Melody memainkan jemarinya di bawah meja, dia sangat gugup berada di kantor polisi. Bukan suatu hal lazim dia berada di sini tanpa masalah apa pun. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sehingga polisi menjemputnya.
"Nggak usah takut Med, ada gue," ujar Gema.
"Tapi gue takut Gem, gue salah apa sampai harus ke sini?" tanya Melody lirih.
"Kita dengerin mereka dulu, gue yakin lo nggak salah apa pun."
Sesaat setelah Gema mengatakan hal tersebut, Sera, Leron, dan Rey datang. Mereka dikabari Gema bahwa Melodi di kantor polisi.
ARION tahu kalau Melodi sangat takut berurusan dengan pihak satu ini, bahkan tidak hanya Melodi, semua orang juga pasti takut jika tiba-tiba didatangi polisi dan dibawa ke kantor polisi.
"Baiklah, saudari Melodi. Kami membawa Anda kemari karena laporan dari saudara Arman, bahwa anda akan membebaskannya dengan jaminan. Apakah betul?"
Mata Melodi membulat, terakhir kali ia berkomunikasi dengan ayahnya itu kemarin dan dia sama sekali tidak mengatakan apa pun. Saat itu, setelah menusuk Bian, dia langung lari.
"Tidak benar pak, saya tidak berbicara dengan Ayah saya sejak kejadian percobaan pembunuhan itu."
"Lalu, bagaimana dengan keterangan yang kami peroleh dari saudara Arman?"
Melodi memandang temannya yang lain. Semoga masalah ini cepat selesai, batin Melodi. "Bisa saya bertemu dengan Ayah saya?"
"Silakan." Kedua polisi itu mengantarkan Melodi ke ruangan khusus untuk menjenguk tahanan.
Polisi membawa ayah Melodi, mereka punya waktu lima menit. Setelah polisi pergi, sang ayah langsung mendesak Melodi.
"Melodi, kamu sayang Ayah kan?"
Melodi tidak mengindahkan, dia tidak bisa menatap ayahnya.
"Katanya kamu mau membebaskan Ayah Nak, kamu bilang itu kan kemarin?"
"Saya tidak pernah bilang apa pun. Saya benci Ayah!" Melodi berlari keluar dengan air mata yang sudah jatuh deras.
ARION segera menyusulnya, mereka tahu Melodi sedang dalam masa yang sangat sulit.
Ayah Melody berdecak kesal, "rencanaku cudah hampir berhasil!" Dia memukul-mukul jeruji besi dan kembali duduk di lantai bersama para narapidana lainnya.
"Med, udah ya jangan nangis. Kita di sini sama lo, lo nggak akan sendirian. Kita lewatin semuanya bareng-bareng," bujuk Sera. Meskipun dari luarnya Sera tidak terlihat sisi ceweknya, tapi dia sebenarnya sangat perhatian.
"Kita pulang ya Med, sekalian temenin lo di kos lagi," putus Gema.
"Nggak usah Gem, kalian pulang langsung aja. Gue butuh waktu sendiri."
Mereka mengerti, sesulit apa pun masalah yang dihadapi Melodi, cewek itu tetap bersikukuh untuk menyelesaikannya sendiri.
*****
Sesuai permintaan Melodi tadi, ARION langsung pulang. Melodi merebahkan dirinya di kasur, rasanya semua masalahnya bertumpu di pundaknya. Badan Melodi terasa pegal semua, mungkin kemarin dia juga kelelahan karena sempat menungu Bian di rumah sakit dan belum istirahat sama sekali.
Melodi benar-benar harus istirahat. Tidak lama, akhirnya dia tertidur. Memasuki alam mimpi yang tidak terbatas, dan tidak akan ada yang melukainya di sana. Satu-satunya cara agar Melodi bisa berkelana jauh tanpa ada yang meneriakinya untuk kembali ke kenyataan.
*****
Suara ketukan pintu dari luar membangunkan Melodi dari tidur siangnya. Melodi mengucek matanya yang terasa perih karena dipaksakan bangun. Kemudian, dia melirik jam dan betapa kagetnya karena sekarang sudah jam 5 sore, sedangkan dia belum mandi. Dan yang paling penting, Melodi belum makan sama sekali.
Melodi bangun dari kasur dan membuka pintu. Di luar, Azam berdiri dengan tangan yang disilangkan di depan d**a.
"Eh Melodi." Azam mengusap hidungnya karena terus saja bersin. Debu di kamarnya sangat banyak karena jarang dibersihkan.
"Iya Zam?"
"Ikut gue yuk!" Azam langsung menarik tangan Melodi ke dapur kos. Melodi kaget, tapi dia tidak bisa menolak ajakan Azam.
"Kita ngapain ke sini?" tanya Melodi begitu sampai di dapur.
"Gue udah masak, tapi gatau gimana rasanya. Nah, karena gue butuh juri, gue ajak lo ke sini deh buat cicipin makanan gue."
Azam memandang Melodi penuh harap. Oh Melodi tahu apa artinya ini, dia dapat makanan secara cuma-cuma? Lumayan, buat berhemat, anak kos.
"Dengan senang hati."
Azam tersenyum senang, dia segera mengambilkan Melodi piring dan sendok. Azam mengambilkan nasi secukupnya ditambah masakan yang telah dibuatnya.
"Bener deh Mel, gue nggak tahu gimana rasanya. Maaf ya kalau aneh," kata Azam sambil menyodorkan piring ke hadapan Melodi.
"Mending lo juga ikut makan Zam, di taman depan kos gimana?"
"Oke deh, tungguin gue ya."
Azam kembali mengambil piring dan menaruh makanannya di sana. Kemudian dia bersama Melodi beriringan menuju ke taman depan kos.
Sebelum makan, Melodi berdoa terlebih dahulu. Melodi menyendok masakan Azam dengan sedikit nasi dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Ya Allah Zam, ini enak banget. Baru kali ini gue tahu ada cowok jago masak!" Entah karena memang enak atau karena lapar, lidah Melodi benar-benar setuju dengan masakan Azam.
"Masa sih?" Azam juga mulai makan, "iya ya, gue kok bisa masak kayak gini. Enak juga."
"Nah, lo berbakat jadi koki kali Zam," tebak Melodi asal-asalan.
"Bisa aja sih Mel."
"Beneran, gue ngomong ini apa adanya."
"Gue sih coba resep dari internet. Jadi tuh ya Mel, sambil masak gue bawa-bawa hape. Untung aja hape gue nggak masuk ke wajan."
Melodi hampir saja menyemburkan makanan di mulutnya. Azam benar-benar lucu.
"Lain kali ajarin gue ya Zam, gue juga pingin jago masak."
"Bukannya lo udah kerja di kafe teman lo? Kan berarti masakan lo enak Mel."
"Nggak juga sih, yang namanya ilmu kan harus ditambah Zam. Gue pingin buat inovasi baru aja di kafe Gema."
Azam mengangguk, "oke, kapan pun lo minta, gue ajarin deh."
"Makasih ya Zam. Untuk makanannya dan janji lo untuk ngajarin gue nanti."
Azam mengacungkan jempolnya, "sama-sama Mel."
*****
Lagi-lagi ada yang mengetuk pintu kamar kosnya. Rupanya setelah pindah kos di sini, Melodi bisa jadi tukang buka pintu dadakan. Sehari ini sudah tiga kali.
Melodi bingung, karena setelah pintu terbuka, yang ada di hadapannya adalah tukang pos. Seingat Melodi, dia tidak pernah mengirim sesuatu atau apa pun ke tukang pos. Lagipula rutinitas kelasnya untuk berkirim pesan juga masih lama waktunya.
"Apa benar ini dengan Melodi Rinduani? Anda mendapat paketan dari seseorang."
Pak pos itu mengeluarkan kotak coklat kecil dari dalam tasnya. Melodi ragu menerimanya, namun akhrinya dia tetap menerimanya karena kasihan tukang posnya sudah mengantarkan.
Melodi kembali ke dalam, menjatuhkan diri ke kasur karena ingin melanjutkan acara santainya. Tapi, rasa penasarannya terlalu besar. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka kotak itu.
Handphone?
Iya, isinya sebuah Handphone yang memang kelihatannya di pesan khusus untuk Melodi. Warnanya saja pink serta ada nama Melodi di pojok kanan atas dan gambar biola di casing belakang.
Di bawah handphone, ada surat kecil dengan kertas berwarna tosca. Melody mengambil surat itu dan membacanya perlahan isinya.
Gue tahu kalau lo nggak akan nerima pemberian gue ini dengan mudah. Pasti lo ngira gue bakal minta imbalan. Tapi gue nggak butuh itu. Lo terima aja, udah gue isi nomornya. Gunain baik-baik ya, semoga bisa membantu.
Melodi mengedipkan matanya sekali lagi, dia masih tidak percaya memiliki penggemar rahasia yang rela membelikan benda semahal ini.
Tanpa berpikir panjang, Melodi langsung menuju kamar kos Azam. Cowok itu mungkin tahu bagaimana solusi terbaik untuk Melody.
"Zam, Zam. Buka Zam." Melodi mengetuk pintu berulang-ulang. Dari dalam terdengar suara seretan kakinya Azam.
"Kenapa Mel?"
Melodu menyerahkan kotak yang berisi surat dan handphone itu ke tangan Azam. "Gue dapet ini Zam, gak tahu harus gimana."
Azam memandangi kotak itu bingung. Ia harus berpikir keras untuk mengerti maksud Melodi.
"Oh, ada suratnya juga." Azam kemudian membaca surat itu.
"Gapapa sih Mel lo terima aja. Siapa tahu maksud orang ini baik."
"Tapi Zam, gue nggak enak pakainya. Lagian gue juga belum pernah punya ponsel sampai sekarang ini."
Azam melotot sempurna, "masa sih Mel? Serius lo? Demi apa?"
"Nggak usah heboh Zam, malu diliatin anak kos lain." Melodi melihat sekelilingnya yang memang banyak anak kos di luar saat ini.
"Nggak usah malu Mel, lo kan nggak salah. Tunguin gue deh, nanti gue ajarin cara pakai ponsel. Di rumah kaca ya, gue juga mau ngerjain tugas sekalian."
"Ya udah Zam."
Sambil menunggu Azam kembali, Melody menimang handphone itu, sangat imut. Melodi sebenarnya suka, tapi bagaimana pun dia juga harus meencari pendapat orang lain sebagai pertimbangan.
"Yuk!"
Azam melangkah keluar dengan membawa buku setumpuk yang berisi tugasnya. Melodi mengikuti di belakang dengan tangan yang masih memegang kotak dari penggemar rahasianya itu.
"Nah, kalo di sini kan enak, adem, banyak bunga, wangi lagi," adu Azam dan langsung menggelar bukunya di meja.
Melodi suka bunga, apa pun yang berhubungan dengan bunga, Melodi tertarik.
"Gue juga suka. Bunga itu mewakili semua perasaan gue Zam. Kalau gue seneng, sedih, bunga alternatif terbaik buat ngatasin itu."
Azam memandang Melodi takjub, "wih, lo cocok nih masuk OSN Geografi."
"Bisa aja Zam."
Meninggalkan obrolan tadi, kedua insan itu sekarang sibuk berkutat pada buku dan ponsel. Jika Azam bingung menjawab soal, Melodi tidak tahu cara membuka ponselnya. Oh ayolah, ini kali pertama Melodi memakai benda canggih ini.
"Pencet tombol power, terus geser layarnya ke kiri atau kanan. Klik tombol menu, yang banyak titik putihnya Mel. Ntar tinggal pencet deh aplikasi mana yang mau lo buka," terang Azam sebelum Melodi memintanya.
"Makasih ya Zam. Lain kali kalau lo butuh bantuan gue ngerjain soal, gue bisa kok ajarin." Senyum Melodi mengembang seiring dengan tangannya yang mulai melaksanakan perintah Azam tadi.
Melodi kembali terfokus pada ponsel barunya. Sesekali Azam melihatnya sambil mengerjakan tugas yang bejibun.
Namun, saat Melodi hendak memasukkan handphone dan surat itu kembali ke kotak, Melodi melihat sesuatu yang aneh pada suratnya. Setelah memastikan sekali lagi, ternyata ada segelintir nomor telepon di belakang surat. Entah itu nomor siapa Melodi tidak tahu.
Kali ini, firasat Melodi mengatakan bahwa nomor itu penting. "Zam, gue keluar sebentar ya. Mau ke kamar bentar."
Bohong, faktanya Melodi menghubungi nomor tadi. Azam sudah mengajarinya cara menelpon dan berkirim pesan, makanya Melodi sekarang bisa.
Dengan hati-hati Melodi memencet nomor, dia tidak mau salah nomor dan salah orang yang menerimanya. Setelah dirasa benar, Melodi menekan tombol hijau. Nada sambung mulai terdengar, rasa penasaran Melodi semakin meningkat. Apalagi jika nomor itu sengaja dicantumkan, berarti kemungkinan besar bersangkutan dengan pengirim kotak itu.
"Halo?"
Melodi menunggu sampai ada yang menjawab, tapi nyatanya orang di seberang sana tak kunjung menjawab.
Karena kesal, Melodi menutup teleponnya. Tapi, sebuah suara menginterupsi dan membekukannya di tempat.
"Halo Mel?"
Deg.
Itu suara Bian.