Unpredictable

1555 Words
Rasa tertarik itu muncul karena melihat sesuatu yang baru. Rasa tertarik juga rasa yang kebanyakan diartikan sebagai rasa dasar dari sebuah hubungan. Ketika rasa ini muncul, keinginan untuk tau lebih banyak lagi mengenai seseorang yang membuat kita tertarik semakin besar. Dan biasanya, lama-kelamaan akan menjadi rasa untuk ingin memiliki. Melodi menutup buku tentang fase hubungan itu rapat-rapat. Dia mengembalikan buku itu ke rak perpustakaan. Apakah mungkin hubungannya dengan Bian hanya sebuah rasa ketertarikan? Melodi bingung. Meskipun kemarin Melodi memutuskan untuk memilih Bian, Melodi juga sangat kehilangan Dinda. Ini kali pertama Melodi berpacaran dalam enam belas tahun. Saat Melodi ingin berbalik pergi dari perpustakaan, dia bertabrakan dengan Azril. Kepala Melodi terbentur dagu Azril. Keduanya meringis kesakitan. Azril kikuk karena kemarin dia mengirim surat kepada Melodi. Sebenarnya Melodi tidak mempermasalahkan hal itu dan tidak akan menanyakan apa pun kepada Azril, hanya saja Melodi sedikit tidak enak kepada Azril. Melodi takut Azril akan kembali menjahilinya seperti kejadian yang lalu. "Eh, maaf Mel." Azril menggaruk tengkuknya asal. "Ril, gue minta maaf ya. Gue nggak ada maksud-" "Gue ngerti Mel. Hati emang bukan tempatnya kebohongan. Seharusnya gue yang sadar kalau selama ini cara gue salah. Maafin gue ya Mel." Melodi menunduk, padahal bukan itu yang ingin ia katakan. Melodi meminta maaf karena ia telah menabrak Azril. Tidak bermaksud membahas surat itu. Azril berjalan pelan ke depan, semakin membuat Melodi memundurkan langkahnya. Hingga akhirnya kaki Melodi membentur rak perpustakaan. Azril mencoba meraih tangan Melodi, tapi gadis itu menyembunyikannya di balik badan. "Seharusnya gue nggak kasar sama lo. Maafin gue terlalu takut untuk terus terang. Gue nggak akan ganggu lo lagi." Melodi menelan ludah, kaku. Sedangkan Azril dia berjalan lunglai keluar perpustakaan. Napas Melodi baru bisa lancar setelah dia duduk di kursi. Pikiran Melodi tertuju saat Azril hendak memegang tangannya. Wajah itu terluka, sama seperti saat Dinda menemuinya di kelas kemarin. Melodi melukai dua orang sekaligus, dalam waktu dua hari, ia merasa sangat bersalah. Melodi tidak mau dianggap orang yang suka menusuk teman sendiri, tapi bagaimana Melody menjelaskan ke mereka? Apa mereka juga mau mengerti? Oh Tuhan, semua ini sangat rumit. ***** Malam ini, di kafe yang satunya, yang bukan milik Gema, di kafe Astri, Melodi mendapat giliran untuk bermain biola. Kata pemilik kafe, akan ada tamu istimewa yang datang ke sini. Orang itu juga sudah membooking kafe dengan jumlah pengunjung yang lumayan banyak, hampir setengah isi kafe. Melodi mengiyakan saja, lagian ini juga untuk gajinya bisa bertambah selain kerja di kafe Gema. Dengan dress putih milik ibunya dulu, Melodi memoles sedikit wajahnya dengan bedak bayi dan memakai lipgloss untuk melengkapi penampilannya. Rambutnya ia biarkan tergerai melewati pinggang. Untuk sentuhan terakhir, Melodi menyelipkan pita hitam di antara poni nya agar tidak mengganggu pandangannya nanti. Melodyli bergegas ke kafe Astri dengan diantar Sera. Karena setelahnya gadis itu sudah janji latihan judo bersama gurunya, Samuel. "Sukses ya Med!" Sera menepuk-nepuk pundak Melodi, memberikan dukungan. "Gue berasa mau audisi." Melodi terkekeh. Dia memang seperti orang yang akan ikut audisi menyanyi. Dengan langkah hati-hati, Melodi menaiki anak tangga satu persatu. Tangannya mulai berkeringat dingin, efek jika ARION tidak bersamanya di tengah keramaian. Di anak tanggak teratas, Melodi mendengar suara gurauan. Melodi melihat Bian, Dinda, dan teman-teman cowoknya satu kelas memarkirkan kendaraannya. Deg. Apa mungkin ini rencana Dinda untuk membalas Melodi? Ah, tidak, Melodi pasti salah berpikir. "Gue ada kejutan buat kalian semua." Dinda tampak senang berada di antara mereka. "Sekarang bukan waktunya mikirin hal nggak guna Mel, lo di sini kerja! Nggak lebih!" batin Melodi. Melody menempatkan dirinya di kursi bar dan membuka tas tempat biolanya. Ia mengeluarkan biola berwarna putih dari ibunya yang selalu ia gunakan kerja di sini. "Udah siap Mel? Bentar lagi tamunya dateng." Dia Dian, sudah mewanti-wanti Melodi untuk siap sejak pertama kali ia masuk ke kafe. Semua orang yang melihat Melodi pasti tau kalau gadis itu berkeringat dingin, dan gugup. "Udah." Mereka mempersiapkan diri di panggung. Seperti biasa, Dian yang menyanyi, Melodi yang bermain biola. Baru satu gesekan biola yang Melodi lakukan, Dinda, Bian, dan semua temannya tadi masuk. Mereka semua terkejuy menatap Melodi. Bian, cowok itu menatap Melodi paling lama. Pandangannya menajam seiring dengan jari-jemari Melodi yang memainkan biola. Begitu sulitkah hidup Melodi hingga tak cukup bekerja di satu tempat? "Yuk duduk, gue yang traktir kalian semua." Kata Dinda dengan sumringah seakan dia tidak melihat betapa gelisahnya Melodi. "Wih asik nih, thanks Din." "Seing-sering dong Din!" "Sip! Gue bakal sering traktir kalian di sini!" Melodi tidak berani mendaratkan pandangannya ke meja mereka. Dia terus menatap ke depan, pandangan matanya kosong. "Eh, bukannya itu Melodi?" tanya Eri antusias. "Ya elah, kemana aja lo dari tadi?" Azril menjitak kepalanya. "Melodi, cewek pemalu itu kerja di kafe juga? Wih nyalinya gede juga." "Biasanya yang malu-malu itu lebih dari yang bisa lo pikir tau." Mereka tergelak bersama, Dinda juga tidak absen. Tapi cukup! Bian tidak akan cukup kuat melihat lebih lama lagi raut gelisah Melodi. "Gue balik, ada sesuatu yang harus gue lakukan." Tanpa menunggu persetujuan yang lain, Bian sudah keluar dari kafe. Baru saat itu, Melodi berani melihat punggung Bian. "Gue juga mau pergi, gue udah bayar semuanya. Kalian di sini aja dulu." Dinda mengejar Bian, mengejar orang yang tak lain pacar Melodi. Inilah hal yang ditakutkan Melodi, dia tidak bisa bersaing dengan Dinda. Melodi tidak sanggup. ***** Di rumah, sang ayah kembali berulah. Dengan keadaan yang setengah sadar, ayah Melodi membawa seorang perempuan yang entah asalnya dari mana ke dalam rumah. Melodi lelah, benar-benar lelah dengan semua ini. Dengan sandiwara dan topeng yang selama menutupi hidupnya. Ia menuju tempat ayahnya dan wanita itu bermesraan, di ruang tamu. "Saya tidak suka kalian masuk ke rumah! Jangan kalian nodai rumah saya dengan jejak kalian! KELUAR!" Amarah Melodi memuncak, dia tidak sanggup menahannya lagi. Dia tidak rela rumah yang ia tinggali bersama ibunya digunakan untuk kegiatan tidak senonoh. Sudah cukup mabuk dan judi, tidak dengan perempuan. Satu tamparan mendarat di pipi Melodi. Wanita itu tersenyum miring melihat Melodi ditampar. "Rumah ini milikku! Pergi keluar sana, jangan ganggu kami!" Pintu rumah Melodi tertutup keras dengan Melodi yang didorong paksa untuk keluar. Melodi menggedor pintu dengan segenap kekuatan yang ia punya. Bahkan Melodi menendang pintu yang tak kunjung terbuka itu sebelum ia pergi menuju rumah Sera. Melodi butuh gadis tomboy itu. Ia pergi ke telepon umum, karena Melodi memang tidak memiliki ponsel. "Ser, gue ke rumah lo, gue butuh lo." ***** "Mana sih cewek-cewek? Gue udah digigit nyamuk dari tadi!" Leron dengan celana pendeknya dan kaus putih yang tembus pandang berusaha menghalau nyamuk dengan handuk. "Cewek itu, bilang janjian jam 1 tapi datangnya tuh jam 2." Rey melakukan sedikit pemanasan sebelum mereka jogging kelilling kompleks. "Tuh!" Dagu Gema menunjuk arah di mana Melodi dan Sera berjalan santai. "Bener kan kata gue, Gem, Ron?" "Aubrey selalu bijak." Sera menempeleng kepala Rey, tapi cowok itu cukup jago untuk menangkis. "Yuk jalan aja." "Siap Nyonya Melodi!" "Dasar lu Ron!" Leron terpental karena Gema mendorong Leron ke belakang. Alhasil b****g Leron menghantam batu kerikil. "Aduh! p****t gue!" "Eh, sorry Ron, sengaja." Gema meringis, kasian batu kerikilnya tertimpa badan leron yang beratnya seperti dua krung semen. Akhirnya mereka sebentar lagi sampai di taman. Leron sudah terbirit-b***t menuju tukang cendol. "Bang, atu." "Siap." "Bang nambah empat ya." Melodi menambahkan. "Tau nih si Leron, kita juga mau minum kali!" Leron meneguk es cendolnya yang sudah jadi. "Seger." "Bang mie satu dong," pesan Sera. "Gue juga dong Ser!" "Ogah, punya mulut pesen aja sendiri." "Rasain lu Ron!" "Tau nih Gem, sok sih lu!" Tiba-tiba Bian menghampiri mereka. Entah darimana asalnya tidak ada yang tau. Yang pasti, dia sudah di sebelah Melodi. "Gue pinjem Melodi sebentar ya." Melody menengok ke sampingnya. "Bian!" "Silakan bawa aja." "Asal jangan buat nangis anak orang ya." "Juga, jangan lama-lama, gue mau pulang." Bian mengangguk setuju dan menarik pelan tangan Melodi menuju danau buatan di pinggir taman. Mereka duduk di rumput yang sedikit basah karena gerimis. Melodi juga tidak menolak, hanya saja kaget tiba-tiba ada Bian. "Maafin gue Mel." Mata Bian memandang air danau yang berkilau terkena pantulan sinar matahari. "Buat?" "Karena semalem gue dan anak-anak ke sana." "Gapapa kali Bi, kafe itu buat umum, nggak ada yang ngelarang." "Gue merasa bersalah." "Terlalu banyak kata maaf Bi untuk hubungan kita yang baru berjalan sebentar." Melodi melempar batu kecil ke dalam danau, menimbulkan suara pantulan dari danau yang dangkal. Bian melakukan hal yang sama seperti Melodi, kemudian dia tersenyum lebar. "Ternyata enak ya nglempar batu ke air, suaranya indah." "Hm" Melody merasa bajunya ditarik seseorang, dan ketika menoleh ke belakang tidak ada orang. Di sampingnya cuma ada Bian dan pohon. "Mel," bisik Bian. "Apa Bi?" Mata Bian menuju ke arah anak kecil di antara mereka. Anak kecil itu memegang balon pink, padahal dia cowok. "Kakak, Kakak cantik deh. Cocok sama Kakak ini yang ganteng." "Adek juga ganteng, pasti nanti banyak yang suka." Melodi menoel-noel pipi anak itu. Namun, anak itu langsung berdiri dan berlari ke mamanya. "Pernah nggak Mel suatu hari lo berpikir untuk jadi anak kecil lagi?" Melodi mengangguk. "Setiap hari, setiap saat yang gue punya." "Kenapa begitu?" "Waktu gue masih kecil Bi, semua hal bisa gue dapetin. Gue bahagia banget." "Artinya sekarang lo nggak bahagia?" Melodi mengangkat bahunya. "Mungkin iya mungkin engga." "Gue boleh buat lo bahagia?" "Mulai gombal nih?" "Gak dilarang gombal ke pacar kan?" "Bi, malu." "Cuma gue kok yang lihat, tenang aja." Satu permintaan Melodi, ia ingin selalu seperti ini dengan Bian. Ia sudah menemukan kebahagiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD