Surat Cinta

1609 Words
Desas-desus mengenai surat menyurat di kelas Melodi menjadi berita hangat pagi ini. Kegiatan rutinitas selama sebulan sekali dan dilaksanakan pada minggu kedua itu sepertinya akan selalu hangat dibahas. Untuk pengirimannya, ada dua orang siswa yang menjadi relawan, mereka menggunakan seragam khusus yang memang sengaja dibuatkan untuk kegiatan rutin ini. Seragamnya unik, berwarna putih dengan baju mirip peri, tapi ada tempelan stiker di mana-mana. Juga hiasan seperti mahkota peri, jangan salah mereka ini cowok. Pengirimannya seperti halnya surat biasa, dikirim melalui kantor pos yang kebetulan ada di depan sekolah. Biasanya, paling cepat surat akan diterima saat istirahat jam kedua dan paling lambat saat pulang sekolah nanti. Melodi tidak sabar mengirimkan surat tersebut. Ditulisnya dengan rapi dan hati-hati. Tidak ada yang tidak mengirim karena sebagai bentuk solidaritas, katanya. Saat ini Melodi sudah menggenggam satu kertas surat beserta amplop berwarna biru yang paling harum untuk dia kirim. Surat yang akan dikirim ditujukan untuk orang yang mereka sayang. Tidak biasanya jantung Melodi berdetak terlalu cepat. Biasanya jika tiba waktu berkirim surat, Melodi akan santai saja, karena surat yang diterimanya selalu dari Dinda. Berbeda dengan Melodi, Dinda kali ini justru mengirimkan suratnya kepada seseorang yang telah lama merebut perhatiannya. Seseorang itu sangat penting dan istimewa buat Dinda. Sampai-sampai Melodi tidak tahu perihal ini. Biasanya Melodi akan menerima curhatan Dinda mengenai suka dukanya di sekolah, kehidupan keluarganya dan hal-hal lain tapi tidak yang menyangkut perasaan. Mereka terlalu tertutup untuk itu. Sebenarnya Dinda dan Melodi tidak masalah jika mereka tidak menerima surat dari orang lain. Asal mereka bisa menerima surat satu sama lain. Karena tidak ada yang perlu tahu kehidupan mereka, kecuali keduanya. "Guys sekarang kalian kumpulin ke sini, masukin ke kardus yang cantik ini ya." Dengan endel Eri menunggu teman-temannya mengumpulkan surat itu ke depan. "Er, lo yakin kan surat ini aman seratus persen?" tanya Bian was-was. "Yelah Bi, percaya sama gue seratus persen. Secara gue udah terpercaya selama enam bulan di sini." "Percaya seratus persen itu cuma sama Tuhan," celetuk Dinda. Bian ragu-ragu memasukkan suratnya ke dalam kotak kardus yang di bawa Eri. Sungguh ini sangat menegangkan. "Lo kirim ke siapa sih? Kok muka lo sampe pucet gitu?" Bian tersentak, "Kepo!" "Yaelah nih Anak. Gue buka ah!" "Jangan Er!" Bian segera menyerobot suratnya yang berwarna merah, dengan bentuk hati kecil di tengah. "Cie ... pasti buat inceran lo? Siapa?" "Kepo!" Akhrinya Eri menyerah dan Bian menyerahkan suratnya kembali. Melodi menatap mereka berdua aneh, tapi kemudian dia mengendikkan bahu tidak mau tau. ***** Bel istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Eri dan satu rekannya sudah ke depan sekolah menanti surat yang akan dikirimkan tukang pos. Tak lama tukang pos itu membawa kotak seukuran kardus tapi telah dibungkus rapi dengan kertas warna coklat dan juga dengan plastik pelindungnya. Seperti biasa, tukang pos itu menyerahkannya kepada Eri. "Adek ini memang suka aneh-aneh ya. Padahal suratnya bisa langsung diberikan kepada orangnya, eh tapi ini malah suka ngrepotin diri." Dan setiap kali tukang pos berkata demikian, Eri dan satu rekannya itu hanya cengengesan dan langsung kembali ke dalam sekolah. Semua siswa antusias menunggu. Tapi alasan Melodi tidak ke kantin hari ini bukan karena surat itu, dia menemani Dinda mengerjakan tugas. Hari ini juga tidak banyak yang pergi ke kantin, hanya anak cowok beberapa. Mungkin karena mereka menanti surat. Dinda tidak sengaja melongokkan kepalanya ke arah pintu. Dia melihat Eri dan satu rekan kerjanya menuju kelas. "Eh, Eri udah balik!" "Mana?" Semua pandangan tertuju kepada dua orang yang kini berdiri di depan kelas sambil memakai seragam anehnya. Bian juga sekarang terfokus ke Eri daripada buku tugasnya. "Oke guys, gue udah terima semua suratnya. Dan sekarang... gue akan bacain suratnya untuk diberikan kepada yang berhak. Oke asisten pribadi gue, lo pegang kotaknya, gue yang ambil." Rekan kerja Eri tidak terima karena dia disebut-sebut asisten pribadi, padahal dibayar saja tidak. Eri membernarkan. "Maksud gue, rekan gue yang paling setia." Semua memutar bola mata malas. "Cepetan elah Er!" Azril sudah mau meletup seperti kompor. "Wait, guys. Sabar, atu-atu." Eri mulai mengambil surat itu satu persatu, penerima dan pengirim surat sebagian sudah mulai terlihat girang dan ada yang jingkrak-jingkrak histeris, mungkin karena mendapat surat dari seseorang yang tidak terduga. Yah, biarkan saja. Tinggal empat orang dan empat surat yang belum dibagi. Sedari tadi Eri juga tidak melihat Bian, Melodi, Dinda, atau pun Azril mengambil ke depan. Artinya empat surat itu untuk mereka. Eri mengambil satu amplop surat berwarna pink. Ada nama untuk penerimanya, Melodi. Tapi tidak ada nama pengirim. Eri tetap menyerahkan surat itu kepada Melodi. Melodi maju ke depan karena dipanggil, tapi ketika dia berbalik, Eri kembali memanggilnya. "Mel, ada lagi buat lo." Lagi, amplop surat itu berwana merah dan tidak ada nama pengirimnya. "Lagi?" "Eh tunggu, ada nih satu buat Dinda, sekalian bawa ya." Sekarang, ditangan Melody ada tiga surat. Merah, pink untuk dirinya, dan warna biru untuk Dinda.  Melodi tidak tau siapa yang mengirim. Tapi firasatnya dengan berani mengatakan kalau surat untuk Dinda itu dari Melodi. Karena Melodi tahu dari tulisan di depan amplop dan juga berwarna biru. Melodi kembali ke kursinya. Sebelumnya dia mampir sebentar ke kursi Dinda untuk memberikan surat. Melodi masih menimang-nimang amplop itu dengan rasa penasaran yang tidak bisa dicegah untuk tidak membukanya. Tapi, sebelum Melody sempat membuka lipatan surat dengan amplop merah, Eri kembali mengumumkan bahwa masih ada satu surat yang tersisa. Berwarna pink. "Untuk Bian! Akhirnya Bi, lo dapet surat, gue kira kita nggak bakal dapat surat." Bian hanya meringis menerima surat dengan amplop pink itu. Dia tidak berani membukanya. Bagaimana jika dugaannya salah? Bagaimana kalau pengirimnya tidak sesuai harapan Bian? Melodi melanjutkan membuka surat dari amplop merah.  Dari Fabian, untuk Melodi. Bian? Melody tidak salah lihat kan? Apa Melodi perlu kacamata?  Dinda menoleh ke belakang, melihat mulut Melodi yang sedikit terbuka. Dia menjarahi tempat duduk Melodi, mengusir Fery, teman duduk Melody yang badannya segentong. "Dari siap-?" Mata Dinda hampir keluar melihat nama pengirimnya. Melodi meringis, dia juga kaget dan seratus persen tidak percaya. Kenapa di surat keenam dia mendapatkannya dari Bian? Kenapa? "Bian!" "Iya Din, gue juga bingung." Dinda tersenyum, manis sekali. "Wah, selamat ya Mel. Makasih juga atas surat lo, maaf gue nggak bisa kirim ke lo ya." Jadi, surat satunya kalau bukan dari Dinda dari siapa? Melody cepat-cepat membuka amplop itu. Dan benarkah seseorang yang dipikirkan Melodi adalah pengirimnya? "Azril?" Dinda berkata cukup keras, sehingga sang empu yang punya nama menoleh ke arah mereka. Kemudian pura-pura lagi sibuk dengan tugas kimia. Melodi penasaran dan membuka surat dari Azril. Begitupun Dinda, dia juga ikut melongkokkan kepalanya. Mel, gue minta maaf karena selama ini gue udah pura-pura bully lo, caci lo, tuduh lo, padahal sebenernya gue nggak maksud. Gue sekarang sadar, kalau benci dan suka itu beda tipis. Dinda tersenyum miring ke Melodi, kelihatannya akan ada topik baru yang bisa dibahas. "Jangan bilang siapa-siapa ya Din, please!" "Oke-oke gue tutup mulut." Dinda menautkan kedua tangannya di depan sambil menutup mulut. Padahal Dinda juga terkikik geli. "Buka dong surat dari Bian, gue pingin tahu, please!" "Takut Din." "Udah gapapa Mel, gue tutup mulut lagi, oke." Perlahan tapi pasti, Melodi membuka lipatan kertas berwarna putih polos itu. Hai! Gue tau kita jarang ngomong, di kelas atau di luar sekolah. Mungkin gue hanya berani liat lo dari kejauhan dan memastikan kalau lo baik-baik. Kalau gue minta izin untuk jaga hati lo juga, apa boleh? Mendadak, pasokan oksigen di paru-paru Melodi menipis, dia merasakan sesak. Entah karena senang atau karena gelisah Melodi tidak tau. Melodi bingung harus senang karena perjanjian dari ARION sebentar lagi berhasil, atau sedih karena orang itu adalah Bian. Semua sangat membingungkan dan rumit. "Selamat ya Mel, lo dapet dua surat dari dua cowok." Dinda memeluk Melodi sangat erat menyembunyikan butiran air matanya jatuh perlahan. ***** Melodi mendapat undangan ulang tahun dari Dinda, tepatnya malam nanti pesta ulang tahun diadakan. Hanya teman satu kelas yang Dinda undang. Melodi tau Dinda tipe cewek yang tidak suka kemewahan, Dinda tidak akan mau jika dibelikan sesuatu apalagi harganya mahal. Maka dari itu, Melodi hanya bisa memberikan hadiah satu lagu dengan permainan biolanya. Suasana pesta sudah ramai, Dinda terlihat mengobrol dengan teman-teman yang lain. Entah dari mana datangnya, Melody tidak tau. Bian sudah ada dibelakangnya saat ia menoleh ke belakang. Bian memakai kemeja biru lengan panjang yang ditekuk sampai siku, dia berbeda, lebih rapi dan dewasa. Mata mereka bertemu sepersekian detik. "Mel?" Melodi tersadar dan buru-buru menatap ke bawah. Untuk pertama kalinya, mata Melodi berani memandang laki-laki selain ayahnya dan ARION. Melodi tersenyum kikuk dan malu-malu di depan Bian. Bagaimanapun dia masih mengingat isi surat Bian tadi siang. "Gimana?" "Apa Bi?" "Surat tadi siang, jawabannya apa?" Melodi menelan ludahnya, dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Melodi hanya bisa mengangguk. Tak banyak waktu yang mereka miliki untuk berdua karena sudah waktunya mereka mengisi acara Dinda malam ini. Untuk kedua kalinya, Melodi dan Bian tampil bersama. Mereka sangat serasi. Undangan yang hadir menikmati suara yang terdengar dari biola, gitar dan vokal Melodi mau pun Bian. Dinda melihat itu semua. Hatinya seperti diremas-remas. Sakit sekali apalagi Melodi adalah temannya. Sesaat setelah Melodi dan Bian selesai, Dinda naik ke atas panggung. "Perhatian semua, maaf ya kalau berita ini buat pesta ini berhenti. Kakek sakit, mendadak gue harus ke sana. Jadi, maaf ya kalau pesta ini harus selesai." "Tapi kan Din, lo belum tiup lilin, bahkan belum masuk inti acara." Melodi yang berada di depan panggung berbisik kepada Dinda. "Nggak apa Mel, nggak wajib harus tiup lilin. Yang penting acaranya sudah berjalan, meskipun nggak semua berhasil." Semua akhirnya membubarkan diri. Melodi merasa ada sesuatu yang aneh pada Dinda karena setelah turun dari panggung ia melihat Dinda terisak, berlari ke dalam rumah. "Dinda butuh sendiri Mel." Mungkin Bian benar, mungkin benar kakek Dinda sedang sakit parah sehingga dia menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD