayangan dari kamar Melodi. Kemudian mereka berjalan mendekat. "Sera? Gina?" "Mel kita khwatir banget lo kenapa-kenapa." "Tolongin gue, gue dikurung." Gina dan Serenata saling berpandangan. Kemudian mereka mencoba mencungkil jendela dengan besi yang ada di samping pot bunga. Namun juga tidak berhasil. "Siapa kalian? Kenapa berkerumun di sini hah?" Ayah Melodi datang dan membuang putung rokoknya dan hampir mengenai Gina. Tapi Rey menghalau dan mematikan rokok itu. "Kami temannya Melodi," jawab Gema sopan. "Saya tidak mau tau. Pergi! Atau saya pakai k*******n!" Bian menatap jendela kamar Melodi yang sudah menampakkan wajah Melody dengan jelas. Ada raut kekecewaan di sana. Sebenarnya kalau bisa, Bian ingin membawa kabur Melodi dari rumahnya. Lebih baik Melodi hidup mandiri daripada terus menderita kan? Namun Bian hanya bisa membayangkannya. Ayah Melodi sudah mengamuk dan mengusir mereka. Tepat sebelum Bian memacu motornya, dia menoleh ke arah Melodj. Gadis itu tersenyum dan berucap sesuatu yang Bian artikan sebagai 'pulang dulu aja. Aku gapapa.' Tapi Bian tidak bisa tenang, dia berpikir keras untuk mengeluarkan Melodi dari sekapan ayahnya sendiri. Bagaimanapun juga Bian tidak mau Melodi tersakiti sedikit pun, meski tak jarang penyebab sakit hati Melodi adalah Bian sendiri. An: Komen aja kalau mau komen, aku menerima semua masukan asal sopan :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD