Kesempatan kedua

1023 Words
Selamat tinggal luka, Selamat tinggal lara, Selamat tinggal perih, Selamat tinggal sepi dan sakit hati. "Ma ... Mama ...," panggil Rindu dari kamarnya. Sayup-sayup Melani mendengar suara putrinya. Kelopak matanya sudah sangat berat, napasnya bagaikan tercekik. Seakan ada batu besar menimpa dadanya. Tangan dan kaki Melani lemah tak berdaya. "Ma ... Ma ... Mama ...," panggil Rindu kali ini semakin kencang. Antara sadar dan tidak sadar tangis Rindu terdengar di telinga Melani. Kelopak matanya bergetar berusaha membuka. Badannya sangat berat untuk bangun seakan ada banyak orang yang menarik dan menekannya hingga ia tidak bisa bangun. "Mama ...." tangis Rindu terus terdengar semakin kencang di telinganya. Matanya terbuka dengan lebar dan dengan sekuat tenaga Melani mengeluarkan kepalanya dari dalam bathtub yang penuh air. 'Astaghfirullahal'azim, astaghfirullah, astaghfirullah ... apa yang baru saja aku lakukan?' batin Melani, napasnya terengah-engah karena kekurangan pasokan udara. "Ma ...," panggil Rindu terus menerus. "Ya, Sayang!" ujar Melani. Kamar mereka memang bersebelahan sehingga mereka masih bisa mendengar jika bicara dengan suara keras. Melani segera bangun dan mengenakan handuk. Dia bersyukur putri satu-satunya memanggil dirinya saat ini. Jika tidak, Melani pasti akan terperangkap oleh pikiran bodohnya untuk melarikan diri dari luka hatinya dengan jalan yang salah. Saat keluar dari kamar mandi Melani bisa melihat suaminya yang pulas tertidur. Tak dihiraukannya panggilan Rindu. Melani tersenyum miris lalu meninggalkan kamarnya menuju kamar anaknya. "Ndu, Sayang," panggil Melani saat masuk ke kamar Rindu. Melani segera memeluk putrinya yang saat ini tengah menangis. Melani hanya menggunakan handuk, dia belum sempat berpakaian. Tangannya yang dingin memeluk dan mengelus punggung putrinya menenangkan. "Ndu mimpi buruk, ya? Jangan takut, Sayang! Mama di sini," ucap Melani. Rindu masih sesekali menangis dan terisak memanggil mamanya. Dalam pelukan Melani ia perlahan kembali tertidur nyenyak. Gadis kecil ini sama sekali tidak membuka matanya tadi, hanya berteriak memanggil sang mama. Setetes air mata kembali lolos dari matanya. Seandainya putri kecilnya tidak memanggil-manggil namanya maka dia akan berakhir di bathtub kamar mandi. "Terimakasih Ya Alllah, Engkau masih memberi hamba kesempatan. Aku akan menjalani hidup lebih baik. Aku akan menjaga Rindu dengan sepenuh hati," ucap Melani penuh rasa syukur. Setelah Rindu tertidur pulas, Melani mencium kening putrinya kemudian kembali ke kamarnya sendiri. Di kamar dia masih melihat suaminya tertidur pulas. Rasa dongkol kembali menyeruak hatinya. "Aku terlalu bodoh untuk melepaskan hidupku hanya demi orang seperti dia. Terimakasih Tuhan sudah mengirimku Rindu sebagai malaikat kecilku," gumam Melani. Setelah berganti pakaian Melani kembali ke kamar putrinya dan tidur di sana. Dia tidak mau lagi seranjang dengan laki-laki yang hanya mencintainya di bibir saja. Kesempatan yang diberikan Tuhan untuk tetap hidup akan dia gunakan sebaik mungkin. Tidak akan ada lagi Melani yang pasrah dan putus asa. Tidak akan ada lagi Melani yang hanya bisa menangis. *** "Rindu ... bangun, Sayang! Papa kangen banget sama Ndu," ucap Bagas membangunkan anaknya yang masih terlelap. Bagas terus mengecup pipi dan kening putri kecilnya hingga Rindu menggeliat tak nyaman. Saat membuka matanya gadis kecil itu segera terlonjak dan berseru dengan semangat. "Papa ... kapan Papa pulang? Papa, I miss you so much," ucap Rindu lalu memeluk erat papanya. "Hmm, anak gadis Papa belum mandi. Masih bau kecut, gak jadi ngajak jalan-jalan deh," goda Bagas pada putri kecilnya. "Jadi, jadi. Ndu mandi sekarang. Papa udah janji ngajak Ndu jalan-jalan kalau pulang dari luar kota. Harus jadi, harus jadi!" seru Rindu melompat-lompat. Bagas adalah sosok seorang ayah yang baik. Dia selalu memanjakan putri kecilnya. Rindu segera menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. "Pelan-pelan saja, Ndu. Jangan buru-buru dan mandi yang bersih! Papa akan nungguin sampai Ndu selesai mandi." Bagas kemudian menemui istrinya yang sedang memasak di dapur. Dia mengendap-endap lalu memeluk istrinya dari belakang. "Pagi, kesayangannya Bagas yang paling cantik," bisik Bagas di telinga Melani. Mengejutkan Melani yang tengah mengaduk sop. Melani menggeliat berusaha keluar dari pelukan Bagas. Dia menggerutu dan berdalih terburu-buru masak supaya Bagas mau melepaskannya. "Sudah siang, aku harus buru-buru. Ndu ada jadwal ke dokter gigi hari ini," ucap Melani tanpa melihat suaminya. "Mel, kau masih marah?" "Kenapa aku harus marah?" "Aku hanya pergi menjalankan tugas selama tiga hari. Dan kau bersikap dingin padaku sepanjang hari. Hatiku gak kuat kalau harus didiamkan oleh wanita secantik dirimu." "Aku masih bicara denganmu, kapan aku mendiamkanmu?" "Tapi kau bersikap dingin, sedingin hatiku saat jauh darimu." 'Tapi ranjangmu tetap hangat dengan wanita yang lain,' batin Melani. "Pergi mandi, makanan akan siap sebentar lagi!" Bagas berdiri lalu mengamati istrinya yang terlihat sibuk di dapur. Dia masih berpikir istrinya merajuk karena ditinggal selama tiga hari. Sebelumnya bukankah Melani juga sudah sering ditinggal, kenapa baru hari ini dia merajuk? "Hari ini aku libur, aku akan mengantar kalian ke dokter gigi. Setelah itu kita bisa jalan-jalan seharian. Bagaimana?" "Okay." "Hanya itu saja? Mana terimakasih untukku?" "Terimakasih." Bagas semakin yakin istrinya sedang marah saat ini. Apa ada yang mengadu padanya kalau dia pergi dengan sekertaris barunya? Kemana perginya sang istri yang hangat dan penuh cinta? "Mel, katakan kenapa kau marah padaku? Jika kau begini lain kali aku tidak akan pergi ke luar kota meski untuk urusan bisnis," ucap Bagas. Melani menghentikan sejenak aktivitas memasaknya. Dia mengambil napas panjang lalu menghembuskanya. Dia ingin bicara dengan Bagas tanpa emosi. "Lakukan apapun yang kau mau. Aku tidak akan melarang apalagi menghentikanmu," ucap Melani kemudian ia meneruskan kegiatan memasaknya. "Jadi, kau tidak marah?" "Tidak." "Kalau begitu beri aku ciuman selamat pagi!" "Tidak mau!" "Kenapa, Sayang? Bukankah kau bilang tidak marah padaku? Aku sangat merindukanmu, ayolah!" Pisau dalam genggaman Melani bergetar karena genggamannya yang begitu erat. Dia berharap Bagas cepat menyingkir dari hadapannya karena dia takut berbuat khilaf. "Baiklah-baikalah, jangan terlalu kaku, Sayang. Aku akan mandi, setelah itu kita sarapan lalu kita jalan-jalan," ucap Bagas. "Tidak perlu repot-repot mengantar kami. Bukankah kau banyak pekerjaan? Kami akan lama." "Mel ...." "Kami sudah terbiasa pergi berdua, oh aku lupa mengatakan padamu. Kami sudah memesan mobil jemputan. Jadi, kamu gak perlu khawatir," ucap Melani. "Rindu akan sedih, aku sudah berjanji padanya akan mengajaknya jalan-jalan hari ini." Melani seketika berada dalam dilema, Bagas mampu menusuk titik kelemahannya dengan tepat. Rindu sangat menyayangi papanya. Hal yang paling penting bagi Rindu salah satunya adalah sang papa. Melani tidak tega jika harus menyakiti hati kecil putrinya hanya karena ego yang menguasainya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD