Jangan salahkan Melodi jika setelah mendengar suara Bian di telepon dia menjadi gusar sekarang. Perihal Bian yang memberinya ponsel secara cuma-cuma masih menjadi tanda tanya yang besar diotaknya.
Siapa kira orang yang dicelakai ayahnya itu memberi Melodi ponsel tanpa ganti alias gratis. Malah masih diengkapi dengan sim card dan memory card. Bahkan tadi, setelah Melodi bisa mengutak-atik ponselnya, dia menemukan foto Bian dengan dirinya waktu di pesta ulang tahun Dinda. Fotonya diambil secara candid.
Bodoh sekali dia tidak menyadari bahwa pengirim ponsel itu adalah Bian. Tetapi, apa itu mungkin? Bian kan masih di rumah sakit. Apa dia berjalan ke toko untuk membelikan Melodi ponsel? Ah itu tidak akan mungkin. Pasti dia menyuruh seseorang untuk semua ini. Bayangkan saja, bahkan sampai casing harus dipertimbangkan dengan matang. Berarti ponsel ini sudah dikirim lama dan baru sampai sekarang.
"Mel, Melodi!"
Namun yang dipanggil hanya diam. Gina sangat tempramen hari ini, jangan salahkan dirinya jika mengamuk di kelas Melodi.
Setelah memberi sinyal kepada Dinda, Gina melangkah ke belakang kursi Melodi dan mengagetkan gadis itu. Sontak, badan Melodi terhuyung ke depan. Gadis itu menepuk pelan dadanya.
"Kenapa sih Gin? Ngagetin aja," jawabnya yang kelewat santai membuat Gina dan Dinda memijit pelipisnya.
"Lo pikir kita di sini ngapain Mel? Jualan suara?"
Gina mensedakapkan tangannya di depan d**a, dan Dinda ikut menyenderkan sebelah tangannya di bahu Gina.
"Kita itu mau ajak lo ke kantin Melodi sayang," ucap Dinda pada akhirnya.
"Gue nggak napsu makan Din, Gin. Kalian ke sana aja ya tanpa gue."
"Yah kok gitu sih Mel," jawab mereka berdua kompak.
"Bukannya apa, tapi gue udah sarapan di kos tadi pagi."
"Itu kan tadi pagi, sekarang makan siang Mel," bujuk Gina.
"Ayo dong Mel, gue traktir deh." Kalau hanya sekadar traktir di kantin sekolahan, Dinda masih kuat.
"Tapi Din ..."
Dinda tidak mau mendengar penjelasan Melodi dan tetap menggandeng gadis itu bersama dengan Gina. Mereka memang sudah sejalan dari sananya, baik Dinda maupun Gina.
*****
"Eh promnight kakak kelas sebentar lagi, ya kan Ron?"
Inilah sebenarnya topik yang dihindari oleh ARION. Tidak terkecuali Melodi yang sebenarnya sangat ingin mundur dalam perjanjian ini.
Melody berpura-pura sibuk dengan green tea nya sedangkan yang lain tiba-tiba sibuk mengurusi tanda tangan dari para fans di sekolah.
"Emang kalian berlima ada janji apaan sih?" tanya Gina antusias.
Rey tiba-tiba tersedak camilan coklat milik Sera yang direbutnya secara paksa.
"Lo kenapa deh Rey? Aneh banget." Setelah kejadian yang menimpa Bian, Dinda sudah akrab dengan ARION dan Gina.
"Gue biasa aja kok. Tuh Leron yang nggak bisa biasa ngelayanin para fans dia." Rey melirik Leron diikuti dengan yang lainnya. Memang tidak dipungkiri bahwa Leron sedang-terlihat amat sangat- sibuk dengan tanda tangan.
"Nggak ada topik lain apa lo semua?" Sera lama-lama juga muak dengan semua ini.
Gema hanya melirik saja, dia memang jarang bicara banyak.
"Apaan sih Mel yang dibicarain mereka?" Dinda berbisik di telinga Melodi, namun gadis itu tidak menjawab karena sedang melamun,
"MEL ADA BIAN!" Dinda berteriak tepat di samping Melodi hingga Melodi hampir berdiri dibuatnya.
"DIN LO KERASUKAN?" balas Leron tidak kalah kerasnya.
"Emang ya, deket sama Leron nggak pernah waras gue." Sera beranjak pergi dan merebut camilannya dari Rey.
"Em Ser!" panggil Melodi.
"Nggak jadi," lanjut Melodi.
"Med lo jangan kebawa anehnya Leron, ntar beban psikologis gue bertambah lagi." Sera meneruskan langkahnya ke Samuel. Cowok itu sudah menunggu Sera untuk latihan judo seperti biasa.
"Ye, lo tuh Ser. Jadian sama Samuel gue sukurin lo!" teriak Leron. Namun percuma, Sera sudah menghilang.
"Mending lo pikirin kata-kata lo Ron, jangan sindir Sera terus." Gema juga ikut berdiri dan berlalu dari sana.
"Kalian semua memang aneh. Yuk Mel kita balik!" ajak Gina namun Rey menahan tangannya.
"Bentar lagi ada drama nih kayaknya." Dinda sengaja menyindir Rey kemudian mengajak Melodi kembali ke kelas yang dengan setia diikuti Leron. Memang Leron sudah tidak tau kemana lagi. Dia kehilangan arah tujuan.
"Kemana pun kalian pergi gue ikut," putus Leron.
"Termasuk ke kamar mandi cewek?"
"No for it."
Dan benar, Leron berbalik menuju ke tangga yang langsung terhubung ke rooftoop. Kelihatannya, mereka semua memang sedang tertekan.
*****
Bel masuk sudah berbunyi sejak sejam yang lalu. Begitu pun dengan Pak Hadi, guru seni budaya di kelas Melodi sekarang sedang memberi materi di depan kelas.
Entah kenapa, Melodi tidak bisa fokus saja dengan pelajaran yang diberikan Pak Hadi. Padahal dia termasuk siswi yang berbakat dalam hal seni, terutama musik.
Karena terlalu asik dengan pikirannya, Melodi tidak sadar jika guru memanggilnya. Dia sedang melamun. Bahkan teman sebangkunya tidak bisa menyadarkan Melodi.
"Melodi Rinduani! Jika tidak ingin mengikuti pelajaran saya sebaiknya keluar! Daripada kamu jadi penonton di sini!"
Melodi mengerjapkan matanya, ia lupa jika ada guru di depan. Dia segera berdiri dan melaksanakan perintah Pak Hadi. Bagaimanapun alasan dia menentang guru itu, seantero sekolah sudah tau bahwa tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusannya.
Ini pertama kalinya ia dihukum di pelajaran seni. Entahlah, masalah ponsel kemarin itu masih membingungkan Melodi sampai sekarang. Dan akhirnya berimbas pada pelajaran kesukaannya.
Melodi berjalan tanpa tujuan di koridor sekolah. Hari ini Bian tidak masuk, tidak ada yang membelanya lagi jika jauh dari ARION.
Tiba-tiba saja, Melodi teringat akan pensi yang sebentar lagi ditampilkannya bersama ARION.
Gadis itu masuk ke dalam studio musik. Melodi langsung duduk di atas cajon dan mengambil biola cadangan di sana.
Melodi mulai memainkan sebuah lagu bersamaan dengan gesekan biolanya yang semakin merdu.
Seseorang datang dan membuat Melodi menghentikan aktivitasnya. Dia Fauzan, masuk tergopoh-gopoh dengan satu surat di tangannya.
"Mel gawat! Ini gawat!" Dengan napas satu-satu, Fauzan mencoba menjelaskan kronologi kenapa dia bisa ke sini.
"Kenapa Zan? Apa yang gawat?" tanya Melodi halus agar Fauzan bisa lebih tenang.
Tanpa berkata, Fauzan langsung menyerahkan secarik kertas itu kepada Melodi.
"Ini apa Zan?"
"Baca aja, dari Bian."
Melodi cepat-cepat membukanya.
'Mel, gue tahu kalau mungkin lo marah sama gue karena kejadian kemarin. Dan gue juga mungkin udah banyak buat lo menderita. Tapi gue mohon, tolong datang ke rumah sakit sore hari ini. Ada sesuatu yang mau gue sampaikan sebelum semuanya terlambat.'
Apa maksudnya sebelum semuanya terlambat? Apa maksud Bian mengirim surat ini melalui Fauzan dan bukan melalui ponsel yang diberikannya kemarin?
"Sebenernya Bian kenapa Zan? Bian kenapa kirim surat kayak gini? Dia baik-baik aja kan?"
"Dia cuma kasih itu ke gue. Gue harap lo bisa penuhi permintaan berharga Bian itu."
"Tapi Bian gapapa kan Zan?"
Fauzan diam. Tapi secepat kilat dia tiba-tiba memeluk Melodi. "Bian itu ukuran yang pas buat hidup lo Mel. Jaga hati lo baik-baik ya."
Setelah berkata demikian, Fauzan langsung berlalu dari sana. Sekarang Melodi hanya berdiri mematung menyadari Fauzan memeluknya.
Sangat tidak bisa disangka Fauzan melakukan itu. Apalagi dia tahu kalau Melodi dan Bian berpacaran. Tidak-tidak, Melodi sendiri tidak yakin hubungannya dengan Bian disebut pacaran. Bian hanya menjadikannya taruhan semata.
Kalau tidak ada hal yang tersembunyi, pasti Fauzan tidak melakukannya.
*****
Di kafe, Melodi tidak bisa fokus kerja. Bahkan ada pesanan pelanggan yang tertukar.
Tadi pagi dia memikirkan ponsel, dan sekarang dia memikirkan surat dari Bian. Ayolah, otak Melodi tidak cukup kuat untuk memikirkan semuanya.
Gema melihat Melodi yang terus menerus melihat jam. Kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu.
"Med, lo gapapa?" Gema menghampiri Melodi yang duduk di kasir.
"Eh, gapapa kok Gem. Gue cuman bingung."
"Kenapa? cerita aja sama gue." Gema memposisikan dirinya untuk mendengar cerita Melodi.
Melodi bercerita dengan seksama di hadapan Gema. Kemudian Melodi bergegas ke rumah sakit dan menemui Bian.
*****
Di luar kamar inap tempat Bian dirawat, Melodi memegang tangannya yang tiba-tiba menjadi dingin. Melodi menarik-narik tas selempangnya agar kegugupannya hilang.
Melodi sendiri juga tidak tahu kenapa dia gugup. Dia harus bersikap biasa saja. Melodi seharusnya bisa mengerti kalau dia hanya taruhan Bian.
"Satu, dua, tiga."
Melodi membuka pintu pada hitungan ketiga dan menatap seisi ruangan. Ternyata kosong, tidak ada Bian atau siapa pun.
"Bi? Lo di mana?" Melodi mencari ke kamar mandi yang ada di ruangan itu, tapi juga tidak ada.
Melodi sempat berasumsi yang tidak-tidak tentang hilangnya Bian. Sekarang dia harus mencari ke mana?
Jujur, meskipun dia sedang marah dengan Bian, Melodi tetap tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Bagaimana pun, perasaannya pada Bian tidak akan hilang karena taruhan itu.
"Bi, lo kemana sih? Gue cari lo tau nggak!" Melodi mendudukkan dirinya dan meletakkan kepalanya di ranjang rumah sakit.
"Nggak lucu tau kalau lo yang marah. Seharusnya gue yang marah sama lo Bi." Gadis itu memukuli ranjang.
"Apa lo mau liat gue sedih lagi gara-gara kehilangan orang yang penting di hidup gue?"
"Bi lo di mana? Lo pasti udah pulang, iya kan?"
"Lo nggak kenapa-napa kan Bi?"
Tiba-tiba ada tangan yang menutup matanya dari belakang. Melodi tidak bisa melihat apa pun sekarang. Seseorang itu menuntun Melodi ke tempat yang jauh sekali. Melodi merasakan tangan itu terganti dengan kain hitam.
Melodi tidak berani menggerakkan tanganya untuk membuka penutup mata itu, dia takut.
Sampai akhirnya, dia merasa tubuhnya melayang. Seseorang menggendongnya.
Setelah beberapa saat, Melodi kembali diturunkan dan sebuah tangan menggandengnya lembut.
Melodi hanya mengikuti saja. Jika orang itu jahat, mungkin Melodi sudah dicelakai dari tadi. Tapi sepertinya dia tidak berniat mencelakai Melodi.
Seseorang itu melepaskan tangannya dari tangan Melodi. Sekarang, barulah Melodi merasakan takut.
Melodi takut sendiri, siapa pun itu pasti tidak mau ditinggalkan di tempat yang tidak dikenal tanpa ada orang lain.
Penutup mata Melodi dilepas oleh orang di belakangnya. Mata Melodi menyesuaikan cahaya yang menyeruak ke dalam matanya.
"Gue gapapa Mel. Lo nggak usah takut. Gue akan selalu ada buat lindungin lo. Meskipun nyawa gue taruhannya."
Deg.
"Bian?"