1 | Perkelahian

1031 Words
Musim panas sebentar lagi akan tiba. Seorang guru laki-laki yang rambutnya sudah sepenuhnya memutih terlihat masih sibuk menuliskan beberapa tugas untuk para muridnya selama liburan musim panas berlangsung. Setelah guru itu keluar dari kelas, suasana mendadak ramai. Beberapa siswa bersukacita dengan memasang wajah yang begitu bahagia terlihat dengan jelas. Seperti para pekerja yang baru saja melihat kalender jika besok adalah tanggal merah. Beban-beban mereka terlihat lebih ringan dari biasanya. Hampir tidak ada yang memasang wajah dengan raut yang kesal ataupuln lelah seperti yang mereka tunjukkan di hari-hari kemarin. Tiba-tiba suasana lebih ramai dari biasanya. Para siswa menggerombol di dekat pintu. Mengerumuni sesuatu yang sepertinya menarik..., atau tidak. Entahlah, Akio tidak bisa menebaknya dengan sembarang. Dilihatnya sekali lagi dengan mata lebih jeli. Gerombolan laki-laki itu pun buru-buru kocar-kacir. Dari situ dia dapat melihat jika dua lelaki tengah beradu tinju. Mata mereka menatap lawan main dengan memelotot sempurna, merah bak warna darah. Tanpa rasa takut, hatinya dilahap kebencian yang berapi-api. Beberapa laki-laki mencoba melerai, tapi juga tak sedikit yang menonton untuk menghibur hati masing-masing individu. Grey, lelaki itu tidak terlalu dekat dengannya. Baru kali ini dia melihat Grey dengan mata memerah seperti kerasukan itu. Napasnya naik turun, menatap tajam ke arah lelaki yang di depannya, Dev. Dalam hitungan detik setelah dilerai, mereka kembali beradu tinju. Dev mengirimkan pukulan hingga mengenai wajah Grey yang kini memerah. Muka Grey semakin memerah karena emosi, dengan cepat dia mengirim pukulan beruntun ke perut Dev dengan membabi buta. Dev muntah darah, terlempar di jarak kurang lebih dua meter dari tempat berdirinya sang lawan. Dia duduk dengan mengusap mulutnya yang penuh dengan darah. Suasana kelas mendadak hening. Ini kali pertamanya ada tontonan seserius ini. Semua orang yang sejak tadi menonton bergerak untuk melerai saat Dev hendak berdiri lagi. Termasuk Akio yang buru-buru ingin mengambil langkah untuk mengunci pergerakan Dev. Namun sepertinya dia terlalu lambat, anak matanya melihat Mizuki, sang ketua kelas telah mengunci gerakan Dev. "Cih! Sampah! Kubunuh kau!" Nadanya penuh dengan kebencian, matanya menyorotkan hawa ingin membunuh yang begitu kuat. "Kau yang sampah!" Kini Grey membalas perkataan Dev barusan. Matanya tak kalah merah dari Dev. Mereka sama-sama memelotot. Andai saja gerakan kedua manusia itu tidak dikunci, mungkin saja salah seorang dari keduanya akan benar-benar mati. Akio menghela napas, menatap ke sekitar yang atmosfernya lebih baik dari beberapa menit lalu. Dia melirik ke arah jam yang terpampang di tembok dekat papan tulis. Bel pulang berbunyi, suara orang-orang yang menuruni tangga kian padat. Para kakak kelas tidak ada yang tahu tentang kejadian ini-dan mungkin tidak mau tahu. Yang ada di pikiran mereka hanyalah pulang. Lima belas menit kemudian akhirnya mereka berbaikan. Tidak ada lagi murid yang tersisa di sini kecuali mereka, anak kelas satu dari salah satu sekolah swasta. Karena swasta, siswa-siswi di sini pun terbatas. Kelas satu hanya ada satu kelas dan berjumlah tiga puluh orang. Kelas dua dan tiga terdiri dari tiga dan empat kelas. Masing-masing kelas paling banyak hanya tiga puluh siswa juga. Akio melirik ke jendela, sudah tidak ada banyak sepeda lagi, hanya ada beberapa-dan mungkin itu milik teman-teman sekelasnya. Sudah sekitar seperempat jam sekolah sepi. "Buat apa berkelahi?" Mizuki, gadis yang sejak pertama kali sudah membuat hati Akio berdebar. Dia jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya semasa penerimaan siswa baru. Hingga sekarang, senyumnya masih saja menawan. Wajahnya rupawan. Dan jangan lupakan, rambut hitamnya yang sengaja tergerai sesekali tertiup angin itu membuat hatinya benar-benar kewalahan. "Berkelahi cuma dapat capek sama luka." Lagi-lagi Mizuki berkata dengan tegas. Memang gerak-geriknya sedari awal cocok sekali dijadikan ketua kelas. Mereka berdua terdiam. Tidak ada yang mau mengungkit masalah itu lagi. Baik Dev maupun Grey. Kedua pemuda itu tidak lagi terlihat seperti ingin mengirim serangan kejutan kepada lawan setelah berjabat tangan cukup lama. Akio kembali melihat jam di dinding. Setengah jam sudah kepulangan mereka terhambat karena insiden kecil tadi. Buru-buru dia membayangkan ibu yang pagi tadi menitipinya untuk beli sesuatu dulu di supermarket sepulang sekolah. Apakah ibu menunggunya? Tentu saja. Benaknya kembali dirasakan sekelebat bayangan yang muncul. Ketika ibu dengan marahnya mencubit telinganya karena pulang terlambat tanpa alasan. Akio bergidik ngeri. Tangannya merogoh kantung celana untuk mengeluarkan ponsel. Jemari lentiknya megetik beberapa kata-yang dia harap bisa menenangkan ibunya yang barangkali saat ini sedang panik karena menunggunya tak kunjung pulang-lalu menyentuh tombol kirim. Sedetik kemudian, pesan teks itu terkirim. Pandangannya kembali beredar ke teman-temannya yang bersiap untuk pulang. Untung saja, pertikaian tadi bisa direda hingga saat ini. Rambutnya yang hitam sesekali tertiup angin di saat kakinya melangkah menuruni anak tangga. Dalam hitungan menit, hanya ada beberapa orang yang tinggal di kelas. Mereka menuruni anak tangga seperti gajah sedang berlari. Bunyinya: bug-gedebruk! Kaki Akio terhenti saat melihat Mizuki tengah berdiri di depan ruang guru. Karena menyadari kehadiran Akio, dia segera datang menghampiri dan mengajaknya pulang. "Kau melaporkan kejadian tadi?" Mizuki menggeleng. "Tidak. Aku hanya mengumpulkan tugas dari Sir Arthur kemarin." Akio mengangguk. Rasanya baru kali ini dia bisa berjalan seperti ini dengan Mizuki. "Oh iya, Kio. Liburan musim panas ini apakah kau ada rencana pergi ke suatu tempat?" Akio tersenyum, melambaikan tangan. "Aku hanya di rumah membantu ibu. Jika liburan paling aku hanya akan bermain sepak bola bersama teman-teman sedistrik." Mizuki mengangguk tanda mengerti. "Kalau aku liburan musim panas ini rencananya akan pergi ke pantai." Melihat ada seseorang di gerbang, dia segera pamit undur diri. "Itu mama sudah ada di gerbang untuk menjemputku. Sampai bertemu lagi, Kio!" katanya sembari melambaikan tangan tanpa menoleh kepadanya. Akio terkekeh, kemudian cepat-cepat menggiring badannya ke tempat parkir sepeda. Saat hendak mengayuh, tiba-tiba dia melihat ada sebuah tangan... yang penuh dengan darah. Berada di semak-semak. Dengan cepat dia mendekati, menyibak, dan terlihat mayat seseorang yang benar-benar dia kenali. Grey. Lelaki itu tergeletak di rumput-rumput belakang semak belukar. Semua badannya biru pucat karena kekurangan darah. Terlihat luka pisau di perutnya. Mungkin dia ditusuk tiga kali oleh pembunuh kemudian kepalanya dibanting ke batu keras. Dia... Akio... Tangannya tiba-tiba bergerak. Ini kali pertama dia melihat hal aneh seperti ini. Pembunuhan! Ini jelas pembunuhan! Dengan gemetar dia berlari menuju ruang guru. Saat membuka ganggang pintu pun, masih tetap bergetar. Mulutnya pahit sekali. "ADA PEMBUNUHAN!" pekiknya dengan panik. Beberapa guru terkejut. Anehnya, hanya beberapa yang terkejut. Lainnya menatap Akio dengan wajah biasa-biasa saja. Seperti sudah tahu jika akan terjadi pembunuhan hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD