Part 6 Ketukan Pintu

1047 Words
KUTAKLUKKAN MENANTU LICIKKU Part 6 Tok tok tokk "Bu...ini Rifal, datang sama putrinya Pak Parno." Suara ketukan dan panggilan dari Rifal itu, membuatku terbangun, ternyata aku tadi sempat ketiduran. "Iya, Fal, sebentar biar kubuka pintunya," jawabku sembari mencoba bangun, meski kaki terasa nyeri. Kulihat ternyata handphone yang tadi kugunakan untuk merekam Rinda, saat sedang marah, mati, mungkin saja telah habis baterainya. Sambil berpegangan pada tembok, aku pun segera membuka pintu. "Kok tumben sih, Bu, pintunya dikunci?" tanya Rifal sambil langsung memapahku, saat kubuka pintunya. "Iya, tadi ibu kelupaan, hihihi," ucapku mencoba mengelak, karena kulihat si Marina ada bersama mereka. Saat mata kami saling bertatapan, seperti biasa dia membelalakkan matanya padaku. Namun, tak juga kutanggapi. Kami pun kemudian segera masuk ke kamar. Dan Rifal kembali membaringkanku. "Bu, nanti jangan dikunci lagi kamarnya ya, karena 'kan takut kalau ada apa-apa," ucap Rifal sambil duduk di ranjang sampingku. "Ini Putri, Bu. Putrinya Pak Parno, yang nantinya mau membantu merawat ibu," ucap Rifal lagi sambil menunjuk pada seorang gadis yang berdiri di depan ranjang. "Saya Putri, Bu. Insyaallah akan merawat itu sebaik mungkin," ucap gadis manis berjilbab putih itu. "Kamu Putri yang dulu 'kan? Yang sering main sama Ibu?" tanyaku sambil memegang pundak Putri. "Iya benar Bu." Putri tersenyum manis kepadaku. "Kamu sudah besar ya sekarang, udah baik cantik pula. Pasti bahagia Pak Parno punya putri sepertimu." Aku masih tak percaya, kalau sekarang Putri sudah tumbuh dewasa menjadi perempuan yang memiliki paras cantik dan baik hati. Kubawa Putri untuk duduk, agar aku bisa mengobrol dengan leluasa, lagipula kakiku juga sudah terasa sakit. "Bagaimana kabar Bapakmu, Put?" Aku menanyakan kabar Pak Parno, karena sudah seminggu ini tidak bertemu dengannya. "Alhamdulillah, Bapak sehat Nyonya." Putri menjawab dengan sangat lugu. "Jangan panggil Nyonya, panggil saja aku Ibu. Aku sudah menganggapmu seperti putriku sendiri." Aku mengelus ujung kepala Putri. "Baik Nyonya, eh Ibu." Putri terlihat canggung, tapi juga terlihat raut wajah bahagia. Ya, Putri terlihat sangat bahagia karena aku menyuruhnya untuk memanggilku Ibu, karena dia dari kecil hanya diasuh oleh Bapaknya saja, Ibunya meninggal semenjak melahirkan dia. Tak hanya Putri, akupun juga sangat bahagia, karena aku memang tidak memiliki anak perempuan, kami berdua saling mengobrol satu sama lain dengan penuh gelak tawa. "Bu, Rifal balik lagi ke tempat pemancingan ya." Rifal membuyarkan pembicaraanku dengan Putri. "Kamu tidak mau makan siang dulu, Fal? Tadi istrimu sudah masak makanan kesukaanmu." Aku menawarkan makan siang kepada Rifal. "Iya, Mas. Aku sudah masak makanan kesukaanmu loh, makan siang dulu ya, atau mungkin kamu tidak suka sama masakanku?" Tiba-tiba Marina datang dari balik korden dapur dengan wajah memelas dan memanyunkan bibir untuk menarik perhatian Rifal. "Iya, sayang, aku makan. Bagaimana kalau kita makan bersama-sama?" Rifal terlihat bersemangat mengajak makan. "Ide bagus itu, Fal. Ayo, kita makan bersama, Put!" Tak lupa aku juga mengajak Putri untuk makan bersama, karena bagaimanapun dia sekarang sudah menjadi anggota keluargaku, meskipun hanya sebagai perawat, tapi aku akan menyayanginya seperti layaknya anakku sendiri. "Tidak usah, Bu. Silakan kalian duluan saja, nanti aku akan makan di dapur saja." Putri menolak ajakanku. "Ayolah, kalau kamu tidak mau makan bersama. Aku tidak akan mempekerjakanmu disini," ucapku sewot. "Apa kamu masih mau menolak, Put?" Rifal bertanya kepada Putri, dengan sedikit senggolan di pundak. "B-baiklah, Bu, aku mau makan bersama kalian, asal Ibu mengijinkan saya untuk tetap bekerja disini," jawab Putri dengan sedikit memohon. "Baiklah," jawabku singkat. Kini, aku dan yang lain sudah duduk diruang makan. Seperti biasa, aku duduk dikursi paling ujung, dan begitupun dengan Rifal, jadi kami berdua saling berhadapan. Putri dan menantuku, Marina, juga saling berhadapan. Aku mengambil nasi terlebih dahulu, tetapi sebelum aku berhasil mengambilnya, tangan Marina menepis tanganku. "Biar Marina ambilkan, Bu." Marina menepis tanganku dan membantuku mengambil nasi beserta lauknya. "Terimakasih ya, Mar." Aku memberinya senyum palsu, karena aku tahu itu hanya akal-akalannya saja agar terlihat baik di depan Rifal. "Sama-sama, Bu," jawab Marina. "Mas juga ya,Dik. Udah nggak sabar nih, pengen nyoba masakanmu." Rifal terlihat tidak sabaran. "Iya, Mas. Sabar ya, Ibu dulu ya." Marina terlihat bahagia. Aku hanya melihat tingkah laku Marina, dan tak kusangka ternyata dia juga mengambilkan nasi untuk Putri. "Mari makan semua, semoga suka sama masakanku ya," ucap Putri. "Wow, masakanmu enak sekali, Dek. Emang tidak salah ya aku pilih kamu jadi istriku, sudah cantik, sholihah, pintar masak pula. Benar kan, Bu?" Rifal bertanya padaku. Dalam hati, sebenarnya aku pengen berkata sejujurnya kepada Rifal. Tapi, rasanya tidak mungkin aku menghancurkan kebahagiaan putra sulungku secepat ini. Aku akan memberitahunya nanti, jika waktunya sudah tepat. "Iya betul, Fal. Istrimu ini memang pintar memasak." Aku berkata bohong untuk menutupi kebenaran. "Jangan gitu, Mas, Bu. Aku jadi malu nih," jawab Marina tersipu malu. Dan sedikit melirik kepadaku. "Benar kok, Nyonya, apa yang dikatakan oleh Mas Rifal dan Ibu. Masakan, Nyonya, memang enak kok." Putri ikut menyauti. "Terimakasih," jawab Marina dengan wajah tidak senang, dan terlihat jelas kalau dia memang tidak suka dengan Putri. Aku dan yang lain melanjutkan makan dengan tenang, dan tidak tersisa makanan sedikitpun. Memang aku akui, masakan Marina memanglah enak dan dia pintar memasak, tapi kenapa sifatnya begitu buruk kepada mertuanya sendiri. Setelah selasai makan, Putri dan Marina membereskan piring-piring lalu dibawa ke dapur untuk dicuci. Rifal, sudah pergi untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Aku mengikuti mereka berdua, dan mengawasi dari kejauhan. Akan kulihat seperti apa sikap Marina terhadap Putri, apakah sama seperti perlakuannya padaku? "Kamu sudah kenal sama Ibu mertuaku sejak kecil ya?" Aku mendengar Marina bertanya kepada Putri dengan lembut. "Iya betul, Nyonya." Putri menjawab dengan panggilan Ibu kepada Marina. Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka dari samping korden pintu. "Berarti kamu sudah tahu semua kesukaan Mas Rifal?" tanya Marina lagi. "Iya, Nyonya" jawab Putri. Aku rasa, Marina hanya benci kepadaku seperti dia memang ada dendam kepadaku. Oleh karena itu, dia berusaha menyingkirkanku didunia ini. "Ayo aku tunjukkan kamarmu," ajak Marina. "Baik, Nyonya." Putri dan Marina berjalan keluar dapur dan berjalan menuju kamar yang nanti akan ditempati oleh Putri selama bekerja disini, ya meskipun jarak rumah Putri dengan rumahku cukup dekat, tapi aku meminta Putri untuk menginap disini saja, dan dia menyetujuinya. Aku berusaha menjauh dari tempat itu, dan aku berpura-pura sedang lewat. "Ibu... kenapa disini?" Marina kaget dan berteriak kepadaku. "Hmm itu.. Ibu cuman lewat saja kok." Aku menjawab dengan terbata-bata dan menundukkan kepala. Aku melihat wajah Putri terlihat bertanya-tanya. Apakah Putri tahu kalau sebenarnya Marina itu jahat padaku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD